Bab 10
Joy bertanya-tanya sebegitu besarkah kebenciannya pada ayahnya? Seberapa dalam kebenciannya terhadap ayahnya sehingga dia tidak bisa merasakan kasih sayang seorang ayah yang begitu besar terhadap dirinya?
Kenapa dia membiarkan orang lain seperti tantenya untuk mencuci otaknya dan membenci ayahnya? Kenapa dia mengikuti keinginan saudara-saudara ibunya yang menyuruhnya untuk menyetujui perceraian kedua orangtuanya?
Kenapa dia membiarkan kebenciannya membutakan matanya sehingga dia tidak bisa melihat seberapa besar ayahnya telah berjuang untuk mempertahankan kehidupan rumah tangga ini?
Joy menangis dan menangis sambil memukul dadanya yang terasa sakit.
Otaknya terus berusaha membujuknya bahwa itu semua bukan salahnya dan orang ini hanya mengarang sebuah kebohongan untuk membuat kehidupannya semakin terpuruk. Dia terus berusaha meyakinkan dirinya bahwa apa yang diucapkan pria ini bukanlah kenyataan yang sebenarnya, tapi…
Hatinya berkata lain.
Hatinya berkata bahwa apa yang dikatakan pria asing ini memang benar adanya. Hatinya menyuruhnya untuk mengingat-ingat kembali apa saja yang dilakukan ayahnya disaat bersamanya.
Joy ingat, tiap kali ayahnya pulang dan melihatnya tersenyum kearahnya, wajah lelah beliau selalu berubah digantikan dengan raut muka cerah dan penuh kasih.
Dia juga ingat, tiap kali ayahnya selesai bertengkar dengan ibunya, ayahnya selalu berusaha memberikan senyuman untuknya dan tidak membiarkan sisa pertengkarannya mengimbas pada Joy.
Namun disaat Joy bersikap dingin dan acuh pada ayahnya, pria itu selalu memberikan tatapan sedih dan kecewa.
Tidak. Tidak hanya itu. Pria itu tampak seperti kesepian seolah tidak ada satupun yang berdiri disisinya.
Padahal mereka bertiga adalah satu keluarga. Padahal mereka bertiga tinggal di rumah yang sama, tapi kala itu… ayahnya tampak seperti orang asing yang tinggal bersama dengan dua orang yang memusuhinya.
Memikirkan hal ini membuat hati Joy semakin teriris dan rasa-rasanya dia ingin sekali segera berlari untuk melarikan diri. Dia ingin kabur dan tidak ingin mendengarkan kenyataan yang sangat menyayat hatinya dan berharap dia tidak pernah bertemu dengan pria asing ini.
Tapi, kakinya sama sekali tidak mau bergerak. Bokongnya menempel ke atas kursi seakan ada lem yang mengikat keduanya dan dia hanya bisa mendengar kelanjutan penjelasan pria asing ini dengan pasrah dan penuh derai air mata.
"Meskipun beliau tidak menunjukkannya, tapi aku yakin hatinya merasa sakit. Itu terbukti saat dia meneteskan air matanya didalam mobil. Aku ada disana waktu beliau berkunjung ke rumah kalian. Aku melihatnya dengan mataku sendiri. Aku melihatmu berkata-kata kasar menyakitinya. Itu sebabnya aku langsung mengenalimu di depan toko tadi."
"Apa kau tahu apa yang dilakukan ayahmu setelah hari itu? Tuan Gardnerr pergi ke luar negeri berusaha untuk melupakan kalian. Beliau menyibukkan dirinya dengan pekerjaan berharap kalian keluar dari hatinya secara total. Tapi apa kau tahu? Sepertinya beliau masih belum bisa melupakan kalian tidak peduli seberapa kerasnya dia menenggelamkan dirinya dalam pekerjaannya."
"Setelah dua tahun merantau di luar, beliau memutuskan untuk kembali dan mencoba untuk menemui kalian lagi. Sayangnya, begitu beliau kembali, ibumu sudah tiada dan jejakmu menghilang. Selama satu tahun ini beliau selalu mencarimu tanpa hasil. Baru-baru ini dia memutuskan untuk muncul di berbagai acara tivi atau pemotretan dengan harapan kau akan mengenalinya dan mencarinya."
Pria itu melanjutkan ucapannya dengan tawa sedih. "Tapi, jika kondisimu seperti saat ini, tidak heran kau tidak akan tahu bahwa ayahmu sudah menjadi terkenal sekarang."
Benar. Joy tidak akan tahu jika ayahnya muncul di koran, majalah ataupun tivi. Meskipun dia melihat sebuah koran, dia tidak akan menyadari foto wajah ayahnya. Walaupun matanya terbuka melihat ke jalan, yang sebenarnya, matanya melihat kegelapan. Hidupnya kini seperti mayat hidup yang menanti malaikat maut menjemput rohnya.
Kalaupun dia mendengar suara ayahnya di layar LED yang terpampang di tiap sudut kota, Joy tidak akan mengenalinya. Sudah sangat lama dia tidak ingat seperti apa suara ayahnya ataupun raut mukanya.
Semenjak ayahnya pergi meninggalkan mereka setelah menyetujui gugatan cerai ibunya, Joy telah mengusir pergi sosok ayah dari hatinya. Dia memutuskan untuk menganggap bahwa dia tidak memiliki seorang ayah.
Joy mengginggit lidahnya hingga berdarah. Dia sudah tidak tahan mendengar ini semua. Semua yang dikatakan pria ini sangat menusuk hatinya. Membuat rasa bersalah muncul dalam sekejap dan membuatnya tidak ingin hidup lagi.
"Aku sudah selesai apa yang harus aku ucapkan. Bertemu denganmu hari ini mungkin bukan sebuah kebetulan." Pria itu mengambil sebuah pulpen dari tas laptopnya dan menuliskan sebuah alamat di majalah. "Cobalah temui beliau, kau akan tahu apakah ceritaku benar atau hanya karangan belaka."
Setelah mengucapkannya, pria itu bangkit berdiri dan meninggalkannya.
Joy menyusul keluar setelah diam selama beberapa menit. Tangannya bergerak dengan sendirinya membawa majalah itu bersamanya.
Dia menatap alamat itu dengan tatapan kosong. Alamat yang sangat dikenalnya. Rumah yang dulu ditinggalinya bersama kedua orangtuanya sebelum perceraian itu terjadi.
Rumah itu sudah disita bank dan dia tidak tahu siapa yang telah membeli rumah itu dari pihak bank. Sepertinya, ayahnya yang telah menebus rumah mereka kembali.
Ayah?
Sejak kapan Joy memikirkan kata ‘ayah’ lagi? Apakah kini dia telah mempercayai perkataan orang tadi seutuhnya? Itukah sebabnya dia tidak lagi membenci ayahnya dan bersedia menyebut orang itu sebagai ‘ayah’?
Yah, walaupun perkataan orang itu sulit dipercayanya, mau tidak mau Joy harus percaya setelah melihat sebuah alamat tertera di sampul depan majalah yang dibawanya.
Joy tidak pernah bertemu dengan orang tersebut sebelumnya, dan jika orang tersebut berbohong, tidak mungkin orang itu sanggup mengetahui alamat rumah yang pernah ditempatinya beserta kedua orangtuanya belasan tahun yang lalu.
Setelah merenung beberapa saat, Joy memutuskan untuk menuruti perkataan pria tadi. Dia ingin menemui ayahnya kembali dan memohon maaf atas kesalahan serta perlakuannya yang sudah bersikap kurang aja.
Tapi... setelah sekian lama tidak bertemu, apakah ayahnya akan memaafkannya? Apakah ayahnya akan menerimanya kembali?
Didalam benak Joy terus bergulat antara apakah dia akan menemui 'pria itu' atau tidak. Kalaupun seandainya dia pergi menemuinya, apakah 'pria itu' masih menganggapnya sebagai putrinya?
Tanpa disadarinya hari sudah berubah gelap dan kini langkah kakinya berdiri didepan sebuah rumah yang tidak asing.
Matanya melebar mengetahui bahwa dirinya telah berdiri didepan rumah lamanya. Dia menatap tombol interkom dan mengangkat sebelah tangannya untuk menekan tombol tersebut. Namun, timbul keraguan yang sangat besar didalam hatinya dan mengurungkan niat untuk memencet tombol tersebut.
Di hati kecilnya dia ingin tahu apakah cerita yang dia dengar adalah bohong atau memang benar adanya; dia ingin tahu seperti apa sosok 'ayah'nya yang sekarang. Tapi dia juga merasa takut.. dia takut akan hal yang pernah dia lakukan pada ayahnya.
Dia takut ditolak dan diusir oleh ayahnya. Dia takut ayahnya mendendam padanya dan membalasnya dengan perlakuan yang sama seperti saat dia menolak bertemu dengan ayahnya.
Joy mengerling ke arah tubuhnya yang dipenuhi dengan debu, kotor dan dia yakin sekali bau tubuhnya sangat tidak sedap. Apa sebaiknya dia menunda kedatangannya besok?
Setidaknya dia harus membersihkan diri dan berpenampilan rapi dihadapan ayahnya untuk menunjukkan ketulusannya yang ingin meminta maaf.