Bab 4 Hadiah Spesial
Bab 4 Hadiah Spesial
Pagi itu tepat dua minggu setelah kecelakaan yang Flora alami. Pagi itu juga, tepat dua minggu sudah Troy membantunya di toko bunga.
Sejauh Flora mengenal Troy, lelaki itu cukup unik. Dia rajin membantu, tapi seiring tangannya yang bergerak mulutnya pun tak pernah berhenti bicara. Selalu ada saja yang ia ceritakan. Tentang masa sekolahnya, tentang hobinya, tentang tetangganya, bahkan tentang kucing di perumahan tempatnya tinggal. Troy selalu mengajaknya bicara sekalipun terkadang Flora lebih banyak diam dan fokus dengan pekerjaanya.
Kemarin, Troy menjaga toko bunga sampai sore. Ia membantu Flora melayani pelanggan dan mengantar pesanan. Flora sebenarnya sudah melarang lelaki itu. Gadis itu bahkan memaksa Troy pulang sebab Flora tidak ingin merepotkan Troy terlalu lama. Namun, Troy terlalu keras kepala. Ia bertahan di toko dengan alasan Flora masih belum sepenuhnya sehat. Padahal itu hanya alasan saja, Flora sudah sembuh. Ia sudah baik-baik saja dan Flora sudah dapat melakukan aktifitas seperti semula.
Hari ini pun begitu, Troy kembali datang. Ia dengan mengendarai motor matic miliknya sudah siap mengantarkan pesanan bunga ke pelanggan. Dengan jaket kulit warna hitam dan helm dengan warna serupa, Troy masuk ke toko bunga dan menyapa Flora.
“Selamat pagi,” sapa Troy dengan senyum lebar menghias wajahnya.
“Selamat pagi, Troy. Kamu sudah sarapan?” tanya Flora.
“Sudah. Kamu?” balas Troy sambil duduk di kursi kayu yang biasa ia gunakan.
“Aku juga sudah. Hari ini tidak ada banyak pesanan yang diantar. Mayoritas pelanggan akan kemari untuk mengambil pesanan mereka. Mungkin nanti kamu bisa pulang lebih awal dan besok tidak perlu kembali kemari,” ujar Flora dengan tenang sambil menata bunga mawar di tempatnya.
“Aku tidak boleh datang lagi? Kenapa? Bukankah kita sudah sepakat untuk saling membantu?”
Flora menghentikan gerakan tangannya menata bunga mawar. Ia memutar tubuhnya dan menatap Troy dengan lembut. Flora tersenyum kecil kemudian berjalan mendekat pada lelaki itu.
“Aku sudah cukup kamu bantu sejauh ini. Selanjutnya, aku akan melakukan pekerjaanku sendiri.”
“Tapi kamu belum memiliki kendaraan baru. Bagaimana bisa kamu mengantar pesanan nantinya?”
“Aku akan memperbaiki sepedaku atau paling tidak aku bisa membeli sepeda bekas,” balas Flora. “Kamu kembalilah pada rutinitas harianmu. Bekerja, bermain dengan temanmu, atau yang lainnya. Jangan hanya di sini. Ini bukan tempat bermainmu.”
“Aku tidak pernah merasa ini tempat bermainku,” sambar Troy. “Aku suka di sini. Berbicara dengan kamu, merawat bunga bersamamu, membantumu mengantar pesanan. Aku juga suka di sini karena aku bisa lebih banyak waktu untuk istirahat. Aku juga bisa berbincang dengan Bibi Mira dan membantunya di kedai. Banyak hal yang aku lakukan di sini. Dan itu semua menyenangkan.”
“Mungkin menyenangkan bagimu. Tapi belum tentu menyenangkan bagiku,” balas Flora lembut. “Aku jujur saja belum pernah memiliki teman sebelumnya. Aku tidak tahu bagaimana harus memperlakukan seorang teman. Dan kita sudah sepakat untuk berteman tapi aku tidak tahu bagaimana harus memperlakukanmu.”
Troy terdiam. Rupanya gadis yang berdiri di hadapannya itu masih sangat polos. Untuk berteman saja ia kebingungan. Flora tidak tahu bagaimana harus memperlakukan dirinya. Padahal bagi Troy, untuk berteman itu mudah. Cukup jadi diri kita apa adanya dan mengikuti saja kemana arus akan membawa selam tujuannya ke arah yang baik.
Troy tersenyum setelah mendengar penuturan Flora kemudian mencernanya. Senyum lelaki itu terlihat tulus. Dan baru sekali ini Flora lihat senyum seindah itu selain senyum yang selalu bibi Mira tunjukan padanya.
“Flora, kenapa kamu begitu kaku? Santai saja. Teman itu bukan hubungan profesional yang memerlukan komitmen atau kontrak kerja. Teman itu apa adanya, teman itu tumbuh dengan sendirinya. Teman juga tidak perlu kamu perlakukan istimewa. Cukup berikan dia kepercayaan dan kenyamanan. Itu sudah cukup.”
Gadis itu diam. Mencoba memahami apa yang Troy coba jelaskan padanya. Flora masih bingung tentu saja. Ia memiliki ke khawatiran yang tak dapat ia sampaikan kepada Troy.
“Lalu aku harus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanya Flora. Gadis itu menatap Troy dengan penuh harap. Entah untuk harapan seperti apa, namun Flora berpikir mungkin Troy dapat membantunya memahami arti pertemanan itu sendiri.
“Tidak perlu melakukan apa-apa. Cukup jadi Flora yang biasanya. Dengan teman, kamu tidak perlu jadi orang lain. Karena teman akan menerima keadaanmu apa adanya,” ujar lelaki itu. “Sudahlah. Intinya jangan larang aku mengunjungimu. Jangan larang aku datang sekalipun kamu sudah sembuh dan dapat melanjutkan usahamu.”
Troy menatap Flora dalam matanya. Begitu tenang, tulus, dan ada adanya. Flora pun merasa nyaman dengan hal itu. Seolah Troy memang sudah mengetahui kekhawatiran Flora dan mampu menenangkannya.
“Jangan khawatirkan tentangku. Aku tahu apa yang aku lakukan dan apapun keputusan yang aku buat maka itu adalah pilihanku. Termasuk berteman denganmu dan sering mengunjungimu adalah pilihanku sebagai temanmu. Itu hak sekaligus kewajibanku, yaitu untuk memastikan bahwa kamu tidak akan kesepian lagi,” ujar Troy dengan lembut. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya benar-benar seperti sihir yang menjerat. Membuat Flora entah kenapa tidak bisa menolak atau membantah penyataan yang keluar dari mulut lelaki itu.
“Baiklah. Aku tidak akan khawatir tentangmu. Silahkan saja kamu datang atau pergi, toko ini selalu terbuka untuk siapapun,” balas Flora pada akhirnya.
Troy tersenyum puas. Ia kemudian menepuk pelan puncak kepala Flora sambil menunjukan deretan giginya yang putih dan rapi. Jika dilihat lebih dekat begini, Troy sebenarnya tampan. Bahkan sangat tampan. Tapi percuma saja ia tampan. Ketampanannya masih belum bisa mencairkan kebekuan hati Flora.
“Senang mendengarnya,” kata Troy. “Aku ras pembahasan kita sudah cukup. Aku kemari untuk mengantar pesanan. Mana karangan bunga beserta alamat pemesannya?” tanya Troy usai menurunkan tangannya dari kepala Flora.
“Ada. Sudah aku siapkan. Tunggu sebentar.”
Flora berjalan menuju meja. Ia mengambil selembar kertas kemudian membaca isinya sebentar untuk memastikan bahwa alamat sudah sesuai dan tertulis dengan jelas.
“Ini catatannya,” Flora serahkan kertas itu pada Troy. Flora kemudian menata bunga di keranjang rotan yang ada di atas meja. Memastikan bahwa bunga pesanan akan diantar dengan aman dan selamat.
“Hanya ini bunganya. Nanti setelah selesai kamu langsung kembali ke sini,” pesan Flora diakhir kalimatnya.
Troy mengerti. Ia mengangguk sebagai jawaban. Troy yang masih mengenakan helm pun membawa kerangjang rotan keluar toko dan dia tata sedemikian rupa di motornya untuk menjaga kualitas pesanan pelanggan.
“Bolehkah aku tidak segera berangkat? Ada seseorang yang akan datang membawakan pesananku ke sini,” ucap Troy begitu selesai menata keranjang di motornya.
“Pesanan? Apakah kamu memesan sesuatu?” tanya Flora.
Troy mengangguk, “Iya. Aku memesan ini sekitar seminggu yang lalu dan baru datang hari ini. Tolong izinkan aku menunggu pesananku.”
“Baiklah. Tunggu saja. Mungkin tidak akan lama,” balas Flora. “Tapi kenapa kamu memintanya untuk mengantar pesananmu kemari? Bukankah kamu memiliki rumah sendiri?”
Troy menoleh pada Flora kemudian tersenyum misterius. “Nanti kamu akan tahu sendiri.”
Flora mengangkat bahunya dan memilih diam. Ia menunggu saja sampai apa yang dimaksud oleh Troy tadi tiba.
Dan benar saja. beberapa menit kemudian sebuah mobil dengan bak terbuka datang. Berhenti dan parkir di depan toko bunga milik Flora. Troy melepas helmnya kemudian membantu supir menurunkan barang pesannya. Dan tentu saja, Flora langsung terkejut melihat apa yang dipesan oleh Troy.
“Gimana? Suka, kan?” tanya Troy yang dengan bangga menunjukan sebuah sepeda dengan warna kuning muda. Sepeda itu bahkan sudah dimodifikasi dengan tempat keranjang di depan dan di belakang.
“Troy ini apa?” tanya Flora yang masih takjub dengan apa yang ia lihat.
“Sepeda,” jawab Troy singkat. “Ini aku belikan secara khusus untuk mengganti sepedamu yang rusak. Mulai besok aku sudah harus kembali bekerja. Aku mungkin akan jarang mengunjungimu. Dan karena kamu pasti memerlukan kendaraan untuk mengantar pesanan, aku memutuskan untuk mengganti sepedamu dengan yang baru.”
“Tapi Troy, ini terlalu bagus. Dan sepertinya cukup mahal,” balas Flora. Ia masih mengagumi sepeda yang Troy parkir di depan Flora. Membiarkan gadis itu mengamati sepeda yang ia belikan.
“Mahal apa? Ini tidak mahal. Jangan berpikir macam-macam atau kamu merasa segan dengan hadiah ini. Anggap saja ini adalah hadiah dari teman.”
“Hadiah dari teman?” tanya Flora.
“Iya. Anggap saja begitu. Ini adalah hadiah pertama dari temanmu ini. Sekaligus, ini adalah ucapan terima kasih karena kamu sudah mau menjadi temanku.”
[]