Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Membiasakan Diri

Bab 7 Membiasakan Diri

Siang itu sekitar pukul sebelas, Flora baru kembali dari rumah salah satu pelanggannya. Ia mengantarkan pesanan bunga untuk sebuah acara yang akan digelar sore nanti. Bunga-bunga yang pelanggannya pesan itu baru dikirim pagi tadi dan sebisa mungkin Flora kirimkan ketika bunga masih dalam keadaan yang segar supaya pelanggannya tidak kecewa.

Flora tiba di tokonya. Ia memarkir sepeda di dekat pintu supaya lebih mudah untuk ia awasi. Gadis itu sempat melihat sebentar ke arah kedai Bibi Mira dan mendapati kedai wanita tua itu cukup ramai. Flora sempat bertemu pandang dengannya dan akhirnya saling menyapa. Kemudian Flora masuk dan duduk di kursi biasanya. Ia mengeluarkan ponsel dari tasnya dan mengaktifkan layar sambil meminum air mineral dalam botol yang ada di atas meja.

Tidak banyak pesan yang masuk. Hanya beberapa pesan singkat berisi pesanan atau konfirmasi pesanan bunga yang akan di kirim besok. Flora mencatat kembali permintaan bunga yang harus ia kerjakan esok hari kemudian menyimpan ponselnya di atas meja.

Baru beberapa menit tidak memperhatikan ponselnya, benda itu bordering. Layarnya menampilkan nama yang perlahan mulai tidak asing baginya. Troy. Lelaki itu menghubunginya lagi. Memang sudah bukan hal baru dan Flora sudah mulai terbiasa dengan kebiasaan lelaki itu.

Troy biasanya akan melakukan panggilan telepon pada malam hari sebelum tidur. Jika jam-jam seperti ini Troy sudah menelpon, Flora tidak tahu tujuannya apa tapi mungkin lebih baik ia menjawab telepon itu.

“Hai Flora,” sapa Troy begitu teleponnya dijawab oleh Flora. Lelaki itu terdengar gembira meski Flora tidak dapat melihat bagaimana ekspresi wajahnya.

“Hai, Troy. Tidak biasanya kamu menelpon pada jam seperti ini. Ada apa?” tanya Flora sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi kayu yang ia duduki.

Terdengar tawa kecil Troy dari ujung telepon. Andai bisa bertemu secara langsung, mungkin akan lebih terasa menyenangkan berbicara berdua seperti ini.

“Tidak ada hal pentin. Hanya ingin berbicara denganmu saja,” balas Troy. “Bagaimana toko bunga hari ini? Ramai? Banyak pelanggan? Banyak pesanan? Aku rindu sekali melayani pelanggan di tokomu.”

“Ya, seperti biasanya. Toko ini cukup ramai pembeli. Hari ini ada pesanan yang masuk tapi tidak banyak. Dan sejak pagi aku sudah mengantar pesanan pada pelanggan.”

“Benarkah? Senang mendengarnya. Aku turut bahagia jika bisnismu lancar,” balas Troy. “Jadi bagaimana? Apa rumah pelangganmu jauh? Kamu baru pulang pasti lapar, kan?”

“Em, tidak terlalu jauh,” sahut Flora. “Aku merasa sangat senang bisa memenuhi permintaan mereka dan mengantarnya sendiri. Mereka pun puas dengan hasil pekerjaanku dan itu menambah kebahagiaan untukku.”

“Syukurlah. Aku ikut merasa lega,” balas Troy. “Kamu belum menjawab pertanyaanku yang tadi. Kamu lapar, kan?”

Flora tersenyum lebar. Merasa senang karean diperhatikan seperti itu. Ia tidak pernah mendapatkan perhatian seperti yang Troy lakukan padanya. Meski hanya menanyakan mengenai hal kecil, apa yang Troy lakukan benar-benar berkesan untuk Flora.

“Em, jika boleh jujur tentu saja lapar. Tapi ini belum jam makan siang dan aku tidak ingin memakan makananku sekarang. Aku berjanji dengan Bibi Mira untuk makan siang bersama di kedai miliknya,” ucap Flora.

“Hmm, begitu,” sahut Troy. “Boleh aku bergabung dengan kalian?” tanyanya.

“Bergabung dengan kami? Makan siang bersama?” balas Flora memastikan.

“Iya. Makan siang bersama. Aku bosan makan sendirian di sini. Mungkin akan lebih menyenangkan jika menghabiskan waktu makan siangku dengan kalian semua,” sahut Troy.

“Benarkah? Jika memang begitu, tentu paman dan bibi akan merasa senang dengan kehadiranmu.”

“Tentu saja. Tunggu tiga puluh menit lagi. Aku pasti datang.”

***

Kedai sederhana milik sepasang suami istri berusia lanjut itu cukup ramai pada saat jam makan siang. Meski ada begitu banyak pelanggan, keduanya memilih untuk menyempatkan diri untuk makan siang di salah satu meja di sudut belakang.

Di sebuah meja sederhana dengan alas meja berupa taplak yang terbuat dari plastik berwarna silver. Di atas meja terdapat sendok dan garpu yang diletakkan dalam kotak kayu berwarna coklat tua. Ada kecap, dan cabe giling serta garam sebagai penambah rasa masakan ditata berjajar dalam toples-toples kaca berukuran lebih kecil.

Suasana kedai yang cukup berisik tidak menghalangi kebahagiaan dan selera makan mereka berempat. Bibi Mira dan suami juga Flora dan Troy duduk bersama dan saling berbagi cerita. Sambil menunggu makan siang mereka diantar. Dari mereka berempat, Troy yang tentunya lebih banyak bicara. Ia menjadi jembatan bagi komunikasi diantara mereka berempat. Troy membangun suasana yang awalnya canggung menjadi lebih akrab dan mencair bagi satu dengan yang lainnya. Troy yang memang begitu banyak bicara seolah menjadi tokoh penting yang mampu mempererat hubungan mereka.

“Jadi Nak Troy sibuk kerja?” tanya Paman yang baru selesai tertawa usai mendengar candaan Troy beberapa detik yang lalu.

“Iya, Paman. Biasanya memang pekerjaan bisa sangat padat dan menumpuk. Tapi ada pula saat lainnya dimana saya bisa sedikit lebih santai karena memiliki waktu luang. Ya, walaupun bisa dikatakan bahwa situasi yang kedua itu sangat jarang terjadi.”

“Wah, masih muda masih punya semangat dan masih dapat bekerja keras. Jangan patah semangat, tapi juga jangan terlalu lelah. Masa muda hanya sekali, kamu tidak akan bisa mengulangi masa ini. Jadi, usahakan untuk tidak menyesali masa mudamu, Nak.”

Troy tersenyum lebar dan menganggukkan kepalanya. “Saya juga berpikir demikian, Paman. Tapi terkadang tuntutan keadaan memaksa kita melupakan masa muda dan terus bekerja. Hem, seperti Flora contohnya.”

Paman menoleh pada Flora dan diam sejenak. Ia tersenyum dan mengangguk sebagai tanda setuju. “Iya, dia juga sangat bekerja keras. Pagi-pagi sudah membuka toko. Sudah merangkai bunga, lalu mengayuh sepeda dan mengantarkan pesanan. Paman salut dengan semangatnya.”

“Tentu saja dia begitu. Flora ini anak yang rajin,” tambah Bibi dengan bangga memuji Flora. “Anak ini andai saja ada yang membantunya di toko mungkin usahanya akna berkembang lebih dari yang sekarang.”

“Saya setuju,” sahut Troy. “Saya sudah berniat membantunya. Tapi dia menolak keras. Dia memaksa saya untuk tidak ikut campur dalam usahanya karena saya tidak mengerti tentang bunga.”

“Bukan begitu, Troy. Jangan salah paham,” sambar Flora berusaha mengoreksi. “Aku larang kamu karena memang kamu punya pekerjaan lain. Dan lagi, toko say itu kecil. saya tidak memerlukan karyawan. Dan kalaupun ada karyawan, saya tidak akan mampu memberinya gaji yang layak.”

“Aku membantumu mengembangkannya, aku berlaku sebagai penanam modal dan usaha. Aku juga bisa jadi karyawan secara cuma-cuma. Tapi kamu tetap menolak,” balas Troy.

“Mungkin memang kita tidak berjodoh untuk menjadi rekan kerja,“ sahut Flora.

“Bisa jadi,” balas Troy dengan santai.

“Hem, bibi dengar kamu beberapa hari lalu menolak pesanan bunga. Bibi dengar juga pembeli itu sampai marah karena tidak mendapatkan apa yang dia inginkan. Benarkah demikian?” tanya Bibi Mira yang penasaran dengan kejadian tempo hari.

Flora tersenyum dengan tenang dan berusaha membuat bibi dapat mengerti posisinya.

“Saya bukannya menolak rejeki yang datang. Tapi orang itu meminta saya membuatkannya karangan bunga dukacita. Sementara saya tidak dapat membuatnya. Tidak ada bahan dan keperluan lainnnya. Pun kalau ada, untuk mengantar ke pelanggan pasti tidak cukup dengan sepeda atau motor. Butuh mobil dengan bak terbuka dan itu memerlukan waktu dan tenaga yang tidak sedikit.”

“Tapi itu kesempatan yang bagus, Flora. Kamu bisa menambah kemampuan dari menerima pesanan seperti itu. Kesempatan tidak datang dua kali. Mungkin kali ini kamu ditunjukan bahwa dengan usaha, kesempatan pasti ada. Atau mungkin Tuhan sedang menuntunmu ke arah yang lebih baik,” ujar Troy dengan nada serius dan bika.

[]

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel