Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Penyatuan

Tubuhnya menggeliat kepanasan, air mata dengan keringat sudah bercampur menjadi satu. Matanya memerah dengan kabut yang menghalangi. Napasnya terengah begitu, matanya mencari sesuatu.

Tolong! Dadanya begitu sesak.

Febri tidak kuat, kedua kakinya ia rapatkan dengan kedua tangan menyilang didepan dada. Rasa geli itu masih ada bersamaan dengan panas yang menjalar disekujur tubuhnya. Febri sangat merasa jika kewanitaannya sudah basah.

Dia butuh yang dingin, tidak, dia butuh merendam tubuhnya di bak es.

Matanya menatap Jayendra yang masih duduk manis didepannya. Memandang dengan senyuman, begitupun ketiganya yang lain. Mereka menonton dirinya yang sedang kepayahan seolah dirinya sebuah adegan drama yang menyenangkan untuk di lihat beramai-ramai.

"A-air, air.." tangannya terulur dengan getaran hebat.

Febri mencoba meminta tolong dengan ekspresi tersiksanya. Namun Jayendra malah tertawa berat. Meraih tangan Febri dengan cepat lalu menciuminya dengan lembut.

Febri tersentak kaget, dia melenguh dengan nyaman saat kulit mereka bersentuhan. Ada semacam aliran listrik yang mengalir. Napasnya makin cepat memburu, matanya meliar seperti sedang mencari sesuatu.

"Angh."

Satu desahan lolos dari mulutnya, Febri sontak menggeleng. Ini salah, otaknya masih sadar namun hanya 50 persen, sedangkan sisanya dia ingin mencari cara memadamkan panas didalam tubuhnya.

Ini gila. Tapi dia ingin sentuhan yang lebih.

Febri bangun dan berdiri dengan kedua lututnya. Tangan yang diciumi Jayendra ia tarik dengan cepat. Dia menyeret tubuhnya mendekat ke arah lelaki itu.

Kabut yang ada di matanya seolah menutupi sebagian akal sehatnya.

Jayendra menyambutnya dengan tenang, dia tersenyum miring dengan tatapan memuja. Wajah cantik dan manis Febri sangat menggoda disaat keringat dan air mata mengacaukannya. Pipi merona, bibir tipis yang terengah cepat dan terbuka, leher berkeringat dengan rambut kuncir kuda yang sudah tidak berbentuk membuat gadis itu menggoda di matanya.

Jayendra suka, ini mainan yang seharusnya dia dapatkan dari dulu.

"Kenapa hm?"

Suara berat Jayendra membuat tubuh Febri merinding tak karuan, kepala gadis itu menggeleng. Dia merentangkan kedua tangannya ke depan untuk menyentuh kulit wajah tampan milik Jayendra.

"P-panas, Kak. Aku mau air dingin." Bisiknya serak. Lalu memejam dan menahan lenguhan saat telapak tangannya menyentuh kulit Jayendra.

Rasanya dia ingin lebih. Sentuhan kulit ini bukan yang ia inginkan, namun ia ingin kulit Jayendra menyentuh dirinya dengan tindakan lebih.

"Mau gue tolongin?"

Mata Febri terbuka, kabut gairah yang tidak ia pahami sudah menutupi air matanya. Dia mengangguk pelan.

Tolong dia, tolong singkirkan rasa panas ini.

Jayendra terkekeh, "coba panggil gue daddy."

"Uh? Daddy."

"Oh, shit."

Itu bukan Jayendra yang mengumpat, melainkan ketiga temannya yang sedang menonton. Sedang Jayendra menahan diri untuk tidak langsung menubruk tubuh bergetar didepannya.

"No, sayang. Kurang cocok, panggil gue master."

Febri bernapas dengan cepat, tangan yang berada di wajah Jayendra luruh ke bawah. Kenapa lelaki ini malah menyuruhnya memanggil dnegan sebutan aneh begitu? Dia ingin air es.

"M-master." Bisik Febri dengan suara yang lebih serak.

"Yeah, baby. I like it." Kekeh Jayendra, dia bangun dari duduknya dan mengambil air es dari dalam kulkas yang tak jauh dari kasur. Setiap gerakannya tak lepas pandang dari Febri maupun ketiga temannya.

"Ayo kita main."

Febri tidak paham, dia ingin di panjang bukan main. Namun kesadaran yang hampir merenggutnya sudah tidak bisa berpikir dengan normal. Seharunya dia memberontak dan berlari keluar ruangan, bukan malah menunggu dan menatap lapar botol es yang dibawa Jayendra.

"Lo mau ini?"

Febri mengangguk cepat, dia meraih botol itu naman Jayendra sudah menjauhkannya lebih cepat dibandingkan gerakan Febri.

Febri menggeram marah, dia menatap tajam Jayendra. Tapi tidak terlihat menakutkan, wajahnya yang sayu malah membuat dirinya semakin menggoda.

Jayendra terkekeh senang, "kalau lo mau dapetin air es ini. Lo mesti nurut sama gue. Ngerti?"

Febri mau tak mau mengangguk pelan, matanya melirik pintu kulkas yang sudah di modif seperti kotak telepon bewarna merah. Jayendra tahu Febri bertanya. Dia tersenyum miring.

"Jangan harap lo bisa nyentuh kulkas itu.

Ada peraturan yang harus lo turuti buat dapetin apa yang lo mau."

Febri menoleh cepat, dia sedikit mendongak sebab Jayendra masih berdiri didepan kasur. Napasnya sudah tidak tertolong lagi, memburu semakin cepat seperti layaknya seorang serigala yang tengah lapar dan menatap mangsa didepannya.

"Lo harus panggil gue master, kalau gue gak denger lo manggil gue begitu, gue bakalan bikin lo makin tersiksa."

Jayendra membungkuk, mensejajarkan wajah mereka, tangannya dengan cepat menjambak rambut belakang Febri ingga gadis itu mendongak dengan jeritan pelan.

"Ngerti sayang?" tanyanya.

Febri mengangguk pelan, kedua tangannya terlalu lemah untuk memberontak, namun hal gila yang ada dipikirannya adalah, jambakan Jayendra memberikan sensasi aneh untuk tubuhnya.

"I-iya master." Jawabnya pelan. Membuat Jayendra tertawa dengan suara berat yang menggoda pendengaran Febri.

"Bagus, gue suka anak penurut." Jayendra melepaskan jambakannya, dia membuka botol minum air es itu dan memberikannya pada Febri.

Tak mau berpikir lama, dengan cepat Febri meraihnya meneguk air es itu dengan rakus hingga beberapa air yang keluar dari botol membasahi lehernya.

Jeyendra tersenyum, dia meraih botol yang sedang di teguk Febri membuat airnya berceceran dan mendapat tatapan protes dari gadis didepanya.

"Lo bakalan dapet lebih dari ini."

Ucapnya menjawab tatapan Febri.

Jayendra menaruh botol itu diatas nakas, menatap Febri yang sedang melihat lapar botol air es tadi.

"Jangan pernah alihin pandangan lo dari gue." Ucap berat Jayendra. Mengusap sudut bibir Febri, mata sayu itu menatapnya dengan getaran.

Jayendra mendekatkan wajahnya, mengecup sudut bibir yang menggoda itu. Lalu telinganya mendengar sebuah desahan pelan. Tak tahan dengan itu dia merebahkan tubuh Febri dengan cepat dan mengungkunya diantara kuasa badan besarnya.

Melumat habis bibir tipis yang entah kenapa sangat menggodanya dirinya. Febri tidak melawan dia justru memejam dan melenguh. Membiarkan Jayendra menginvasi mulutnya seakan itu adalah makanan yang enak. Karena justru tubuh Febri tersengat getaran yang menyenangkan saat dia merasakan lumatan kasar Jayendra.

"Mmh."

Jayendra menggigit bibir tipis itu hingga terbuka, memainkan lidah hangatnya dan berperang dengan lidah Febri yang merespon lambat. Tangan kirinya bergerak ke bawah membuka satu persatu kancing baju seragam yang Febri pakai.

Tepukan keras di pinggangnya membuat Jayendra menghentikan aktivitas itu, mereka terengah. Napas saling beradu dengan Febri yang semakin sayu, meraup rakus udara yang sempat hilang. Jayendra mengetatkan rahangnya. Ini sungguhan terlalu menggoda.

Menghiraukan dengan tarikan napas Febri yang menggila, Jayendra menunduk, menyerang leher mulus penuh keringat itu. Mengendusnya pelan dan menjulurkan lidahnya menjilati sisi sensitif yang biasanya wanita punya.

"Hagh angh."

Benar saja, tubuh gadis dibawahnya kembali kaku. Menegang seolah tak siap dengan rangsangan yang ia berikan. Tak lama tubuh itu bergetar pelan. Jayendra semakin menggila, Kevin benar, aroma tubuh gadis ini sangat manis. Tidak menyengat karena terlalu banyak parfum. Justru alami karena keringat yang keluar.

"Ahh."

Suka, Jayendra suka. Desahan merdu yang lemah dan tak melawan. Siap menerima apapun yang akan dia berikan.

Kucing manis.

Jayendra akan menjuluki Febri dengan itu.

"Syarat yang gue katakan tadi. Coba lakukan." Jayendra melepaskan jilatan di leher, dia menatap Febri yang sudah tidak karuan dibawahnya.

Febri masih terengah, dia menatap Jayendra. Bibirnya bergetar mengatakan sesuatu.

"M-master.." bisiknya pelan. Dia lemas, sangat lemas. Namun panas dan rasa menggelitik itu terus membuatnya terjaga.

Jayendra tersenyum puas, dia mengangguk.

"Bagus." Pujinya.

Tubuhnya menegak, dia mengangkang diatas paha Febri namun tidak mendudukinya. Kedua tangannya melepaskan cepat kancing seragam yang masih tersisa. Dia membuka seragam itu namun harus mendesah kecewa saat Febri menggunakan sebuah dalaman tangtop putih menghalangi bra yang juga berwarna putih.

"Nanti-nanti, gak usah pake daleman gini. Langsung aja bra." Perintahnya.

Febri menggeleng, tangan lemasnya menyingkrikan tangan Jayendra agar menyingkir dari dadanya.

"Enggak.. jangan.." ucapnya pelan. Seluruh tenaganya seolah tersedot habis entah kemana. Kesadaran berpikir normalnya mengikis hilang perlahan disaat tubuhnya malah merespon senang perlakuan Jayendra.

"Lo bilang apa?"

Febri menjerit, matanya memejam sakit saat Jayendra malah meremas kencang payudara sebelah kanannya.

"Akh, s-sakit!" serunya sedikit berteriak.

"Apa gue gak denger?" Jeyendra dengan sengaja mengencangkan cengkraman tangannya.

"M-master, jangan.. sakit.."

Jayendra terkekeh, "itu yang harus lo ucapin ke gue."

Febri kembali terisak, dia menggelang perlahan. Mengusak kepalanya lebih dalam pada bantal dengan kaki yang sedikit ia tekuk.

Panas sekali, tolong. Daerah privasinya sangat basah dan membuatnya gatal.

Jayendra tidak peduli, dia menaikkan tangtop putih ketat milik Febri dan menampilkan sebuah perut putih yang rata. Jayendra menjilat bibir bawahnya, pusar milik Febri begitu cantik.

Dia tidak tahan untuk mengecupnya. Kepalanya langsung menunduk, mengendus perut itu perlahan dan menjilatinya.

"Ahh."

Febri terbelalak, dia kembali menegang.

"Jangan, ahh."

Kepalaya menggeleng ribut, kedua tangannya mengusak rambut Jayendra untuk menyingkirkan kepala itu. Namun malah membuat Jayendra senang. Dengan semangat dia kembali menjilati perut itu hingga basah oleh air liurnya.

Tubuh Jayendra beringsut mundur perlahan, rok yang di pakai Febri ia singkap ke atas.

Jayendra berdecak tak senang, kembali ia melihat dalaman yang menghalangi pemandangan.

Hotpants hitam namun sangat terlihat seksi di matanya.

"Sialan, nanti-nanti jangan pake beginian." Perintahnya lagi dengan dengusan sebal.

"Bego, namanya juga cewek."

Jayendra menoleh, barusan Kevin berkometar. Dia lihat ketiga temannya masih asik menonton dengan sebatang rokok di tangan mereka yang mengepulkan asap.

Lantas dia kembali berdecak sebal. Jayendra menatap paha mulus Febri. Kaki gadis ini masih memakai sepatu. Dengan gerakan cepat Jayendra melepaskan sepatu dan kaos kaki itu.

"Buka dalemannya." Perintahnya lagi.

Febri menggeleng lemah, "Kak tolong jangan kayak gini, ini salah.." bisiknya penuh permohonan. Air matanya sudah menggenang di pelupuk mata.

"Lo bilang apa?" Jayendra dengan sengaja meremas paha Febri kencang. Raut wajahnya berubah datar.

Febri tersentak, dia menjerit keras.

"S-sakit, jangan di remas sakit." Kepalanya menggeleng ribut.

"Kalau gak mau sakit, lo harus bilang apa?"

"Master, m-master.. sakit tolong jangan di remas." Febri menangis, sesegukannya lumayan keras.

Jayendra mengangguk, melepaskan cengkraman di paha putih itu hingga meninggalkan bekas yang memerah cetakan tangannya.

Karena kesal, Jayendra melepaskan paksa hotpants yang Febri pakai berikut dengan dalamannya. Sontak hal ini membuat Febri menangis lebih keras, dia tahu jika hidupnya tidak akan sama lagi mulai dari sekarang.

Dan dia kotor.

"Wow, sayang. Lo basah banget."

Jayendra melihat penampakan labium yang sangat putih dan terawat bahkan hanya di ada bulu-bulu kedewasaan yang halus serta tidak lebat sama sekali. Jeyendra menjilat bibirnya lapar. Matanya melirik Febri yang sedang menangis dan menggeleng keras. Gadis ini benar-benar diluar ekspektasinya.

Kedua tangannya menekuk paksa kaki Febri, jari telunjuk tangan kanannya turun untuk mengelus mahkota yang menggoda dirinya. Basah dan licin, saat membuka lipatan itu dia tersenyum miring. Pink merona dengan bentuk yang cantik.

"Bangsat," makinya, Jayendra menoleh pada tiga temannya, "dia perawan."

Liam terkekeh, "keliatan jelas."

Komentarnya.

"Anjir, cepetan ngapa. Gue juga pengen." Kesal Gio, dia sudah panas dingin menonton adegan Jayendra. Ini pertama kalinya, karena biasanya jika mereka bermain pasti berbeda perempuan. Namun entah kenapa yang ini membuatnya penasaran.

"Jangan, aku mohon.. aku mohon.." permintaan lirih itu terdengar hanya seperti detak jarum jam yang tidak diindahkan. Jayendra hanya melirik sebentar sebelum menunduk untuk menciumi kedua paha mulus itu.

"Tolong.. ini salah, ini salah.."

"Perlu di rekam gak?" tanya Kevin.

Mendengar itu Febri berhenti memelas, kepalanya menoleh ke arah Kevin. Dia baru sadar kalau dari tadi menjadi tontonan. Mungkin terlalu sibuk menangis dan memohon.

"J-jangan, Kak. Jangan, ampun. Jangan begitu." Isaknya lagi.

Kevin terkekeh, dia mengangguk. "Kalau gitu diem aja, nikmatin."

Inginnya Febri menyangkal, namun sapuan lidah Jayendra di daerah privasinya membuat dia terkejut. Reflek kedua pahanya menjepit kepala Jayendra.

"Ya Tuhan. Anghh."

Febri malu, dia ingin sekali menghilang di telan bumi. Dia merasa sangat kotor. Dia ketakutan namun tidak berdaya. Apalagi dengan yang Jayendra lakukan malah membuat tubuhnya berteriak senang. Rasa geli itu masih ada, namun karena Jayendra melakukan sentuhan itu mengurangi rasa aneh yang menyerang tubuhnya.

Febri yakin, obat maupun minuman tadi sudah diberikan hal aneh oleh para pemuda ini.

"Anghh, jangan. Itu kotor!"

Febri menjerit, mengenyahkan kepala Jayendra dan menjepitnya keras. Geli sekali namun jujur saja itu nikmat.

Jayendra pintar sekali membuatnya kelojotan dengan sensasi menyenangkan. Seluruh tubuhnya meremang, panas tadi perlahan menghilang dan Febri mendesah dengan kepala yang semakin menekan bantal.

"Yahh, janganh. Ampun, ugh geliihh."

Badannya bergoyang kesana kemarin, mencoba memberontak namun sapuan lidah Jayendra masih gencar mengerjai miliknya.

"T-tolong cukuphh, enggak, enggak aku mau pipis."

Ketiga yang lain terkekeh mendengarnya, jeritan Febri lucu sekali. Apalagi ekspresi itu manis dengan menggoda secara bersamaan.

"Akuhh ahh.."

Febri melemas, sesuatu keluar dari dirinya. Namun rasanya sangat lega. Dirinya puas. Rasa menggelitik tadi berangsur-angsur menghilang.

Jayendra melepaskan kegiatannya, menatap Febri yang memejam kelelahan dengan napas memburu.

"Hei, sayang. Jangan tidur dulu. Belum intinya."

Perlahan Febri membuka mata, jangankan bergerak, untuk memberontak saja dia sudah tidak kuat apalagi hanya sekedar mengucapkan kata tolakan. Dia melihat Jayendra membuka gesper celana seragamnya sendiri dengan terburu-buru.

Lalu lelaki itu berdiri disebelah kasur untuk meloloskan celananya, boxer berwarna hijau stabilo terlihat cerah, Jayendra membuka kacing baju seragam dan melepaskan dengan cepat. Dia memakai baju dalaman putih polos.

Saat Jayendra menurunkan boxernya, Febri menutup mata dengan lelah. Kepalanya menoleh ke arah kiri dimana dia berhadapan dengan dinding. Air mata itu kembali menggenang.

Memberontak percuma, memelas pun tidak dipedulikan, jika melawan ia yakin bukan hanya Jayendra namun ketiga yang lainnya pasti akan menyiksa dirinya.

"Sat, mana kondom?" Jayendra membuka laci nakas yang ada disebelah ranjang, benda keramat itu ternyata tidak ada. Dia menoleh mantap Gio.

"Noh, di lemari kaca." Tunjuk Gio dengan dagu ke arah kemari kaca disebelah kulkas.

Jayendra berjalan ke lemari kaca, meraih box benda yang tadi ia sebutkan. Lalu kembali ke arah kasur,di duduk dipinggiran. Membuka box, menyobek bungkus dengan gigi dan memasangkannya pada benda kesejatiannya.

"Ayo mulai, kucing manis." Ucap Jayendra berat. Napasnya menjadi tersendat dan bendanya berkedut ingin segera masuk saat melihat milik Febri.

"Tahan, ya." Katanya, tidak mendapat jawaban. Jayendra meraih dagu Febri kencang untuk menatapnya.

"Jawab gue." Titahnya tegas. Tatapan datar dengan sorot tajam itu terlihat oleh mata sayu Febri.

"Iya, master." Jawabnya lemah.

Jayendra tersenyum, dia melumat bibir menggoda itu dulu sambil mempersiapkan kepunyaannya. Dia genggam dengan diurut pelan. Dirasa cukup Jayendra memposisikan itu didepan milik Febri.

"Sakit dikit kitty, tapi bakalan enak."

Febri memejam lemas, dia terisak pelan. Napasnya ditahan saat Jayendra sudah perlahan memasukinya.

Perih mendera, seketika itu juga Febri mendadak pusing. Ia raup oksigen yang seakan hilang, bersamaan dengan itu Jayendra mendorong miliknya masuk. Geramannya terdengar berat dan serak, ini bahkan baru ujung namun sudah di jepit dengan kuat. Ia tahan sebisa mungkin agar melakukannya dengan perlahan.

Tangan Febri menggapai udara, dia ingin berpegangan. Otot-otot tubuhnya menegang kaku. Dia kesulitan bernapas dan rasa perih itu terganti menjadi sakit yang teramat sangat. Rasanya dia tengah dibelah dua.

"Sakit.. angh, sakitt. Berhh-hentiih."

"Shh, dikit lagi manis." Jayendra menenangkan, dia mengusap air mata yang keluar di ujung mata Febri, mencium kening itu dengan lembut dan melumat bibir yang kini bengkak oleh ulahnya.

Saat dimana setengahnya masuk, Jayendra menekan lebih dalam. Bibirnya digigit oleh Febri dan tangan itu mengalung di lehernya dengan jambakan lemah dibelakang kepalanya.

Jayendra tahan sebentar, dia berhenti untuk menenangkan Febri. Sialnya ini sulit, miliknya dicengkram dan diremat menyenangkan oleh Febri. Napsunya sudah diujung tanduk, tapi tetap menunggu.

Baru kali ini, seorang Jayendra ingin memikirkan pasangan bercintanya.

Dia adalah orang egois yang mementingkan diri sendiri dan tidak peduli dengan perasaan orang lain. Tapi ini? Rasanya mungkin dia sedang dilanda gila.

Saat Febri bernapas dengan tenang, Jayendra bergerak, perlahan, memberikan rangsangan agar Febri menyambutnya. Dan tentu benar, karena Febri malah semakin mengalungkan tangannya dan mendesah disebelah telinga dengan merdu.

Kening Jayendra berlipat dalam, dia mencoba susah payah agar melakukannya dengan lembut.

"Angh, masterhh."

"Brengsek!" maki Jayendra, desahan Febri ternyata berbahaya. Jayendra tidak kuat. Dengan gerakan kuat dia menghentak tubuh kecil dibawah kungkungannya.

Mencari kenikmatan tak terkira, geraman dan desahan mereka berdua menyatu. Menguasi ruangan itu dan menjadi satu-satunya suara yang terdengar.

Ketiga yang lainnya mendadak kaku, mereka menegang dengan menelan ludah susah payah. Pemandangan erotis didepan mereka seolah tidak bisa mengontrol gairah masing-masing.

Ketiganya mengakui jika ini pertama kali bagi mereka untuk menunggu giliran.

"Sialan." Umpat mereka bersamaan.

Namun bagi Febri, ketika panas itu sudah menghilang dan rangsangan yang diberikan Jayendra menyenangkan, dia sudah tidak kuat lagi untuk bertahan. Kesadarannya menipis, tangan yang mengalung itu perlahan terjatuh dan dia tidak sadarkan diri.

BERSAMBUNG

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel