Ringkasan
Vania yang menjalani hubungan jarak jauh dengan suaminya Haikal Anggara ternyata harus menelan pil pahit yang bernama kecewa dan terluka saat dia harus melihat pernikahan kedua suami yang sudah menikahinya selama hampir 20 tahun lamanya. Vania tidak pernah menyangka jika pernikahannya akan hancur seperti ini. Dia lebih memilih untuk berpisah daripada harus hidup dalam balutan luka melihat suaminya bersama wanita lain. Vania menjalani hidup barunya dengan dua orang anak mereka yang baru beranjak remaja. Akankah Vania yang selama ini bergantung penuh kepada suaminya sanggup untuk bertahan hidup? Hal apa yang akan dilakukannya untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarga tanpa adanya bantuan dari suaminya?
Kabar Mengejutkan
“Bagaimana, Mas? Apa kamu bisa pulang bulan ini?” Vania bertanya kepada suaminya melalui sambungan telepon.
“Mohon maaf, sayang. Mas nggak bisa pulang bulan ini. Oh iya, Mas mau mengatakan bahwa sampai bulan depan belum bisa pulang karena pekerjaan di kantor sangat banyak.” Terdengar jawaban dari Mas Haikal dari seberang sana.
Vania menghembuskan napasnya dengan pelan untuk meredam rasa kecewa saat mendengarkan jawaban suaminya. Lagi-lagi Mas Haikal tidak bisa pulang karena sibuk. Ini adalah tahun kelima suaminya tidak pernah pulang semenjak pergi merantau ke kota.
“Mas, tidak bisakah pulang sebentar meskipun hanya dua hari saja? Anak-anak sudah nanyain kamu terus,” ucap Vania dengan menelan kecewa.
“Tidak bisa, sayang. Perusahaan sedang sibuk banget dengan pembukaan cabang yang baru. Jika Mas bisa menjadi kepala cabang nantinya, maka bisa sering pulang karena kantor cabangnya tidak jauh dari kota kita.”
“Ya sudah. Kamu sampaikan saja kepada anak-anak. Aku tidak sanggup untuk melihat wajah kecewa mereka. Mereka sudah sangat merindukan kamu, Mas,” lirih wanita itu dengan suara yang bergetar. Vania tidak bisa bersandiwara lagi dengan rentetan pertanyaan yang diajukan oleh anak-anak mereka terkait sang Ayah yang tidak pernah pulang semenjak pergi merantau.
“Baiklah. Nanti Mas akan menghubungi mereka. Ya sudah, Mas mau kerja lagi. Kamu baik-baik disana, jaga diri dari godaan pria lain, Mas sayang kamu.”
Setelah mengucapkan kalimat panjang tersebut, sambungan telepon pun terputus. Vania meletakkan ponselnya di atas meja dan memilih untuk melanjutkan pekerjaannya kembali. Hatinya sedikit bergetar mendengar ucapan suaminya yang mengatakan jaga diri dari godaan pria lain.
“Kamu kenapa, Mas? Tidak biasanya berkata seperti itu,” ucapnya sendirian seraya mencuci piring. Vania meletakkan gelas dan piring yang telah selesai dicucinya. Akan tetapi, entah kenapa gelas tersebut terlepas dari tangannya dan jatuh berserakan di lantai.
“Astaghfirullahal’adzim,” lirihnya dengan jantung yang berdebar kencang. Perasaannya terasa tidak enak dan teringat dengan pesan suaminya tadi. Vania menggelengkan kepalanya dengan cepat. Dia berusaha untuk mengembalikan fokusnya.
Vania berjalan mengambil sapu untuk membersihkan pecahan kaca. Tanpa sengaja, tangannya terluka saat mengambil pecahan kaca tersebut. Perasaannya semakin menjadi tidak enak.
“Apa kamu baik-baik saja disana, Mas?” ucapnya sendirian sambil menghisap jari telunjuknya yang terluka. Selanjutnya, wanita cantik itu mengambil plester untuk membalut jari telunjuknya. Vania melewati ruang keluarga dengan pikiran yang masih melayang kepada suaminya.
“Eh, Adek sudah pulang? Kapan pulangnya?” Vania terkejut saat melihat anak perempuannya yang masih kelas dua sekolah menengah pertama sudah duduk di kursi yang ada di ruang keluarga.
“Sudah dari tadi, Buk. Ibu sih melamun saja dari tadi. Aku pulang sama Abang.” Fadila menjawab dengan heran saat melihat wajah sang Ibu yang sedikit pucat.
“Oh, Abang sudah pulang juga?”
“Sudah, Bu. Ibu baik-baik saja, kan?” Agam yang baru datang dari kamarnya menjawab dengan cepat. Dia memperhatikan wajah sang Ibu yang terlihat kurang sehat.
“Ibu baik-baik saja, sayang. Abang sudah sholat?” jawab Vania dengan seulas senyuman di wajahnya. Seketika, perasaan tidak enak dan khawatir tadi menghilang dari pikirannya. Dia tidak memikirkan ucapan suaminya lagi.
“Sudah, Bu. Barusan selesai sholat.”
“Ya sudah, ayo makan. Ibu baru selesai masak,” ucap Vania sambil membawa kedua anaknya ke meja makan. Setelah berbincang sebentar, mereka pun memulai makan siang dengan tenang dan tanpa suara.
“Bu, Ayah katanya pulang dua minggu lagi. Ibu mau bikin kejutan apa buat Ayah?” Dila bertanya dengan raut wajah yang terlihat sangat gembira.
“Adek tau darimana kalau Ayah bakalan pulang?” Vania bertanya dengan terkejut. Dia menatap anaknya satu persatu. Bukankah tadi Mas Haikal mengatakan bahwa tidak bisa pulang sampai bulan depan? Terus mengapa kepada anak-anak, dia malah mengatakan akan pulang dua minggu lagi? Ada apa dengan suaminya itu? Mengapa harus menyembunyikan sesuatu dari dirinya?
Tidak biasanya suaminya seperti itu. Semenjak kapan suaminya tidak jujur? Apa kamu sedang mempermainkan aku sekarang, Mas? Vania berpikir sendirian saat teringat dengan percakapan di telepon tadi.
“Ayah sendiri yang mengirimkan pesan tadi, Bu. Ibu belum dikasih tau?” Agam menjawab dengan terkejut sesaat setelah meletakkan sendok yang dipegangnya. Anak sulungnya itu menatap sang Ibu dengan raut terkejut karena tidak biasanya sang Ayah menghubungi mereka lebih dulu. Biasanya pasti Ibu dulu yang dihubungi. Agam berpikir sendirian dengan kening yang berkerut heran.
“Mungkin nanti Ayah akan menghubungi Ibu,” jawab Vania dengan seulas senyuman. Dia tidak ingin anaknya menangkap rasa khawatir di hatinya.
“Tidak biasanya Ayah seperti ini. Ya sudah, kalau Ayah tidak memberi Ibu kabar, lebih baik Ibu saja yang menelepon Ayah biar semuanya jelas. Kami tidak mau dibohongi oleh Ayah.” Agam menjawab dengan cepat saat menangkap ada yang lain dari sikap sang Ayah.
Vania menganggukkan kepalanya mendengar saran dari putra sulungnya. Mereka pun melanjutkan makan siang yang sempat tertunda sampai selesai. Tidak ada lagi pembahasan di meja makan tersebut.
Tiba-tiba, ponsel Vania yang terletak di atas meja berdering. Tampak sebuah notifikasi pesan di layar ponselnya. Vania menoleh sekilas ke arah ponselnya yang menyala. Keningnya berkerut heran saat tiba-tiba saja Kiara teman lamanya menghubunginya.
“Siapa, Buk?” tanya Agam dengan cepat saat melihat raut wajah sang Ibu yang terkejut.
“Teman Ibu sewaktu kuliah dulu, sayang,” jawab Vania dengan tersenyum. Dia berusaha menenangkan debar jantungnya yang berdetak dengan sangat kencang.
“Oh, ya sudah, biar Abang saja yang membereskan meja makan,” ucap anak sulungnya seraya berdiri dari tempat duduknya. Agam segera mengangkat piring kotor ke tempat cuci piring. Sedangkan Dila langsung mencuci piring kotor tanpa diminta.
Vania tersenyum melihat anak-anaknya yang sudah beranjak remaja. Mereka selalu membantu pekerjaan rumah dengan ikhlas dan tanpa diminta. Dia bersyukur bisa mempunyai anak-anak yang baik dan juga patuh.
Vania berjalan masuk ke dalam kamarnya. Setelah mengunci pintu kamar, dia membaca pesan dari Kiara tersebut. Tubuhnya bergetar membaca isi pesan yang dikirimkan oleh Kiara. Vania lebih memilih untuk menghubungi Kiara langsung setelah membaca pesan tersebut.
“Assalamualaikum, Van,” sapa Kiara sesaat setelah sambungan telepon mereka terhubung.
“Wa’alaikum salam, Ra. Kamu tau dari mana berita itu?” tanya Vania dengan suara yang bergetar setelah membaca pesan yang dikirimkan oleh Kiara tadi.
Ada rasa tidak percaya saat membaca pesan Kiara yang mengatakan bahwa Mas Haikal mau menikah lagi dengan perempuan lain. Akan tetapi, Vania juga tidak mau mengambil keputusan sendiri karena semua bisa saja mengingat dia dan Mas Haikal menjalin rumah tangga secara berjauhan.
Suaminya itu bahkan tidak pernah pulang dalam lima tahun terakhir. Sekali dapat kabar, ternyata suaminya mau menikah dengan perempuan lain. Dia butuh penjelasan dari Kiara untuk mengambil tindakan selanjutnya.