Bab 3 Teman
Bab 3 Teman
Teman, seseorang dengan sebutan seperti itu tidak pernah Flora bayangkan akan ia miliki. Dari kecil hingga lulus kuliah, ia tidak pernah merasa memiliki seorang teman. Mereka yang mendekat padanya hanya sekedar datang. Mereka hanya singgah tanpa menetap. Sekedar lewat tanpa ingin tetap di tempat. Mereka yang datang ke dalam hidup Flora silih berganti selalu pergi. Hingga ia terbiasa sendiri. Tetap diam, tenang, tanpa pegangan yang berarti.
Flora sadar bahwa mereka yang datang akan selalu pergi. Bahwa mereka yang menetap pun pada akhirnya akan bosan kemudian memilih beranjak. Namun, Flora tak memungkiri. Ia selalu berharap bahwa setidaknya ada satu. Satu saja yang menetap di tempatnya bersama Flora. Namun, semua itu hanya harapan belaka. Jangankan orang lain, orang tuanya pun pergi. Meski memang kepergiannya adalah kehendak Tuhan, tetap saja mereka tiada. Mereka meninggalkan Flora. Dalam diam tidur panjang mereka dalam tanah.
Terbiasa sendiri membuat Flora tidak pernah mengharapkan ada seseorang yang hadir lagi dalam hidupnya. Biarkan saja mereka hanya seperti para pelanggan. Silih berganti datang kemudian pergi setelah meninggalkan uang dan mengambil barang. Ada yang harus Flora pikirkan selain masalah mengenai seseorang. Ada perut yang perlu diisi setiap hari, ada tubuh yang perlu dijaga untuk dapat tetap bekerja, dan ada hutang yang perlu ia bayar setiap minggunya. Tidak, Flora tidak ada waktu untuk memikirkan tentang teman. Teman sering kali merepotkan. Mereka hanya datang saat butuh bantuan. Setelah itu lenyap. Hilang seperti tak pernah ada di muka bumi ini.
Kedatangan Troy yang entah kebetulan atau memang takdir, sungguh menggangu Flora. Hidupnya yang tidak baik-baik saja semakin tidak nyaman dengan kehadiran lelaki itu. Dia baik, dia bertanggung jawab, dan Flora tahu dia tidak salah apapun dalam hal ini. Namun, Flora memang belum bisa menerimanya.
Troy sebenarnya ramah, dia juga orang yang komunikatif, selalu ada bahan pembicaraan setiap kali Troy berusaha mengajaknya untuk saling bertukar cerita. Namun, Flora masih enggan membuka diri. Ia masih belum siap jika nanti saat ia sudah terbiasa dengan kehadiran Troy, lelaki itu meninggalkannya. Flora tahu bagaimana rasanya kehilangan. Ia tahu bagaimana rasanya kesepian. Dan cukup sampai disitu saja penderitaannya. Tidak perlu ada tambahan lagi.
Siang itu mendekati jam makan siang, tidak seperti biasanya Tro masih berada di toko bunga menemai Flora untuk menjaga toko. Troy membantu Flora melayani pembeli dengan ramah sementara Flora mengerjakan pesanan karangan bunga dari pelanggannya. Troy benar-benar bertahan di toko berukuran kecil itu berdua saja dengan Flora. Tanpa mengeluh atau bahkan menunjukan raut lelah. Troy dengan segala semangat yang ia miliki benar-benar membuat Flora tak habis pikir. Apakah lelaki ini tidak memiliki masalah dalam hidupnya? Apakah dia tidak pernah sedih? Atau apakah hidupnya selama ini nyaman-nyaman saja sehingga ia dapat menunjukan wajah ceria setiap saat? Aneh. Troy memang aneh.
“Troy,” panggil Flora lembut. Gadis yang sejak tadi berkutat dengan buket bunga anyelir itu lantas mengangkat wajahnya dan menatap Troy yang sedari tadi mengamatinya bekerja.
“Ya? Ada apa? Kamu perlu sesuatu?” balas lelaki itu.
Flora menggeleng, “Tidak ada. Aku hanya ingin mengingatkan. Ini sudah hampir makan siang. Aku rasa kamu harus pergi. Biasanya kamu berada di sini sampai pukul sepuluh saja, kan?”
“Apakah aku diusir?” tanya Troy sekedar memastikan.
“Tidak. Aku tidak mengusir kamu. Hanya saja ini sudah lebih dari jam kamu bisanya disini. Aku pikir kamu mungkin memiliki pekerjaan lain yang harus kamu selesaikan,” ujar Flora.
“Sebenarnya memang ada pekerjaan. Tapi sudah di kerjakan oleh orang lain. Aku libur hari ini. Mengambil cuti karena aku cukup lelah bekerja. Jadi aku ingin menghabiskan waktu lebih lama di toko ini,” balas Troy dengan santai. Ia menopang dagunya dengan tangan dan masih mengamati Flora. Wajah tenang gadis itu rupanya mampu membuat Troy terdiam seketika.
“Kamu mengambil cuti untuk beristirahat dan malah menghabiskan waktumu di tempat ini. Apakah aku tidak salah dengar?”
Troy menggeleng kecil, “Tidak. Aku memang memilih menghabiskan waktu di sini. Tokomu ini sangat nyaman. Jangan salahkan aku jika aku suka berada di sini. Salahkan saja tokomu, kenapa mampu membuatku bertahan di sini.”
“Menyalahkan toko? Bagaimana bisa aku menyalahkan benda mati. Toko ini pun bernafas saja tidak. Bagaimana mungkin dia dapat mengerti apa yang aku katakan?”
Troy mengangkat bahunya, “Tidak tahu. Kalau begitu salahkan saja dirimu sendiri. Kenapa kamu membuat toko ini menjadi sangat nyaman dan membuatku betah?”
“Tadi kamu menyalahkan tokonya. Sekarang menyalahkan aku. Aneh!” kata Flora.
Bukannya marah dengan ucapan gadis itu, Troy malah tertawa kecil. Gadis yang sedang duduk di hadapannya ini memang polos dan apa adanya. Kehidupannya mungkin terlalu serius sehingga ia tak dapat diajak bercanda.
“Maaf, hanya bercanda,” ucap Troy menghentikan tawanya. “Sebenarnya aku bosan. Aku tidak memiliki kegiatan lain selain bekerja. Temanku tidak banyak dan mereka sangat sibuk. Aku senang berada di tokomu karena tempat ini terasa nyaman. Aku bisa mencium banyak bunga dengan wangi berbeda. Aku juga dapat bertemu pelanggan-pelanggan yang menyukai bunga-bunga ini. Rasanya seperti mendapatkan pengalaman yang baru.”
“Ini hanya sebuah toko kecil. Tidak banyak jenis bunga yang aku jual. Jika kamu ingin mendapatkan pengalaman baru atau mempelajari tentang bunga, datanglah ke toko yang lebih besar. Di sana kamu akan dapat belajar tentang banyak hal daripada di sini,” ujar Flora dengan tenang kemudian melanjutkan kegiatannya menyelesaikan buket pesanan.
“Kenapa aku harus pergi ke tampat lain? Memangnya kamu tidak dapat mengajariku?” tanya Troy. “Aku mengerti sedikit cara merawat bunga apalagi bunga yang sudah dipetik seperti yang kamu jual. Mungkin aku bisa membantu di sini sebagai pekerja paruh waktu. Dan sebagai gantinya ajari aku merangkai bunga seperti yang kamu lakukan.”
Flora perlahan menghentikan gerakannya menyusun bunga begitu mendengar ucapan Troy. Gaya bicaranya yang santai benar-benar tidak menunjukan kesungguhan. Mungkin ia hanya asal bicara. Troy terlihat main-main tidak serius dengan ucapapannya.
“Aku tidak memiliki cukup uang untuk menggaji pegawai. Dan lagi, aku tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengajarimu. Kemampuannku merangkai bunga juga tidak terlalu baik. Aku tidak belajar secara khusus sehingga aku tidak memiliki keahlian untuk mengajari orang lain,” ujar Flora lantas mengikat buket bunga di atas meja dan menghiasnya sedikit untuk menghindari kesan monoton.
“Baiklah. Aku tidak akan memaksa. Melihatmu begitu tegas, aku tidak bisa meminta yang aneh-aneh lagi.”
“Baguslah jika kamu mengerti,” sahut Flora.
“Tapi, ada satu hal yang harus kamu turuti.”
“Apa?” tanya Flora dengan tenang. Ia tidak perlu bereaksi berlebihan. Sejauh ini permintaan Troy hanyalah perminaan yang tidak serius. Lelaki itu hanya suka mengganggunya. Sudah beberapa kali Flora menolak permintaan lelaki itu. Dan mungkin jika permintaan yang akan ini ucapkan dapat Flora berikan, tentu akan lebih baik. Secara tidak langsung Flora mengurangi rasa segannya pada Troy karena sudah terlalu banyak memberikan bantuan dari yang seharusnya.
Troy tidak segera menjawab pertanyaan Flora. Ia masih diam. Menunggu hingga Flora mengangkat wajahnya dan menatap Troy. Penting bagi lelaki itu untuk menunggu Flora melakukan apa yang ia harapkan. Setidaknya untuk saat ini, harapan itu yang mungkin dapat mencairkan hubungan keduanya yang masih begitu kaku.
Flora yang sedari tadi menunggu jawaban Troy jadi gemas sendiri. Kenapa Troy tidak segera menjawab? Apakah pertanyaan itu sulit untuk dijawab?
Gadis itu menyelesaikan buket bunganya. Menyimpan hasil buatannya itu di rak dan lalu kembali duduk untuk mendengarkan permintaan ;elaki itu.
“Kenapa diam? Tidak mau menjawab? Atau bingung mau menjawab apa? Begitu?” tanya Flora.
Bukannya menjawab Troy malah tersenyum kemudian menggeleng. “Aku tahu apa yang aku minta. Tapi janji, kali ini kamu harus mengabulkannya.”
“Tergantung. Ini tentang apa. Jika aku mampu maka aku tidak akan keberatan untuk mengabulkannya. Tapi jika tidak, kamu tahu sendiri aku akan menolaknya.”
“Permintaanku tidak banyak. Hanya satu. Jadilah temanku,” ucapnya.
“Kamu mengajukan permintaan itu beberapa hari yang lalu. Dan aku—“
“Kamu tidak memberikan jawaban. Oleh karena itu aku mengulanginya lagi. Jadilah temanku, Flo.”
Flora terdiam sejenak. Ia tersenyum kecil kemudian menggeleng. “Tidak. Aku tidak memiliki waktu untu berteman dengan orang lain.”
“Kenapa?”
“Karena aku tidak ingin,” balas Flora. “Cukup dengan membantuku selama ini. Tidak perlu berteman denganku. Tidak ada untungnya. Aku miskin dan aku tidak dapat dimanfaatkan.”
“Teman tidak untuk saling memanfaatkan. Tapi teman selalu ada saat susah dan senang. Aku tahu, mungkin bagimu aku aneh. Tapi sungguh, aku ingin kita berteman,” ujar Troy.
Lelaki itu tersenyum menatap Flora. Ada ketulusan, ada kepedulian, dan ada sambutan hangat pada mata yang menatap Flora saat ini. Flora sungguh ingin mencobanya. Ia ingin berteman dengan Troy. Setidaknya jika Troy mengecewakannya, ini mungkin bisa jadi benar-benar yang terakhir.
“Baiklah,” balas Flora. “Mulai hari ini kita berteman,” lanjutnya dengan senyum kecil.
Meski masih tidak yakin, Flora ingin melakukannya. Troy terlihat baik. Dan semoga ia tak akan mengecewakan harapan Flora.
[]