Bab 8 Nanti, Kita Masih Pengantin Baru
Bab 8 Nanti, Kita Masih Pengantin Baru
Masih di bulan pertama pernikahan mereka, Susan mulai merasa sedikit jengah terhadap suaminya itu. Pasalnya, ini sudah menjelang siang dan saat dia mengintip ke dalam kamar tidur, laki-laki itu masih mendengkur pulas di atas kasur mereka tanpa mengenakan sehelai benang pun di bawah selimut yang menutupinya.
Susan membuang napasnya dan memilih kembali ke dapur. Lebih baik menyelesaikan pekerjaannya yang belum tuntas daripada harus diam melamun menunggui Chen, yang susah dibangunkan itu.
Beberapa piring berisi lauk pauk di atas meja makan juga ruangan yang sudah rapi dan bersih, menjadi sebuah tanda jika perempuan bersuami itu sudah bangun sedari pagi. Tangannya sibuk menggosok wajan bekas memasaknya. Bahkan telinganya terlalu fokus mendengar suara gesekan antara spons dan permukaan wajan.
Rambutnya ia gerai bebas, agar cepat kering sebelum kembali dia ikat. Rencananya hari ini Susan ingin berbelanja bahan-bahan pokok yang sudah habis. Mulutnya bergumam, berdendang menyanyikan lagu yang dia hafal.
Bahkan setelah dia usai dengan pekerjaannya, Chen belum terbangun juga. Terpaksalah Susan kembali naik ke atas ranjang mereka untuk membangunkan sang suami.
"Ko, bangun...," Susan berbisik lembut di telinga suaminya. Lalu dia beralih memberikan kecupan-kecupan kecil di wajah sang suami tercinta. "Bangun...."
Chen masih tidak terusik dengan apa yang Susan lakukan. Laki-laki itu masih telungkup dengan matanya yang terpejam. "Ko...," Susan mulai merengek kecil, saat menyebut nama panggilan yang dia cantumkan untuk sang suami.
Barulah terlihat pergerakan kecil dari Chen. Laki-laki itu mengubah posisinya menjadi telentang, membuat selimut yang menutupinya sedikit tertarik hingga bawah pusarnya.
Dengan penuh perhatian, Susan menariknya lagi sampai ke atas perut suaminya. "Bangun Ko. Makan dulu."
"Hmm," Chen menjawab sambil kembali tertidur.
Susan yang gemas dengan kelakuan suaminya itu, kembali memberikan kecupan-kecupan kecil di wajah Chen. Berharap dia terganggu dan kemudian terbangun dari tidurnya.
Chen menutup wajahnya dengan lengannya, berharap Susan berhenti mengganggu tidurnya. Dia benar-benar lelah setelah menggarap sang istri sampai pagi buta. Menuntaskan hasratnya yang tak pernah padam setiap melihat Susan tertidur di sampingnya.
"Yang...," gumamnya, meminta Susan berhenti mengganggu tidurnya.
"Hmm? Bangun, Ko." Susan yang kini duduk di sampingnya, terus mengusik sang suami dengan sentuhan-sentuhannya yang manja.
Chen tidak mengindahkannya, matanya masih terasa berat. Bahkan pendengarannya terasa timbul tenggelam saat suara lembut sang istri menggelitik pendengarannya. Karena tidak ingin diusik terus-menerus, pada akhirnya Chen mengunci kedua tangan Susan dan menarik tubuh istrinya untuk ikut terbaring di atasnya. Dalam dekapannya, Susan berdecak dan memintanya untuk melepaskan tangannya yang masih Chen pegang.
Aroma yang menguar dari tubuh sang istri membuatnya semakin merasa nyaman dan ingin terlelap lebih dalam lagi. Dengan satu tangan yang memegang kedua tangan sang istri dan satunya lagi melingkar di pinggang milik Susan, Chen mulai mengubah posisi tidurnya menjadi miring hingga dia bisa menenggelamkan wajahnya ke tengkuk istrinya itu.
Lantas saja Susan semakin menggeliat mencoba menjauhkan lehernya dari kepala sang suami yang mengendus-endusdi sana. "Ko, cepat bangun lalu mandi! Setelah makan temani aku keluar untuk membeli bahan-bahan yang sudah habis."
"Sebentar lagi, Yang. Sebentar...," tawarnya dengan suara yang khas, karena tenggorokannya yang sedikit kering.
"Ayo, Ko. Cepat..., huh, gara-gara siapa aku telat bangun dan tidak bisa ikut berebut sayur-mayur bersama ibu-ibu kompleks?" protes Susan kesal. "Gara-gara siapa? Cepat mengaku!"
Chen terkekeh mendengar itu. Dia semakin mengeratkan pelukannya pada sang istri dan menenggelamkan wajahnya lebih dalam lagi, yang membuat Susan kembali mengeluarkan protesnya.
"Aku, aku, aku... sudah?" jawab Chen, masih di posisi sama yang membuat Susan merinding karena embusan hangat di tengkuknya.
Tidak mau terlena dan berujung kelelahan karena perbuatan suaminya, Susan langsung menjauh dari dekapan Chen. "Cepat bangun, ah! Sebelum aku ambil air dari kulkas, untuk aku guyurkan di badanmu, Ko."
Kehilangan kehangatannya, Chen langsung memaksakan kedua matanya membuka sebelum kemudian bangkit untuk membersihkan diri.
Susan langsung membersihkan kamar mereka yang berantakan, dengan kecepatan seribu tangan yang dimilikinya. Dalam hitungan menit, kamar yang awalnya seperti terkena badai yang memorak-porandakan seisinya, kini sudah kembali bersih dan rapi. Saat dia tengah menepuk-nepuk bantal sebelum ditatanya di atas kasur, Chen masuk dengan keadaan yang sudah segar dari sebelumnya. Dari rambut suaminya itu masih terlihat tetesan air yang meluncur ke keningnya, sebelum terjun bebas ke atas lantai.
Sudah berkali-kali Susan ingatkan untuk menyeka rambutnya terlebih dahulu sebelum keluar dari kamar mandi, tapi laki-laki itu tetap bandel dan tak mendengarkannya. Andaikan mendengar, paling hanya Chen lakukan sehari saja sebelum kembali ke kebiasaannya yang membuat Susan menggerutui suaminya.
Chen langsung mengenakan pakaiannya yang sudah Susan siapkan. Inilah salah satu enaknya memiliki istri. Baju sudah tinggal pakai, makan sudah disiapkan dan setiap malam sudah ada yang menemani untuk bergadang.
Laki-laki itu terkekeh dengan pemikirannya saat mengenakan bajunya. Matanya menatap punggung Susan yang masih sibuk mengurusi kasur mereka. Tempat keduanya membagi kehangatan.
Setelah semuanya usai, Chen menghampiri istrinya itu untuk memberikan sebuah kecupan di pipinya sebagai ucapan terima kasih. "Aku makan dulu, ya," setelah berucap seperti itu, Chen langsung melenggang ke luar kamar.
Susan kembali dibuat kesal saat melihat handuk yang dibiarkan begitu saja di atas meja dekat lemari pakaian. Tangannya langsung meraih handuk tersebut dan menyusul suaminya keluar. Susan kembali membuang napasnya saat melihat Chen yang sudah terduduk di kursi dengan rambut yang masih basah. Apa ruginya mengeringkan rambut terlebih dahulu sebelum makan? Tidak adakan?
Tanpa banyak bicara tangannya langsung mengeringkan rambut itu dengan handuk yang dibawanya tadi. "Kebiasaan. Kamu selalu seperti ini sebelum kita menikah, hmm?"
Chen tidak protes dengan apa yang Susan lakukan dan tanyakan. Dia menikmatinya saat sang istri mengurusi dirinya. "Sekarang kan sudah ada kamu, Yang."
Susan memutar bola matanya."Lalu, harus aku yangmengurusi semuanya? Begitu?"
Chen menyinggung tawanya yang pelan karena sedang makan. "Kamu kan istriku."
Susan sudah duduk di samping suaminya itu. "Ngomong-ngomong, Ko..., kapan Koko mulai bekerja? Hampir sebulan pernikahan kita, kamu terus di rumah perasaan."
Chen menghentikan kunyahannya dan menatap istrinya itu dengan senyum yang tersungging manis. "Nanti, Yang. Kita kan masih hangat-hangatnya sebagai pengantin baru. Andaikan aku pergi pun, mungkin tidak akan fokus karena terus memikirkanmu."
"Aku serius, Ko!"
"Aku juga, Yang. Sudah ya? Aku makan dulu. Nanti kita pergi belanja."
Menghindari perdebatan yang menurutnya tidak perlu, Susan memilih pergi dari meja makan untuk menjemur handuk di tangannya.
***
Chen membawanya ke salah satu swalayan yang ada di kota Tangerang. Susan langsung membawanya kesana-kemari dan membiarkan suaminya itu membayar apa yang dibelinya. Susan berjalan kearah tukang buah-buahan yang pedagang seorang laki-laki yang cukup tinggi, muda dan lumayan tampan. Dia datang ke sana bukan karena penjualnya, melainkan karena apa yang dijualnya. Tapi itu semua berbeda dari sudut pandang sang suami.
Tangannya yang sedang memegang kantung plastik terlihat mengerat dengan mata yang menatap tajam ke arah Susan, yang tengah tertawa untuk berbasa-basi dengan si penjual buah-buahan. Kakinya yang besar langsung saja berjalan mendekat untuk menggiring perempuan itu pulang.
Chen tidak suka saat Susan harus beramah-tamah pada orang-orang yang tidak dikenalnya, karena dari sudut pandang yang dia ambil, sang istri layaknya perempuan yang tengah menebar pesona pada laki-laki yang disapanya. Murahan, liar dan tidak dapat menjaga etika.
"Kita pulang!"
"Iya, tunggu sebentar. Buahnya sedang dibungkus," sahut Susan dengan matanya yang masih fokus mengobrol dengan sang penjual buah.
Setelah Susan mengambil kantung plastik yang disodorkan sang penjual, Chen langsung menyentak tangan istrinya untuk segera pergi dari tempat itu. Susan sendiri sedikit terkejut dengan apa yang suaminya lakukan. Dia hanya mampu melemparkan senyumannya pada orang-orang yang melihat ke arah mereka berdua, memberitahu jika mereka tidak apa-apa.