Ringkasan
Sebuah kecelakaan membuat Flora bertemu dengan Troy si lelaki banyak bicara. Troy dengan segala tingkah lakunya memaksa Flora menerima lelaki itu menjadi bagian dari hidupnya yang abu-abu. Troy memaksa Flora menjadikannya sebagai teman. Troy memaksa Flora menemaninya berbicara di telepon setiap malam. Dan paksaan itulah yang membuat Flora perlahan menjadi nyaman. Lalu saat Flora sudah terbiasa, bagaimana mereka selanjutnya? Apakah Troy akan tetap bertahan dengannya atau hanya singgah seperti yang lainnya?
Bab 1 Prolog
Bab 1 Prolog
Matahari menyapa dengan sinarnya yang hangat. Kabut pagi perlahan menghilang meninggalkan hawa dingin yang sejuk di bumi. Kicau burung kecil di pagi hari tak pernah mengecewakan telinga. Merdu, indah, dan membawa diri pada perasaan yang baru setiap hari.
Pagi adalah saat yang paling dinanti. Saat bagi semua orang memulai hari. Deretan toko yang berjajar rapi di kawasan itu mulai buka satu per satu. Dari ujung satu hingga ke ujung lainnya. Entah pemilik atau karyawannya sudah mulai mempersiapkan diri untuk memulai usahanya.
Diantara deretan toko yang berjajar itu, sebuah kios kecil menarik perhatian. Kios berdinding kaca dengan lebar sekitar empat meter itu sudah memulai aktivitasnya. Si pemilik sudah mulai menata dagangannya. Bunga-bunga segar berbagai jenis dengan aneka warna yang baru datang subuh tadi, kini sudah tertata indah di rak. Sebuah meja kecil dengan peralatan seperti gunting dan pisau serta beberapa alat lainnya digunakan sebagai tempat untuk merangkai bunga. Dan sebuah rak setinggi sekitar seratus delapan puluh sentimeter yang ada di bagian belakang dan menempel pada dinding, digunakan sebagai tempat untuk memajang rangkaian bunga yang sudah jadi.
Gadis dengan wajah lembut bermata coklat dengan rambut berwarna hitam itu memasang celemek di tubuhnya. Ia mengikat celemek dengan rapi kemudian berganti mengikat rambut sebahunya. Dengan cekatan ia segera mengambil sebuah buku nota yang ada di atas meja kecil di sebelah peralatan merangkai bunga. Ia membuka nota itu lembar demi lembar. Memeriksa setiap nama yang tertulis di sana beserta pesanan yang sudah ia kerjakan.
"Bunga untuk toko Anugrah sudah selesai. Bunga mawar pesanan nyonya Salma sudah selesai. Rangkaian bunga lili diambil jam sepuluh atas nama Pras. Dan bunga krisan pesanan nyonya Aling dikirim jam delapan."
Gadis itu membaca pesanan dengan teliti satu per satu. Ia tetap membuka buku notanya dan mulai menyiapkan pesanan bunga yang harus segera ia kirim. Ia letakkan bunga-bunga itu dengan aman dan rapi di keranjang rotan supaya lebih mudah untuk nantinya ia bawa.
Asik dengan kegiatannya, gadis itu melupakan satu hal. Sepeda. Ia belum memastikan apakah sepedanya masih bisa digunakan atau tidak. Kemarin setelah mengalami kerusakan rem, gadis itu menjadi lebih berhati-hati. Ia harus memastikan kendaraan satu-satunya yang ia miliki itu dalam keadaan yang cukup baik untuk digunakan.
Gadis itu keluar dari toko. Berjalan kembali ke rumah melalui pintu yang ada di samping toko. Ia masuk ke rumah lantas mengeluarkan sepedanya. Ia posisikan sepeda tepat di depan toko dan memeriksa kondisi ban serta remnya.
"Lumayan," ucapnya. "Rem masih berfungsi. Ban sudah terisi angin dengan cukup. Semoga aku bisa mengantarkan pesanan dengan baik hari ini."
Selesai memeriksa kondisi sepedanya, gadis itu hendak kembali ke dalam toko. Ia harus menyelesaikan satu pesanan lagi memang sengaja ia siapkan lebih lambat dari yang lainnya untuk menjaga kesegaran bunga. Namun, belum sempat membuka pintu sebuah suara menahan gerakannya.
"Flora," panggil suara wanita tua yang sudah tak asing di telinganya.
Gadis yang rupanya bernama Flora itu pun menoleh ke belakang. Tersenyum pada wanita yang usianya sekitar tujuh puluh tahun yang kini sedang berjalan ke arahnya. Namanya bibi Mira. Ia memiliki sebuah kedai kecil di sebelah kios bunga milik Flora. Bibi Mira selalu menyapanya setiap pagi.
Bahkan tak jarang memberikan makanan untuknya. Bibi Mira adalah satu-satunya orang yang berkomunikasi dengannya sejauh ini. Untuk seseorang yang sulit dekat dengan orang lain, bibi Mira rupanya mampu membuka hati Flora.
“Iya, bibi. Apakah anda perlu bantuan saya?” tanya Flora dengan sopan.
“Tidak, anak baik. Bibi hanya ingin memberikan makanan ini. Makanlah saat jam makan siang nanti. Bersemangatlah untuk hari ini dan semoga toko bunga milikmu ramai pembeli,” ucapnya disertai doa yang tulus. Bibi Mira memberinya kotak makan siang yang makanannya ia masak sendiri. Dan Flora sangat menghargai itu.
“Terima kasih, bibi,” ucap Flora. “Semoga kedai anda juga ramai pembeli hari ini.”
Bibi Mira mengangguk disertai senyuman tulusnya. Wanita itu kemudian meninggalkan Flora dan kembali ke kedai miliknya. Flora pun kemudian masuk ke dalam toko. Menyimpan kotak makan siang di atas meja sementara ia melanjutkan pekerjaannya untuk merangkai bunga.
Perlu waktu sekitar dua puluh menit hingga sebuah rangkaian bunga selesai dikerjakan. Puas dengan hasil kerjanya, Flora simpan rangkaian bunga itu di rak. Ia lantas melepas celemek dan menyimpannya di atas meja. Ia kemudian mengambil keranjang rotan penuh bunga itu lantas membawanya keluar dari toko.
Flora menata keranjang itu pada sepedanya. Setelah dirasa aman, ia kembali ke toko lantas mengunci pintunya. Selama beberapa waktu kedepan ia terpaksa meninggalkan toko untuk mengantarkan pesanan dan ia tak mungkin meninggalkan toko bunga itu begitu saja.
Flora mulai mengantarkan pesanan hari itu satu per satu. Dengan tekun mengayuh sepedanya dari satu tempat ke tampat lain. Memastikan bahwa pelanggannya menerima pesanan dengan baik dan puas terhadap pelayanan yang ia berikan.
Gadis itu menyelesaikan pengiriman dengan cukup baik sekalipun membutuhkan waktu yang lumayan lama. Hingga saat dimana keranjangnya sudah mulai kosong dan hanya tinggal satu ikat bunga mawar yang perlu ia kirim ke tempat seseorang pemesan bernama nyonya Salma.
Flora mengayuh sepedanya dengan tenang. Hari masih cukup pagi dan ia tidak terlalu terburu-buru. Jarak tempat nyonya Salma dengan rumah pelanggan sebelumnya tidak terlalu jauh. Masih cukup waktunya baginya untuk menyelesaikan pesanan sambil menikmati udara pagi begitu pikir Flora. Namun, acara mengikmati udara pagi hari itu rupanya harus sirna. Saat Flora sedang melintasi perempatan, sebuah motor sport berwarna biru melaju sangat cepat ke arahnya. Flora hilang konsentrasi bahkan tak bisa menyelamatkan diri. Remnya tidak berfungsi bahkan sampai putus di saat yang paling genting. Dan saat motor itu tiba-tiba saja menabraknya, Flora pasrah. Ia terpelanting beberapa meter hingga jatuh diatas rerumputan setelah kakinya sempat terbentur dengan pembatas tanah. Flora jatuh terguling sebanyak dua kali sebelum akhirnya terlentang di atas permukaan tanah berhias rumput yang keadaanya cukup basah karena sisa embun pagi.
Jalanan sepi, dan Flora diam dengan posisi jatuhnya tadi. Ia tidak tahu apakah di penabrak akan menolongnya atau malah meninggalkannya. Flora menoleh ke kanan dan ke kiri. Mencari sepedanya dan melihat bagaimana kondisi sepeda itu saat ini. Dan benar saja, kekhawatiran Flora terjawab. Benda itu kini ringsek. Tak berbentuk setelah ditimpa motor besar itu yang pengemudinya juga terpelanting tak jauh dari motornya.
Flora berusaha bangun. Ia duduk, dan ia dapati pengemudi yang mengenakan helm itu juga sudah bangun lebih dahulu. Ia berjalan mendekati Flora dengan menyeret kaki kanannya. Seseorang yang Flora yakini adalah seorang lelaki itu melepas helm lantas membantu Flora untuk bangun.
“Kamu tidak apa-apa? Mana yang sakit? Kita perlu ke dokter?” tanyanya dengan terlihat khawatir.
“Tidak. Saya tidak apa-apa. Saya—“
“Kita ke dokter segera. Kaki kami terluka karena saya,” potong lelaki itu dengan raut cemas sambil melihat kaki Flora yang berdarah.
“Tidak perlu saya—“
“Saya bantu kamu. Saya yang salah dan saya akan bertanggung jawab. Untuk kerusakan dan kerugiannya akan saya tanggung. Mari,” ajak lelaki itu kemudian membimbing Flora untuk berjalan meski kaki lelaki itu pun tidak dalam keadaan yang baik.
“Maaf, saya kurang konsentrasi dan kurang tidak dapat mengendalikan kecepatan,” sesal lelaki itu yang kemudian mencoba mengambil motornya dan memeriksa keadaan yang kendaraan itu.
“Motor saya masih bisa digunakan. Ayo saya antar ke klinik,” kata lelaki itu.
“Tidak, tidak perlu. Saya—“
“Jangan menolak. Saya tidak mau dianggap pria yang tidak memiliki nurani. Ayo, kita harus mengobati lukamu dulu,” ucap lelaki itu memaksa.
Flora pun menyerah. Ia berjalan mendekat ke motor lelaki itu dimana si lelaki sudah duduk siap dengan menyalakan mesin motornya.
Flora ragu sesaat, namun lelaki itu tersenyum kecil berusaha meyakinkannya.
“Saya bukan orang jahat. Nama saya Troy dan saya akan menanggung semua kerugian dari kecelakaan ini.”
[]