Bab 9
Joy mendengar cerita itu dengan mencengkram kain bajunya yang compang-camping dengan erat tanpa disadarinya.
Bahkan terkadang dia lupa bernapas ditengah-tengahnya.
Aneh sekali... dia tidak pernah mendengar cerita itu sebelumnya ataupun mengenal pria yang duduk diseberangnya. Tapi kenapa cerita ini terasa tidak asing dihatinya? Kenapa dia merasa hatinya dicengkeram oleh sesuatu yang sangat tidak nyaman seolah perasaan bersalah dan penyesalan yang besar menggerogoti jiwanya.
Hanya saja, dia tidak mengerti mengapa dia merasa bersalah, dan mengapa pula dia merasa menyesal. Dia tidak mengenal pria misterius ini apalagi mengenal seorang anak kecil yang diceritakan pria asing ini.
Dia ingin membuka suara untuk bertanya lebih lanjut. Dia ingin mencari tahu mengapa dia memiliki perasaan tidak nyaman serta gelisah seperti ini. Tapi bibirnya bergetar hebat sementara tenggorokannya terasa seperti ada sesuatu yang menyumbat kerongkongannya.
Seluruh tubuhnya menggigil membuat giginya bergemeletuk seakan dia sedang berada disuatu tempat yang sangat dingin.
Joy mencoba menghangatkan dirinya sendiri dengan mencengkeram tangannya ke tangannya yang lain dan barulah dia menyadari bahwa kedua tangannya sangat dingin seperti es.
Sekarang bukanlah musim dingin dan tidak ada AC ataupun angin yang kencang menghembus hingga ke tulangnya yang sanggup membuatnya kedinginan.
Ada apa ini? Apa yang terjadi padanya?
Kenapa dia merasa gelisah dan hatinya tidak nyaman hingga membuatnya kedinginan setelah dia selesai mendengarkan cerita orang asing ini.
"Apa kau ingin tahu kisah kehidupan siapa yang baru saja kuceritakan?" pria itu akhirnya membuka suara. "Beliau adalah ayahmu, Tuan Gardnerr."
"TIDAK!!" Joy langsung menyentakkan kakinya dan bangkit berdiri.
Dia tahu dia merasa kedinginan dan dalam hati kecilnya sudah merasa curiga bahwa anak kecil didalam cerita pria misterius ini adalah ayahnya. Tapi dia menolaknya, dia tidak ingin mengakuinya sehingga seluruh hati serta jiwanya terasa dingin.
Joy tidak lagi ingat bahwa kedua tangannya telah menjadi sedingin es dan suaranya yang keras menarik perhatian orang lain.
Tidak seharusnya dia membuat keramaian, terlebih bersikap kasar pada orang yang telah menawarkan makanan serta susu hangat untuknya. Namun, disaat dia mendengar sendiri bahwa kisah seorang anak kecil tersebut adalah ayah kandungnya, pengendalian diri Joy yang terakhir terputus.
"Kau bohong! Tidak mungkin orang itu! Orang itu pemalas, tidak suka bekerja. Dia lebih suka menghamburkan uang mama. Tidak, kau pasti bohong." bantah Joy karena dia masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa kehancuran keluarganya berasal dari ibunya.
Selama ini dia menyalahkan ayahnya dan membenci pria itu, sehingga dia tidak bisa menerima bahwa pria itu tidak bersalah atas kehancuran keluarganya.
Hanya saja, hati kecilnya berbicara padanya bahwa kehancuran keluarga ini karena ulah dirinya. Kalau seandainya saja dia tidak mengeluarkan kata tabu itu, mungkin saja, kedua orangtuanya tidak akan berpisah.
Tapi Joy masih tidak terima dan pada akhirnya dia hanya bisa menangis tersedu-sedu setelah dia kembali terduduk lemas di kursinya. Dia tidak tahu apakah tangisannya ini karena dia mengakui bahwa dirinya yang bersalah ataukah karena dia merasa malu karena selama ini dia menyalahkan orang lain atas kesalahannya sendiri.
Meskipun menjadi pusat perhatian, pria itu tetap bersabar dan membiarkan Joy meluapkan segala curahan hatinya. Dia bisa mengerti gadis muda didepannya menolak untuk menerima kenyataan yang baru saja didengarnya. Karenanya, pria itu memberikan waktu bagi Joy untuk menenangkan diri.
Setelah beberapa saat menangis, akhirnya Joy kembali tenang dan tidak lagi berteriak-teriak.
Pria itu mengeluarkan sebuah majalah dengan foto seorang pria tua sebagai sampul halaman pertamanya.
Pandangan Joy terpaku pada pria yang terpampang di kover depan majalah yang sangat terkenal. Meskipun agak berbeda dengan apa yang diingatnya, meskipun dia berusaha melupakan wajah 'pria itu', tapi dia masih bisa mengingat wajah pria itu dengan jelas.
Pria yang ada di sampul halaman tersebut adalah 'pria itu'. Pria yang dulu dia pernah sebut 'papa'.
"Tuan Gardnerr kini menjadi pemilik perusahaan properti terbesar di negeri ini. Beliau masih memikirkan kalian meskipun kalian tidak ingin menemuinya." ungkap pria misterius itu masih dengan nada yang lembut dan hangat.
"Diam-diam beliau menghidupi kalian dan tidak membiarkan kalian kelaparan. Dia juga merasa sedih saat tahu kau tidak lulus dari sekolahmu. Padahal dia berhasil mencari cara untuk melunasi semua uang sekolahmu waktu itu, tapi ternyata... kau malah tidak lulus dan dikucilkan oleh teman-temanmu."
Jantung Joy terasa berhenti berdetak mendengar. Dia sudah merasa aneh kenapa sekolah mengizinkannya ikut ujian kelulusan. Sebelumnya mereka menutup gerbang sekolah rapat-rapat meskipun dia sudah datang jauh lebih pagi dari murid lainnya.
Tidak peduli seberapa besar Joy memohon hingga merendahkan dirinya sendiri, pihak sekolah tetap tidak mau membuka pintu untuknya. Bahkan hanya untuk mengizinkannya ikut ujian terakhir tanpa dia harus datang ke sekolah setiap hari, pihak sekolah tidak mau tahu kondisinya.
Tapi suatu hari, tiba-tiba saja pihak sekolah menghubunginya dan mengizinkannya untuk masuk ke sekolah, mengikuti pembimbingan ekstra untuk menghadapi ujian. Dia merasa heran, tapi tidak pernah sekalipun dia berpikir bahwa ada seseorang yang telah membayar uang sekolahnya beserta uang tunggakan yang sudah tidak dilunasi selama berbulan-bulan.
Dan orang tersebut tidak lain adalah ayahnya??
Joy juga teringat, di malam saat dia dan ibunya memutuskan untuk tidak makan karena tidak punya uang, selalu saja ada kiriman makan dari tetangga untuk mereka. Entah apakah mereka menggunakan alasan karena mereka memiliki makanan berlimpah atau karena mereka sedang merayakan sesuatu dan ingin berbagi-bagi dengan tetangga mereka.
Ternyata tetangga mereka sudah dibayar oleh 'pria itu' untuk menjaga kebutuhan mereka sehari hari. Mengirimi mereka makanan, memberikan baju atau hadiah lainnya yang mereka perlukan. Mereka bahkan memperhatikan Joy serta ibunya disaat salah satu dari mereka jatuh sakit.
Seumur hidup Joy, tidak ada orang yang begitu perhatian padanya dan ibunya semenjak mereka tidak memiliki apa-apa.
Joy mengira, di dunia ini masih ada orang yang memiliki hati yang baik dan tulus. Dia mengira tidak semua orang yang ingin mendekatinya karena kekayaan yang dihasilkan ibunya.
Siapa yang pernah menyangka, ternyata… tetangga baik mereka merupakan saluran perhatian dari sang ayah yang telah lama meninggalkan mereka.
Siapa yang pernah menyangka, ternyata seorang pria yang tampak cuek dan tidak lagi memperdulikan istri serta anaknya, masih saja memperhatikan mereka dari jauh walaupun ibu Joy selalu mengusir mantan suaminya tiap kali pria itu datang ke rumah.
Joy kembali terisak-isak mengingat semua itu, namun wataknya yang keras terus saja membuatnya ingin menolak kenyataan yang mengejutkan ini.
"Tidak.” tanpa sadar Joy bergumam menyangkal kebenaran yang barusan ia terima. “Jika memang itu benar, jika orang itu memang masih memperhatikan kami, kenapa… kenapa dia tidak menemui kami?"
"..." pria itu menatapnya dengan sedih. "Apa kau lupa? Beliau datang ke tempat kalian tiga tahun yang lalu. Tapi kalian menolaknya dengan kasar."
Sekali lagi Joy menggali ingatannya. Benar. 'Pria itu' memang pernah datang hanya untuk memberitahunya bahwa Joy bisa berkuliah di luar negeri. 'Pria itu' berjanji akan mengurus visa, biaya dan tempat tinggal selama disana.
Tapi apa jawabannya waktu itu?
‘Lebih baik aku tidak kuliah daripada harus berhutang pada pria sepertimu!’
Joy mengutuki dirinya sendiri mengingat kata jawaban kurang ajar yang dia berikan pada ayahnya. Air mata yang membasahi pipinya mengalir semakin deras dan hidung serta matanya merah akibat terlalu banyak menangis.
Terlebih lagi, hatinya terasa sakit dan dadanya terasa sesak seakan ada sesuatu yang menjepit paru-parunya membuatnya tidak bisa bernapas dengan mudah.