Pustaka
Bahasa Indonesia

MENJADI BUDAK NAFSU

9.0K · Ongoing
jaky irfani
7
Bab
8
View
9.0
Rating

Ringkasan

Memperingatkan! 21+, mohon bijak dalam membaca. Hanya untuk pembaca dewasa. Febri Hanggini, hanya seorang siswi biasa. Namun, hanya karena mengantarkan selembar kertas pada orang-orang penguasa sekolah hidupnya menjadi gelap. Febri harus terikat dengan mereka sebagai kucing manis pemuas nafsu. Rantai tak kasat mata mengalungi lehernya hingga membuat hidupnya tercekik dan tak bisa lari kemanapun. Sejak hari itu, semuanya berubah. Dia harus terlibat ke dalam kehidupan 4 orang yang merantainya.

RomansaDramaNovel MemuaskanWanita CantikLicikMenyedihkan

Bab 1 Awal Mula

Awal mulanya ketika Febri mengantarkan sebuah kertas dari seorang guru. Katanya harus diserahkan pada Jayendra, seorang lelaki yang menjadi kakak kelasnya. Setahunya Jayendra itu anak nakal penguasa sekolah, anak nakal dari donatur terbesar di sekolah dan kebetulan cucu pemilik sekolah.

Intinya Jayendra ini seorang lelaki yang bisa dikatakan cukup disegani di lingkungan sekolah oleh semua orang bahkan para guru yang mengajar. Dia seorang ketua geng motor dan juga anak pengusaha kaya serta ibunya yang menjadi design fashion sepatu yang terkenal sampai keluar negeri. Namun pintar dan beprestasi bahkan berada di pararel pertama, kawan-kawannya berada bersusun dibawah dia.

Jadi Jayendra maupun yang lainnya itu bukan orang sembarangan. Apalagi mengingat bayak sekali yang menyukai mereka walau bersikap nakal dan tidak pantas.

Hari itu mungkin hari tersial Febri, yang paling sial dan terburuk yang pernah ia alami. Menjadi mimpi menyeramkan yang terus menghantui hidupnya bahkan dia sudah terjerat oleh rantai tak kasat mata yang Jayendra lingkarkan di leher dan setiap pergelangan kaki maupun tangan yang ia punya.

Saat berjalan menuju atap sekolah-ini juga arahan dari sang guru yang menyuruhnya-dadanya sudah berbedar tidak karuan. Saat itu hari kamis, Febri ingat betul setiap kejadian bahkan langkah yang ia bawa. Jam pelajaran masih berlangsung tapi guru dikelasnya menyuruh dia yang ketua kelas untuk menyimpan buku pr yang sudah terkumpul ke ruang guru, dan salah satu guru yang ada di ruangan itu menyuruhnya menyerahkan kertas pada Jayendra.

Membuka pintu atap dengan tangan gemetar Febri berkata permisi dengan pelan, bahkan kertas yang ia pegang sudah ia remas secara tak sadar. Ada empat pasang mata yang langsung mengarah padanya. Febri langsung menunduk dengan terbata-bata dia berkata,

"M-maaf, Kakak-kakak semuanya. Sa-saya mau nyerahin kertas ini dari guru b-buat Kak Jayendra."

Tangannya terulur dan dia tidak melangkah dari lawang pintu atap, setengah badannya masuk kedalam setengahnya lagi terlihat dari luar.

Rasa berdebar itu makin tidak karuan saat mereka hanya diam dan malah berpandangan seperti mengirimkan kode sesuatu. Mengirimkan sinyal bahaya untuk Febri bahkan otaknya berdering nyaring untuk dia agar segera kabur.

"Bawa kemari."

Perintah itu membuat tubuh Febri menjadi kaku, dia melirik mereka sebentar yang masih tidak bergeming di tempatnya. Dengan perasaan terpaksa akhirnya Febri melangkah mendekat pada Jayendra yang duduk di tumpukan meja yang tidak terpakai.

"I-ini, Kak." Tangan Febri gemetar tak karuan menyerahkan kertas.

Namun bukan kertas yang diambil, melainkan pergelangan tangannya yang dicengkram kuat sampai membuatnya mendongak menatap wajah datar Jayendra, tatapan mata itu begitu intes dan menakutkan. Mata Febri bergetar dan badannya menjadi lebih kaku.

Dia takut, dia ketakutan namun susah untuk melepaskan diri.

Beberapa detik kemudian badannya melayang hingga terduduk dipangkuan Jayendra. Dia ditarik dengan kekuatan yang entah apa hingga bisa berhadapan langsung bahkan dalam posisi yang tidak pantas.

Febri tidak menjerit, dia hanya melotot dan kedua tangannya langsung mencengkram bahu kokoh Jayendra.

"Febri Hanggini."

Nametagnya dibaca dengan suara berat, mata Jayendra melirik kebagian dada lalu turun ke bawah saat rok Febri tidak sadar tersingkap sedikit, menampilkan paha kecil yang mulus dan putih. Namun pemilik nama masih belum sadar bahkan hanya diam dengan pelototan kaget.

Dengan itu Jayendra tersenyum miring, matanya melirik ketiga temannya yang diam saja menonton.

"Cantik, sama kayak wajah ini." Tangan Jayendra mengelus pelan pipi halus yang sedikit chubby itu.

Baru setelah itu Febri sadar, dia kemudian memberontak ingin lepas tapi pelukan dipinggangnya membuat dia tidak bisa bergerak.

"K-Kak, maaf, ini salah." Febri menunduk, tidak berani menatap Jayendra, dia terus memberontak kecil.

"Berontak terus, lo bisa jatuh dari sini ketiban meja."

Seketika itu Febri terdiam, dia menunduk melihat kebawah. Meja ini bertumpuk lumayan atas. Kalau jatuh mungkin dia hanya akan keseleo dan tentu Jayendra mewujudkan perkataannya. Setahunya, lelaki ini selain arogan dan menyeramkan juga bengis dan jahat. Selalu membuat apa yang ia katakan menjadi kenyataan walau itu melukai orang bahkan perempuan sekalipun.

"T-tapi, Kak. Saya harus ke kelas, pelajarannya belum selesai, l-lagipula saya hanya disuruh mengantarkan kertas tadi." Ucap Febri sedikit kencang, dia menjauhkan badan Jayendra yang terus memepetnya.

"Kenapa buru-buru? Santai aja, gak bakal ada yang berani nyariin elo kesini."

Febri menggeleng keras, matanya menatap dengan wajah yang memelas.

'Tolong Kak.. lepasin aku.."

Jayendra malah terkekeh, matanya menatap Gio-salah satu temannya-dan mengkode menggunakan dagu, yang diperintah mengangguk satu kali, berjalan ke arah dimana ada sebuah pintu berwarna cokelat dengan tulisan 'danger' besar.

"Gimana kalau kita seneng-seneng?"

Volume mata melotot Febri bertambah besar, segera dia menggeleng dan memberontak dengan lebih kuat.

"Enggak! Saya mohon Kak, saya mohon jangan kayak gini.." Febri menyatukan kedua tangannya seraya menggeseknya berkali-kali. Matanya langsung berkaca-kaca saat melihat Jayendra yang malah tersenyum miring. Wajah tampan itu sama dengan definisi iblis yang sedang menggoda mangsanya.

"Lo masuk ke wilayah kita, dan kebetulan kita lagi butuh hiburan, apa salahnya? Gue bakalan kasih lo uang banyak." Ucap Jayendra dengan santai.

"Saya mohon, Kak. Saya bukan perempuan seperti itu, jangan begini."

"Oh, ya? Kalau gitu kita buktikan."

Gelengan ribut maupun berontakan yang dilakukan Febri waktu itu tidak membuahkan hasil apapun, begitu juga dengan air mata yang perlahan keluar. Wajah memelasnya hanya dijadikan pajangan yang menambah suasana mereka.

Jayendra berdiri membawa tubuh Febri untuk digendong ala bridal, Febri yang kaget reflek mengalungkan tangannya pada leher lelaki itu, kepalanya melongo ke bawah. Jika Jayendra tega melemparkannya kemungkinan besar kepalanya akan berdarah dan tulang punggungnya akan bergeser.

Dan benar saja apa yang dipikirkan Febri, Jayendra dengan enteng melemparkannya ke bawah seperti ia adalah sebuah karung, tentu saja Febri menjerit, namun bukan berdarah atau merasakan sakit lantai atap yang ada sepasang tangan menangkapnya sigap.

Sontak Febri menoleh, matanya masih melotot kaget dengan mulutnya yang menganga. Kevin, lelaki yang menjadi sepupu dari Jayendra, salah satu komplotan juga.

"Tenang, manis. Lo gak bakalan luka." Kepala Kevin mendekat seraya berbisik, "tapi bakalan kita kasih enak."

Mendengar itu Febri kembali memberontak keras, dia menjerit ingin dilepaskan. Bukannya mendengar Kevin malah berjalan dan membawa tubuhnya ke arah pintu cokelat yang sebelumnya Gio masuki.

"Enggak! Gak mau! Lepasin!"

"Jadilah anak baik, maka kita juga akan memperlakukan lo secara baik."

Febri menangis, meraung ingin di lepaskan. Di otaknya sudah menebak bagaimana mereka akan memperlakukannya. Febri bukan gadis bodoh yang tak mengerti tentang hal dewasa, dia lumrah dengan itu dan dia paham. Tapi bukan berarti dirinya juga menjadi wanita gampangan.

Tidak! Jangan begini. Teriaknya dalam hati.

Febri menggeleng ribut apalagi Kevin membawanya ke arah kasur kecil yang berada di sudut ruangan. Sudah ada Gio yang berdiri disamping kasur dengan senyuman miring.

"Enggak, Kak. Tolong jangan begini, ini salah!" sentaknya. Namun Kevin malah membantingnya keatas kasur hingga badannya memantul tiga kali.

"Kasih dulu." Kevin menunjuk Febri dengan dagu saat menatap Gio.

Gio yang diberi perintah malah terkekeh berat, dia naik keatas kasur berjalan menggunakan lutut menghampiri Febri yang sudah menggeleng keras sambil meringkuk memeluk lutut.

"Plis Kak, jangan begini."

Gadis itu menangis dengan cara yang menyedihkan, namun wajah memelasnya malah menjadi tontonan yang menarik. Gio tertawa kecil dibuatnya. Tangan besarnya menangkup kedua pipi Febri dan menghapus air mata itu.

"Lo tenang aja, habis ini kita bawa nikmatin surga dunia." Ucap Gio rendah.

Febri menangis, dia menggeleng lagi. Rontaan maupun ucapannya tidak didengarkan sama sekali. Satu tangan Gio mencengkram pipi Febri dengan kasar dan satunya lagi memasukan sebuah obat kecil berwarna putih.

"Telan, sayang."

Febri menggeleng, kakinya kelojotan menendang apapun yang ada, namun Gio malah menududuki pahanya. Membuat Febri tak leluasa bergerak maupun menendang pria itu. Kedua tangannya mencakar lengan Gio.

Rontaannya semakin keras, Febri menangis dengan menyedihkan. Karena obat yang dicekoki tidak kunjung ditelan dengan gilanya Gio menjulurkan telunjuknya kedalam rongga mulut Febri sampai obat itu tertelan namun masih terasa menyangkut di tenggorokan.

Febri terbatuk kuat, matanya memerah begitu juga wajahnya yang pias karena sulit bernapas. Gio menyodorkan minuman yang ada diatas nakas, dengan segera Febri meminumnya secara rakus hingga tandas.

Gio yang melihat itu tersenyum lebar, dia mengelus puncak rambut Febri dengan lembut dan terkekeh kecil

"Bagus, anak pintar. Gue suka yang penurut." Setelah mengatakan itu Gio turun dari kasur. Berjalan menghampiri ketiga temannya yang asik merokok sambil duduk di sofa memperhatikan perlakuannya pada gadis yang kini terengah-engah kepayahan.

"Done, keduanya udah masuk."

Jayendra mengangguk, menghembuskan asap rokoknya dan mulai memperhatikan Febri yang sekarang gelisah diatas kasur, bibirnya tersenyum miring.

"This crazy, lo yakin? Dia gak ada sangkut paut apapun sama kita."

Jayendra menoleh, lalu terkekeh berat. Mematikan rokoknya diatas asbak dan menatap Liam.

"Yeah, gue tertarik sama wajah maupun tubuhnya."

"Sekali pandang?"

Jayendra mengangguk, "sekali pandang."

Liam mengangguk, meraih soda yang sudah ia buka tadi dan meneguknya dengan cepat.

"Bukan gaya lo." Lanjutnya.

Jayendra tertawa dia berdiri dan memasukkan tangannya kedalam saku celana.

"Sekali-kali kita punya mainan buat hiburan. Gue males ganti-ganti, apalagi sampai dapet cewek gak tahu malu."

Kevin terkekeh lalu mengangguk, "gue suka wangi tubuh dia."

Semuanya mengangguk dan tertawa pelan sedangkan Liam hanya menggeleng, dia kurang suka untuk yang sekarang. Dilihat sekalipun gadis itu gadis biasa dengan perasaan yang rapuh. Tapi dia juga tidak akan ikut campur.

"Hiks, lepasiin.. aku mohon lepasin, jangan begini."

Mereka semua menoleh, Febri sedang berdiri dengan kedua lututnya berpose memohon sambil menyatukan kedua tangannya. Sorot matanya menjadi sayu dan lelah, keringat sudah memenuhi wajah bercampur dengan air mata serta napasnya yang terengah.

Ahh, obat mereka telah bekerja.

Jayendra tersenyum miring, melangkah mendekat dengan perlahan dan duduk dipinggiran kasur dengan kaki kanan yang dilipat keatas.

"Maaf, cantik. Tapi gue gak bisa."

Febri makin menangis, dia menggeleng ribut.

"Aku salah apa? Kalau aku ada salah tolong bilang, aku beneran minta maaf." Ucapnya pelan dan memelas.

"Oh, shit. She's cute. I'm hard!" Gio berseru sembari membanting kaleng soda kearah dinding, membuat Febri tersentak kaget.

Kevin dan Liam hanya tertawa sedangkan Jayendra tersenyum miring, matanya masih fokus dengan wajah memelas Febri yang menyenangkan sekali untuk dilihat. Tidak salah target, ini yang dia inginkan. Kucing manis yang ketakutan dan juga memohon. Bukan jalang yang malah kegirangan.

"Coba memohon lagi." Perintah Jayendra.

Febri menggeleng kencang, "jangan gini, Kak. Bilang kalau aku ada salah, aku beneran minta maaf.." kedua tangannya terus menggosok memohon.

"Kurang cantik, yang lebih memelas coba."

Tapi Febri memilih menangis, gelengan kepalanya masih ada tapi kali ini pelan. Lama kelamaan napasnya menjadi lebih berat, terengah-engah seolah dia sedang kesusahan dalam menghirup oksigen. Dia kepanasan, seluruh tubuhnya panas dan menegang. Ada rasa yang meremang hebat dari ujung kaki menjalar keatas kepalanya.

Febri terduduk lemas, masih dengan sadar dia beringsut mundur menjauhi Jayendra. Meringkuk disudut ranjang sambil menggigit bibir bawahnya.

Dia kenapa? Ada apa ini?

Kedua tangannya bergetar hebat, begitupun kedua kakinya yang ia rapatkan. Geli diarea kewanitaannya membuat dia ingin mendesah. Matanya menatap Jayendra dan ketiga lelaki lainnya. Mereka semua tersenyum miring seolah sedang menunggu.

"T-tadi aku dikasih apa? Kalian kasih aku apa?!" tanyanya sedikit menjerit.

Jayendra menggedikkan bahu santai, "tenang sayang, itu hanya sesuatu yang bisa bikin lo melayang."

"Enggak!" Febri menggeleng ribut, "aku gak mau! Aku gak mau! A-ahh."