Ringkasan
Susan pergi untuk menjemput impian manis yang dia idamkan, rela menorehkan sebuah luka pada sang ibu demi harapan-harapan manis yang belum tentu terlaksana.Cinta memang manis adanya tapi dia lupa, tidak semua cinta bersifat sempurna. Ingat! Cinta berdampingan dengan luka dan lara yang mampu membuatmu gila.
Bab 1 Maaf Ibu
Bab 1 Maaf Ibu
"Ibu tidak setuju ya, kamu menikah dengan kenalanmu itu! Kamu pakai logikamu! Kalian baru kenal sebentar dan sudah ingin menikah?! Bukan masalah jika kamu menikah dengan orang yang sudah kita kenal baik, tapi dia?! Bahkan Ibu tidak mengenalnya!" teriakan penuh emosi itu keluar dengan lantangnya, dari seorang ibu yang menolak dengan tegas rencana pernikahan sang putri.
"Tapi, Bu, Kami sudah saling mencintai! Bukankah dengan dia yang bermaksud serius denganku sudah menjadi bukti jika dia memang pantas untukku?" anaknya mencoba membela diri.
"Kamu pikir karena dia mau menikahimu dan ikut dengan keyakinan kita, dia pantas untuk kamu jadikan sebagai suami, hah?! Gunakan pikiranmu Susan! Kalian bertemu bukan secara langsung! Tetapi lewat aplikasi yang ada di ponselmu itu! Berhenti mengharapkan apa yang terjadi dengan orang lain akan terjadi juga kepadamu," ucap sang ibu tegas, setegas-tegasnya. Berharap sang anak akan sadar dengan konsekuensi apa yang akan diterimanya jika bertahan dengan pilihannya itu.
Tubuh dan psikisnya sudah sangat-sangat letih karena anaknya itu. Entah apa yang didapatnya hingga seyakin itu untuk menikahi orang asing. Tidak mau memperpanjang perdebatan mereka, ibunya langsung melangkah pergi.
Susan mengejar ibunya. "Bu, dengarkan aku dulu, Bu. Aku benar-benar sudah yakin dengannya, aku mencintainya, aku tidak bisa hidup tanpa dia Bu. Tolong restui hubungan kami, Bu," tangis sudah pecah dari putrinya itu. Tapi tetap tidak bisa meluluhkan hatinya yang hidup sebagai ibu.
"Sampai matipun, Ibu tidak akan merestui hubungan kalian!" suara itu menggelegar, terdengar sangat jelas sampai keluar rumah. Menandakan bahwa itu keputusan yang diambil oleh ibunya. Setelah mengatakan itu, wanita paruh baya tersebut memilih meninggalkan putrinya sendirian.
Susan diam tergugu dengan air mata yang terus meleleh bagaikan keran air yang tak dapat dihentikan, mendengar penolakan ibunya itu. Hatinya teriris pedih karena tak bisa bersatu dengan sang pujaan hati yang sudah dia kenali lebih dari dua bulan terakhir.
Manusia mana yang akan bisa menerima saat ia tengah jatuh cinta, lalu mendengar hal seperti itu saat tengah dipuncak kebahagiaannya? Tentu tidak ada bukan? Begitupun dengan Susan.
Perempuan itu langsung mengemasi pakaian-pakaiannya ke dalam duffelbag-nya. Berniat pergi dari rumah ini. Rumah tempatnya bernaung dari bayi hingga sebesar sekarang. Rumah tempatnya berlindung dari angin, panas juga hujan. Rumah yang penuh dengan sejarah kehidupannya.
Tangannya yang cantik mengetik sesuatu di ponselnya. Memberitahu sang kekasih, keputusan seperti apa yang akan diambilnya. Susan keluar dari kamarnya, menatap pintu kamar sang ibu yang tertutup rapat. Dia mengucapkan beribu-ribu kata maaf karena memilih mengejar cintanya dibanding menurut pada perempuan yang mengurusnya sejak dari kecil. Matanya tak lepas melihatke arah pintu itu, sebelum kemudian kembali masuk ke kamarnya.
Tepat tengah malam, saat semua orang terlelap dalam buaian mimpi, perempuan yang tengah dimabuk cinta itu melangkah pergi meninggalkan rumahnya dalam sunyi.
Mungkin nanti ibunya akan paham dengan apa yang dipilihnya. Mungkin nanti ibunya akan menerima pernikahannya. Mungkin, mungkin ... banyak sekali mungkin yang menari indah di benaknya selama kakinya yang dibalut flat shoes, melangkah keluar dari rumah itu.
***
Dia Chen, seorang pria keturunan Tionghoa yang sukses menarik perhatiannya di sebuah aplikasi dating, yang Susan mainkan.
Berawal dari kata 'hai', mereka mulai saling bertukar pesan.
Awalnya hanya saling sapa, lalu beralih menanyakan kabar, dan karena memiliki chemistry yang kuat, pada akhirnya mereka memilih menjalin sebuah hubungan.
Susan bahagia dengan hubungan mereka. Dengan toleransi atas apa yang mereka jalani. Susan tahu hubungan mereka akan sedikit sulit kedepannya, tapi dia tetap optimis dengan hubungannya bersama Chen.
Tiga bulan berselang, tiba-tiba sang kekasih melamarnya. Meminta Susan untuk hidup bersama, menemani di setiap waktu yang berjalan hingga berhenti pada saatnya.
Kontan dia langsung menerima pinangan itu, secepat nyamuk terbang saat akan kita pukul. Sayang seribu sayang, kebahagiaannya tak bersambut. Itu hanya membuat hubungannya dengan sang ibu merenggang. Membuatnya mengambil keputusan nekat seperti sekarang.
Matanya langsung berkaca-kaca dengan senyum yang sedikit melengkung saat menemukan belahan hatinya yang sudah menunggu sambil menyandar di mobilnya. Sadar sang kekasih sudah datang, Chen langsung menghampirinya dan membawa tas yang perempuan itu bawa.
"Yang, kamu baik-baik saja, kan?" tanya sang kekasih dengan mimik wajahnya yang khawatir.
Susan mengangguk. Mengisyaratkan bahwa dia baik-baik saja. "Terimakasih, ya Ko, sudah mau aku repot kan tengah malam seperti ini. Jauh-jauh menjemput ku ke mari," ucap Susan terharu.
Bagaimana tidak, jika sesaat setelah dia mengirimkan pesan, Chen langsung menghubunginya dan menanyakan kondisinya sebelum kemudian menawarkan jemputan untuknya. Laki-laki itu menawarkan kamarnya untuk Susan sebelum mereka diikat nanti. Langsung saja Susan merasa keputusan yang diambilnya itu tidak salah.
Chen memeluk kekasihnya itu. "Ini tidak seberapa dengan apa yang kamu lakukan untuk pernikahan kita. Lebih baik, kita masuk sekarang. Aku takut kamu masuk angin karena terlalu lama berada di luar." Laki-laki itu, membukakan pintu mobil untuk wanitanya dan menyimpan tas di tangannya ke bagasi.
Selama perjalanan, tangan mereka selalu bertaut. Bibir Chen selalu mengucapkan ucapan-ucapan yang bisa menenangkan kekasihnya itu. Membuatnya agar merasa nyaman juga melupakan permasalahan yang dihadapinya tadi.
Musik berputar mengiringi mereka. Kepala kekasihnya menyandar di pundaknya yang lebar, tempat favorit Susan jika mereka bertemu. Ibu jarinya mengusap pelan tangan sang kekasih. Memberikan ketenangan untuk jiwanya yang tengah terguncang.
Sesekali kepalanya juga menoleh untuk mengecup kepala Susan yang bertengger manis di pundaknya. Hatinya berdebar tak sabar untuk segera menikahi Susan yang sudah menemaninya selama tiga bulan terakhir.
"Yang, kita sudah sampai," ucapnya saat memasuki area parkir tempat tinggalnya. Susan mengangguk dan kembali duduk.
Mereka melangkah masuk kedalam sana dengan tetap bertaut tangan. Chen menunjukkan tempat tinggalnya, memberikan sedikit tour karena ini kali pertamanya membawa Susan kemari.
"Kamu bisa tidur di kamar ini, Yang. Biar aku tidur di sofa, sebelum kita bisa tidur bersama," ucapnya semanis madu.
Ada getaran tersendiri di hati Susan. Dia jadi sedikit sensitif hari ini, mungkin efek dari berdebat tadi dengan sang ibu. Bibir bawahnya maju sedikit menahan haru dan isak tangisnya.
Chen langsung membawanya ke pelukan lagi. "Lho? Kenapa mengangis lagi, Sayang?" Chen menepuk-nepuk punggung Susan pelan, berharap dia akan berhenti. "Kita sudah sepakat kan, untuk melupakan hari ini? Jadi kamu tidak perlu menangis lagi," hiburnya.
"Koko, kamu benar-benar mencintai aku, kan? Kita akan menikah dan hidup bahagia bersama, seperti yang kamu janjikan, kan?" dalam pelukan hangat itu, pertanyaan beruntun Susan tanyakan pada si pemilik hati.
Kepalanya merasakan anggukan itu. Sebuah jawaban yang Chen berikan untuknya. "Tentu. Tidak lama lagi, kita akan menikah. Kita akan hidup bahagia bersama. Aku juga kamu. Kita akan bersama hingga jalinan kita terputus karena waktu."
Susan mengangguk setuju dan tersenyum di balik wajahnya yang tengah terbenam di dada Chen.