Undangan Pernikahan Suami
“Maaf banget ya, Van karena aku sudah mengatakan semua ini. Hubungan kamu sama Haikal baik-baik saja, kan?” tanyanya dengan pelan.
“Hubungan kami baik-baik saja, Ra. Baru satu jam yang lalu Mas Haikal menghubungi aku dan juga anak-anak.” Vania menjawab dengan jujur.
“Apa yang dikatakannya, Van? Masalahnya, Haikal mengaku kepada keluarga perempuan itu bahwa dia sudah duda semenjak dua tahun yang lalu.”
“Duda? Kami masih pasangan suami istri yang sah, Kia. Sama sekali belum bercerai. Dia mengatakan bahwa tidak bisa pulang sampai bulan depan. Tetapi ada yang aneh dengan ucapannya. Sama anak-anak dia mengatakan bahwa akan pulang dua minggu lagi.”
“Aku sangat yakin jika yang di undangan itu adalah Haikal, Van. Nanti akan aku kirimkan foto undangan pernikahannya. Aku dapat dari grup teman kuliah dulu, kebetulan Haikal mengundang alumni kuliah yang tergabung dengan grup yang sama denganku.”
“Terima kasih banyak informasinya, Ra. Aku akan menyelidikinya. Jika memang demikian, maka aku tidak akan tinggal diam.”
“Kamu yang tenang ya, Van. Semua harus diselesaikan secara baik-baik,” pesan Kiara sebelum mengakhiri panggilan telepon tersebut. Kiara juga takut jika Vania akan mengacaukan semuanya. Apalagi jika Vania sampai menyebut namanya maka tamatlah riwayat Kiara. Dia sudah bisa memastikan bahwa Haikal pasti akan melabraknya.
“Kamu tenang saja, aku akan menyelidikinya setelah ini. Satu hal lagi, rahasia kamu akan aku pegang,” jawab Vania dengan suara yang terdengar tenang. Dia berusaha menahan luapan perasaannya yang terasa sakit. Setelah mengucapkan kalimat tersebut, sambungan telepon pun langsung terputus.
Beberapa detik selanjutnya, masuklah sebuah pesan baru dari Kiara. Vania membuka pesan tersebut dan membaca undangan pernikahan yang dikirimkan oleh Kiara. Dia tersenyum getir saat membaca nama suaminya di undangan pernikahan tersebut. Nama Haikal Anggara tertulis secara jelas di undangan tersebut. Akad nikah akan dilangsungkan besok jam dua siang dengan seorang perempuan yang bernama Miranda Bella.
“Siapa perempuan itu?” gumam Vania dengan air mata yang menetes. Hatinya sangat terluka membaca undangan pernikahan suaminya tersebut. Suami yang baru satu jam yang lalu menghubunginya dan mengatakan tidak bisa pulang sampai bulan depan.
Suami yang berpesan agar Vania tidak tergoda dengan pria lain. Ternyata suaminya sendiri yang menyeleweng dengan perempuan lain.
“Aku tidak akan tinggal diam dengan semua ini, Mas. Tega kamu menghancurkan kebahagiaan aku dan anak-anak. Kamu akan lihat apa yang bisa aku lakukan setelah ini,” ucapnya dengan yakin seraya mengusap air matanya dengan kasar. Vania mulai memikirkan hal apa yang akan dilakukannya besok.
“Aku tidak akan membiarkan kamu menghancurkan impian kami, Mas. Kamu juga harus hancur bersama denganku. Jangan harap kamu akan bahagia,” ucapnya dengan seulas senyuman sinis.
“Jangan panggil aku Vania jika aku tidak bisa menghancurkan kamu, Mas. Mari kita lihat, siapa yang akan menang. Perang ini akan segera dimulai,” ucapnya lagi dengan tertawa pelan melepaskan rasa sakit yang dirasakannya.
Pagi-pagi sekali, Vania sudah selesai menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya di meja makan. Dia tidak mempunyai nafsu makan sama sekali setelah mendapatkan kabar dari Kiara kemarin. Bahkan tidak hanya itu saja, semalam dia juga tidak bisa tidur memikirkan semuanya.
Vania bisa membayangkan raut wajah bahagia Haikal di seberang sana dengan calon istrinya. Sedangkan Vania harus menelan luka sendirian. Hatinya benar-benar terluka dalam dan hancur berkeping-keping. Akan tetapi, Vania tidak ingin anak-anaknya mengetahui semuanya.
Vania sudah menyusun rencana dan strategi untuk mengungkapkan perselingkuhan suaminya. Suami yang sudah memberikan kehidupan yang layak untuk mereka selama ini. Suami yang sangat disayanginya ternyata hari ini berubah menjadi sosok suami kejam yang tega menghancurkan harapan dan kebahagiaannya.
‘Tunggu pembalasanku, Mas. Aku pastikan kamu akan menangis darah setelah ini. Berani-beraninya kamu mempermainkan aku dan menyeleweng dibelakangku. Kepercayaanku kamu sia-siakan,’ batinnya sendirian seraya menatap Agam dan Dila secara bergantian.
“Abang pulang jam berapa hari ini?” tanya Vania sesaat setelah mereka selesai menikmati sarapan. Dia menatap anak sulungnya dengan lekat. Matanya tampak berkaca-kaca teringat dengan suami yang akan menikah siang nanti.
“Pulang jam empat, Bu. Nanti siang ada rapat Osis dan habis itu mau latihan basket. Ada apa, Bu?” Agam menatap sang Ibu dengan lekat. Dia meletakkan sendok dan garpu yang tadi di pegangnya. Agam lantas meneguk susu hangat dalam dua tegukan. Selanjutnya, dia mengusap mulutnya dengan selembar tisu yang terletak di atas meja.
“Tidak ada. Ibu hari ini mau menghadiri pesta pernikahan teman di kota tetangga. Nanti Ibu akan menjemput Nenek karena pulangnya mungkin agak sore. Untuk sementara waktu Nenek akan disini dulu sampai Ibu kembali.”
“Tidak masalah, Bu. Ibu pergi dengan siapa?” jawab Agam seraya menganggukkan kepalanya.
“Dengan Tante Kiara, sayang,” jawab Vania dengan berbohong. Dia tidak ingin anak-anaknya mengetahui semua kelakuan Ayah mereka.
“Hati-hati dijalan, Bu. Adek biar Abang saja yang jemput nanti siang,” ucap Agam dengan cepat.
“Terima kasih, sayang,” balas Vania dengan tersenyum lembut. Sebuah senyuman yang mengatakan bahwa dia baik-baik saja meskipun hatinya sedang terluka dan pikirannya juga kacau memikirkan semuanya.
“Ya sudah. Kami berangkat dulu, Bu,” ucap Dila seraya berdiri dari tempat duduknya. Agung dan Dila menyalami tangan Vania dan mengecupnya dengan santun.
“Hati-hati, sayang,” pesan Vania seraya melangkah menuju pintu keluar yang dijawab sang anak dengan menganggukkan kepala patuh.
Vania melambaikan tangannya kepada Agung dan Dila yang sudah naik motor. Tidak lama kemudian, motor tersebut sudah keluar dari gerbang rumah dan berbaur dengan kendaraan lain di jalan raya. Vania menutup pintu gerbang kembali.
Selanjutnya, dia melangkah masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu dengan cepat. Vania berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai dua bangunan mewah tersebut. Setelah sampai di kamar, wanita itu lantas berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
Sepuluh menit kemudian, Vania sudah selesai menunaikan ritual mandinya. Dia mengeluarkan setelan gamis yang lengkap dengan hijab dalamnya.
“Hari ini aku akan menghabisi kamu, Mas. Berani kamu bermain api dibelakangku,” ucapnya sendirian setelah memasang pakaiannya. Vania mengambil cadar yang sudah dipersiapkannya dari kemarin setelah mendengar informasi dari Kiara.
Dia memasang cadar tersebut di depan cermin. Beberapa menit kemudian, dia segera membuka cadar itu kembali.
“Kamu tidak akan menyangka dengan semua ini, Mas. Kamu memberiku kejutan yang luar biasa, maka aku akan memberimu kejutan yang lebih mengejutkan lagi.”
Vania memasukkan cadar dan ponselnya ke dalam tas yang sudah dia siapkan. Wajahnya terlihat tersenyum penuh arti. Sedikitpun tidak terlihat raut terluka di wajahnya.
Dari semalam, Vania sudah mempersiapkan hatinya untuk tidak memperlihatkan luka yang dirasakannya. Semuanya dirasa cukup setelah menumpahkan air mata semalaman di kamar, tanpa ada orang lain yang mengetahui luka dan hancur yang dirasakannya.