Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Mengumpulkan Bukti

Setelah semuanya selesai, Vania segera keluar dari kamarnya dan melangkah menuju anak tangga yang akan membawanya ke lantai dasar. Dia mengambil sepatu yang terletak di rak sepatu. Setelah memakai sepatunya, Vania melangkah keluar seraya menyambar kunci mobil yang terletak di atas meja. Dia mengunci pintu dengan cepat agar tidak terlambat menghadiri akad nikah suaminya. Lebih tepatnya menghadiri akad nikah sebagai tamu yang tidak diundang.

Vania membuka pagar dan mengeluarkan mobilnya. Setelah itu, dia segera turun untuk mengunci pagar kembali. Dia menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju desa tetangga dimana sang Ibu berada.

Lima belas menit kemudian, Vania sudah sampai di depan gerbang rumah orang tuanya. Seorang satpam membukakan pintu gerbang untuknya.

“Ibu ada, Pak?” tanya Vania kepada petugas yang sedang membukakan pintu gerbang.

“Ada, Mbak. Ibu sudah menunggu dari tadi di dalam,” jawabnya dengan sopan sambil membungkukkan tubuhnya dengan hormat.

“Terima kasih, Pak,” ucap Vania seraya memasukkan mobilnya ke dalam. Beberapa menit kemudian, mobil yang dikemudikan oleh Vania sudah berada di pekarangan rumah mewah tersebut. Dia turun dengan jantung yang berdebar kencang.

Vania melangkah masuk dan segera memeluk tubuh Ibunya yang sudah menunggu di kursi yang ada di ruang keluarga. Rasanya Vania ingin mengatakan semua pengkhianatan yang telah dilakukan oleh suaminya. Akan tetapi, dia mengurungkan niatnya tersebut karena masih belum mempunyai bukti yang cukup untuk mengungkapkan semuanya.

“Kamu kenapa, Mbak?” tanya sang Ibu saat melihat Vania yang memeluknya dengan air mata yang berjatuhan. Sejenak, perempuan paruh baya itu mengusap punggung sang anak dengan pelan. Sebagai seorang Ibu, dia bisa merasakan bahwa anak perempuannya itu sedang tidak baik-baik saja.

“Aku kangen banget sama, Ibu,” jawab Vania sambil mengusap air matanya.

“Kangen sama Ibu atau lagi ada masalah? Bukankah baru bulan kemarin kamu pulang kesini?” sang Ibu menatap Vania dengan lekat. Dia berusaha menyelami perasaan sang anak. Benar kata pepatah bahwa perasaan seorang Ibu tidak bisa dibohongi.

“Aku tidak ada masalah, Bu. Semuanya baik-baik saja. Ibu sudah siap? Ayo berangkat!” Vania melepaskan pelukannya dari sang Ibu.

“Kamu mau kemana sebenarnya?” tanya Bu Ratih dengan pandangan yang menyelidik.

“Aku mau menghadiri pesta teman sewaktu kuliah di kota tetangga, Bu. Ibu tenang saja, aku berangkatnya nggak sendirian kok, melainkan sama Kiara.”

Vania menjawab cepat serta lengkap dengan alasannya. Dia tau bahwa Ibunya curiga dan sedang menatapnya dengan pandangan yang menyelidik.

“Ibu kenapa, sih?” tanya Vania seraya tertawa melihat sang Ibu yang menatapnya dengan kening yang berkerut.

“Tidak ada. Kamu agak aneh hari ini,” kekeh sang Ibu seraya mengambil tasnya yang terletak di atas meja.

“Dania sudah tau kan, Bu?”

Dania Nirmala merupakan adik kandung Vania. Dia bekerja di perusahaan milik keluarga dan tinggal serumah dengan Ibu semenjak Ayah mereka meninggal.

“Sudah, Van. Ibu juga sudah mengatakan sama Dania bahwa akan menginap di tempat kamu selama beberapa hari kedepan,” jawab sang Ibu dengan wajah yang sangat bahagia karena akan segera bertemu dengan cucu kesayangannya. Dia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Agung dan Fadila.

Vania tertawa melihat wajah sumringah sang Ibu. Rasanya dia tidak tega untuk mengatakan semuanya. Dia tidak tega menghancurkan kebahagiaan orang tuanya. Tetapi, dia juga tidak sanggup untuk menahan semuanya sendirian. Apalagi setelah menyaksikan akad nikah Mas Haikal yang akan diadakan nanti siang.

Sepertinya hari ini Vania akan menghancur begitu banyak impian dan kebahagiaan keluarganya selama ini, termasuk impian Haikal yang tentunya ingin hidup bahagia dengan istri barunya.

Vania tersenyum membayangkan hal yang terakhir. Yah, dia tersenyum membayangkan bagaimana reaksi suaminya nanti saat dia juga ikut menjadi saksi hari bahagia pria yang sudah menikah dengannya hampir dua puluh tahun lamanya.

Dua puluh menit kemudian, mereka sudah sampai kembali di rumah yang ditempati oleh Vania.

“Aku titip anak-anak ya, Bu. Mungkin pulangnya agak telat karena jauh. Tetapi, jika bisa cepat aku akan mengusahakan untuk cepat pulang.”

“Tidak masalah. Yang penting hati-hati dan nyetirnya gantian sama Kiara biar kamu nggak capek,” ucap Bu Ratih dengan tersenyum tipis.

“Iya, Bu,” jawab Vania dengan patuh. Dia mengulurkan telapak tangannya untuk menyalami sang Ibu serta mengecup kedua pipi wanita yang sudah melahirkan dan membesarkannya selama ini.

Setelah berpamitan, Vania melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Dia berusaha menenangkan debar di dadanya. Dia berusaha untuk menenangkan perasaannya yang sedang bercampur aduk.

“Tunggu aku, Mas, meskipun kamu tidak mengundangku di hari bahagiamu ini. Berbahagialah di atas lukaku, kau juga akan merasakan hal yang sama sepertiku,” ucapnya sendirian seraya mengetuk-ngetukkan jarinya di kemudi saat terlibat macet.

Setelah menunggu beberapa saat lamanya, akhirnya macet pun mengurai. Vania menjalankan mobilnya dengan cepat saat melihat jarum jam yang sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Dia belum sampai setengah perjalanan.

Butuh waktu tiga jam lebih untuk sampai di kota dimana Mas Haikal mengadakan pesta pernikahannya.

“Semoga tidak ada lagi macet di depan. Bisa kacau jika aku telat datang,” ucapnya sendirian.

Tiba-tiba, ponsel Vania yang terletak di dalam tas berdering. Tampak sebuah panggilan dari Kiara di layar depannya. Dia segera memasang earphone bluetooth setelah menggeser tombol yang berwarna hijau.

“Assalamu’alaikum, Ra,” sapa Vania yang sedang menyetir. Dia memperlambat laju mobilnya karena menjawab panggilan dari Kiara.

“Kamu lagi dimana sekarang, Van?”

“Aku lagi dijalan baru pulang dari pasar,” jawab Vania dengan berbohong. Lagi-lagi, dia harus berbohong demi melancarkan misinya. Dia tidak mau Kiara sampai membocorkan kunjungannya hari ini. Akan tetapi, setelah melihat semuanya dengan matanya sendiri nanti siang, maka Vania akan menceritakan semuanya kepada Kiara.

“Bagaimana? Kamu sudah konfirmasi sama Haikal?”

“Belum, Ra. Nanti saja setelah semuanya terbongkar. Aku akan menyelidikinya secara perlahan. Oh iya, kamu kenal nggak sama perempuan itu?” tanya Vania seraya menepikan mobilnya di pinggir jalan.

“Aku cuma membaca di grup chat aja, Van. Katanya perempuan itu sekretarisnya di kantor. Perempuan itu baru satu tahun bekerja di perusahaan tersebut. Sebelumnya dia masih kuliah. Kayaknya dia gadis polos yang berhasil dibohongi oleh Haikal deh Van.”

“Biarlah, Ra. Aku hanya ingin membuktikan semuanya. Baguslah jika Mas Haikal sudah bisa menemukan perempuan lain. Aku juga tidak akan mengemis cinta kepadanya.” Vania berkata dengan menelan rasa pahit di kerongkongannya.

“Aku setuju dengan kamu, Van. Pokoknya, jika ada informasi terbaru maka aku akan segera kasih kamu kabar. Sepertinya Haikal tidak sadar jika aku ada di grup tersebut,” sela Kiara dengan semangat yang berapi-api menjelaskan semuanya. Sepertinya dia berada di pihak Vania dan juga marah dengan kelakuan Mas Haikal.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel