Bab.03
Kedua bola mata Mario membulat sempurna ketika Eriska menggoyangkan dua buahnya tepat di hadapannya.
Kemeja putih tipis dengan kancing terbuka sengaja Eriska perlihatkan pada pria yang dia puja itu.
“Menyebalkan! Menjauhlah dariku, wahai Perempuan murahan!” Mario menahan sesak di bawah sana, sengaja duduk tak bergerak sedikitpun menyembunyikan bagian bawahnya semakin memenuhi sarangnya.
Eriska sangat kesal karena dirinya di katai murahan, ia berbalik arah meninggalkan ruangan bosnya.
BRAG!!!
Pintu sengaja Eriska banting lantaran ia tidak terima atas perkataan Mario.
‘Kenapa kamu tidak sedikitpun menghargai perasaanku Mario,' batin Eriska sendu dengan tatapan tajam ke arah depan.
Buliran bening menetes begitu saja, bahkan mengemis cinta sekalipun tetap saja Mario tidak melihatnya.
Eriska di mata Mario hanyalah gadis ingusan, yang tidak tahu sopan santun.
“Sekretaris Er, Anda tidak apa-apa kan?” seseorang mengalihkan pandangan Eriska.
Eriska menoleh dengan malas pada orang yang menyapanya, tak lain ialah Willy asisten dari Mario Dewantara.
“Ngapain kamu tanya-tanya! Sudah sana urus saja Bos sombong dan angkuh itu!” kesal Eriska memelototi Willy.
Willy menelan ludah, wajahnya berubah ketakutan ketika melihat Eriska berusaha mendominasinya.
“I-iya maafkan saya Sek-retaris Er,” ucap Willy gagap sambil menundukkan kepalanya.
Eriska melengos pergi dengan langkah menghentak-hentak ke lantai, hingga suara high heelsnya membuat yang lainnya terganggu.
TAK-TAK-TAK!
Suara langkah kaki mengalihkan semua pandangan orang di sekitar sana. Dengan memasang wajah cemberut khas anak baru gede, Eriska membanting pintunya lagi ketika akan masuk ke dalam ruangannya.
BRAG!
Untuk ke sekian kalinya Eriska membanting pintu, sementara para karyawan lainnya hanya bisa mengelus dada melihat tingkah laku Sekretaris Er.
“Heeeeu!” Eriska menangis di dalam ruangannya, kepalan tisu di mana-mana bekas mengelap air mata, dan Iler.
“Heuuu!” lirihnya merengek-rengek seperti anak baru gede.
“Mario jahat! CEO bodoh, arogan tapi kenapa kamu ganteng heuuu!” lirih Eriska menangis tersedu-sedu, tapi sekesal apapun Eriska terhadap Mario. Ia tetap memuja pria yang tak pernah sama sekali terlihat bersama perempuan, apa lagi memiliki pacar, Mario tidak sempat untuk melakukan itu semua.
Para bawahan Eriska berkerumun di depan kantor, mereka mengintip Eriska yang sedang menangis di dalam ruangan sambil memakan beberapa camilan tapi tetap saja dia sambil merutuki Mario.
“Ada apa ini, kenapa kalian berkerumun di depan Ruangan Sekretaris Er?” tanya Gwen yang akan menyerahkan berkas pada Eriska.
“Itu Buk Gwen, kayaknya Sekretaris Er habis berantem lagi dengan Pak Mario, makannya dia menangis,” ucap salah satu karyawati yang ada di sana memberitahu Gwen.
Tidak heran bagi Gwen, jika Eriska akan seperti itu jika setelah berhadapan dengan bosnya, selain Eriska batu Mario juga sangat arogan selalu bertindak semena-mena, kalau bicara tidak pernah di saring.
TOK! TOK! TOK!
Gwen berdiri di ambang pintu, menatap pada Eriska yang sedang menangis. Gwen merasa iba melihat temannya itu hingga sesedih ini.
“Kamu kenapa Er? Sudah aku katakan bukan, berhentilah mengejar Mario, dia tidak akan pernah mencintaimu,” Gwen memeluk kepala sahabatnya yang tengah menangis itu.
“Tapi-tapi aku hanya mau Mario Gwen, enggak mau yang lain,” ucap Eriska terbata-bata.
“Iya, tapikan yang namanya perasaan itu tidak bisa di paksakan Er, kamu juga harus belajar untuk mengikhlaskan,” ucap Gwen terus menenangkan Eriska.
Eriska pun sedikit lebih tenang setelah Gwen memberikan pengertian padanya. Eriska segera kembali ke habitat aslinya, entah bermuka tembok atau berhati baja, mungkin keduanya cocok untuk penggambaran seorang Eriska.
“Benar katamu Gwen, perasaan tidak akan bisa di paksakan,” ucap Eriska.
Gwen pun tersenyum, akhirnya perkataannya itu bisa di petik hikmahnya oleh Eriska.
Namun, ternyata dugaan Gwen salah besar Eriska salah mengartikan nasihatnya.
“Maka dari itu, aku harus lebih bersemangat lagi meyakinkan Mario kalau aku benar-benar tulus sayang padanya!” seloroh Eriska, dan membuat Gwen memoncongkan mulutnya dan bergumam dalam hati.
‘Bukan itu yang gue maksud!’ gumam Gwen dalam hati.
“HA-HA! Iya terserah kamu saja deh Er,” ucap Gwen tertawa renyah, sambil menggaruk tangannya yang tak gatal. “Hadehhh! Susah deh kalau ngomong sama Eriska, sama saja gue ngomong sama tembok!”
Eriska sudah kembali seperti semula, dia menelepon OB untuk segera membersihkan ruangannya yang berantakan, banyak sampah tisu dengan cairan bekas mengelap hidungnya.
Gwen masih setia menemani Eriska mengobrol di sofa, tidak sengaja Gwen memegang kepalan tisu, terasa basah di tangan dan menempel.
“Iuuuuh! Ini apaan?” Gwen bergidik geli ia mengingat saat Eriska menangis, mengelap hidungnya. “Eriska! Jangan bilang ini__”
“Itu Iler gue,” dengan santainya Eriska cengengesan di hadapan sahabatnya itu.
“Ihhh nyebelin banget jorok ih!” kesal Gwen sambil mengelap-ngelapkan tangannya ke sofa. “Ok bye gue ke toilet, lagi pula masih banyak pekerjaan!”
Gwen pergi meninggalkan ruangan Eriska.
Sementara Mario, di ruangannya terlihat sedang fokus pada pekerjaannya, di temani Willy.
“Pak!” ucap Willy sudah merasa jenuh menemani bosnya di dalam ruangan itu, lantaran Mario hanya diam dan fokus pada pekerjaannya.
“Hemmm,” sahut Mario menatap pada Willy, tajam.
“Kalau sudah tidak ada yang saya kerjakan lagi, saya boleh pergi kan Pak?” Willy meminta persetujuan dari Tuannya itu.
Mario hanya diam tidak menimpali lagi perkataan Willy.
Willy bertanya sekali lagi, dia sudah tidak tahan di dalam ruangan itu tanpa suara musik di putar, karena kalau di ruangannya sendiri jika sedang bekerja Willy selalu memutar musik.
“Pak saya bolehkan keluar dari Ruangan Bapak?”
Mario masih diam tidak menggubris, dan akhirnya Willy mengambil keputusannya sendiri, perlahan dia bangkit berjalan ke arah pintu.
“Kembali, jangan sesekali mau keluar dari Ruangan ini!” tegas Mario tidak ingin di bantah.
Willy pun hanya diam badannya terasa gemetar, langkahnya melemah lantaran dia harus tetap berada dalam ruangan yang mencekam itu.
Terbesit di benaknya, dengan perkataan yang pernah terlontar dari mulut Eriska, yang mengatakan Mario tidak menyukai perempuan.
Willy bergidik ngeri ketika menatap Mario, dan tanpa sadar Mario balik menatapnya, Willy segera membuang tatapannya, kakinya gemetaran keringat jatuh bercucuran, di tambah lagi Mario terus memperhatikannya.
“Apa kau kegerahan?” tanya Mario menautkan kedua alisnya, lantaran di ruangan sedingin itu, Willy berkeringat.
DEGH!
Hati Willy bertambah ketakutan, dia takut kalau ucapan Eriska ada benarnya.
“Pak, jangan lakukan apa-apa pada saya yah? Saya masih normal Pak!” ujar Willy merasa ketakutan.
Sementara Mario mengepalkan tangannya, lantaran kesal terhadap perkataan yang terlontar dari mulut asistennya yang sudah bekerja tahunan padanya, terpengaruh oleh perkataan Eriska, semakin menambah saja kebencian Mario pada Eriska.
“Ini semua gara-gara Sekretaris bodoh itu!” Mario meremas kertas di tangannya, masih menatap tajam pada Willy.
Eriska tidak sengaja lewat di depan ruangan Mario, mulutnya menganga ketika melihat Mario menatap tajam pada Willy lantaran kesal, dan itu membuat Eriska semakin curiga jika bosnya itu memiliki kelainan.