Bab 12 Aku Ingin Pergi
Bab 12 Aku Ingin Pergi
Hal apa yang akan kamu lakukan setelah terbangun dari pingsan? Tentu bertanya-tanya di mana kamu berada, kan? Tapi berbeda dengan Susan.
Sesaat setelah dia membuka matanya dan terbangun tanpa busana yang menutupi seluruh tubuhnya di samping Chen yang juga hampir sama sepertinya, Susan langsung mencari dan memakai pakaiannya dengan terburu-buru.
Mengacuhkanapa yang dia rasakan dari ujung kepala hingga ujung kaki, juga luar dan dalam tubuhnya. Yang ada di pikirannya saat ini, lari! Lari sejauh mungkin dari suaminya itu.
Dengan kaki yang bergetar juga jantung yang berpacu keras, Susan langsung meraih tas dan memasukkan pakaiannya secara acak dengan sesekali melirik ke arah tempat tidur. Memastikan suaminya tidak terbangun.
Dia benar-benar harus pergi. Susan tidak mau menjadi gila sendiri, dia mulai tak sanggup jika harus terus-menerus menyimpan keluh kesahnya seorang diri.
Setelah memasukkan dompetnya, Susan mulai mencari-cari ponsel miliknya dengan gusar dan penuh tekanan. Dia semakin gugup karena ponsel itu tidak dia temukan jua di mana-mana. Kegugupan dan ketakutannya membuat air mata Susan keluar dari pelupuk mata.
Dia sudah akan pergi tanpa membawa benda itu, tapi saat melihat kearah Chen dengan mata yang mengabur karena tangisannya, di bawah sana tepatnya di dekat terminal listrik yang berada di bawah ranjang di mana sangsuami masih terlelap, Susan melihatnya. Debaran jantung Susan semakin bertalu-talu tapi bukan karena jatuh cinta seperti saat pertama kalinya melihat Chen, melainkan karena takut pada suaminya sendiri.
Dengan kaki yang bergetar hebat dan tangan yang menutup mulutnya agar tak mengeluarkan suara, Susan mulai mendekat untuk mencabut ponselnya dari kabel charger. Matanya terus menatap punggung polos Chen yang berani-beraninya meniduri Susan saat tak sadarkan diri. Jujur saja, itu semakin membuatnya hancur lebur tidak terbentuk.
Bahkan saat Chen berbalik ke arahnya untuk merubah posisi tidur, Susan benar-benar terkesiap sampai jatuh terduduk dengan ponsel yang berhasil dia tarik.
Tanpa banyak berbasa-basi lagi, perempuan itu langsung bangkit dan keluar dari kamar tersebut. Meninggalkan sang suami yang masih sibuk dengan alam mimpinya, bersyukurlah karena laki-laki itu tidak bangun saat dia terkejut tadi.
Susan bergidik ngeri saat melihat wastafel tempatnya mencuci piring. Masih tergambar dengan jelas apa yang suaminya lakukan pada kepalanya di sana. Kenapa semuanya melenceng dari apa yang dia harapkan sebelum menikah dengan laki-laki itu.
Setelah kembali pada kenyataannya lagi, Susan langsung melanjutkan langkah kakinya menuju pintu keluar yang terlihat lebih istimewa dari biasanya.
Di dalam kamar, Chen masih terlelap dengan damainya. Dia terlalu lelah karena harus adu urat lagi dengan sang istri setelah mendapatkan ceramah panjang dari ibunya di rumah besar.
Setiap kali dia keluar dari rumahnya, Chen pasti akan bertandang ke rumah besar sekedar berbicara dengan orang tuanya ataupun adiknya sebelum kemudian pulang setelah menerima transferan ke rekeningnya.
Terkadang juga, dia pergi ke suatu tempat untuk mengadu peruntungan dengan uang yang diberikan oleh sang ibu, berharap uang itu bisa berlipat ganda dan semakin memenuhi kartu ATM-nya.
Jika sedang hoki, dia akan memesan beberapa gelas minuman keras untuk meringankan beban pikirannya. Jika sedang tidak beruntung, dia hanya akan memesan dua sampai tiga gelas saja sebelum kemudian pulang ke rumah. Berharap mendapatkan sambutan yang hangat dari sang istri yang sangat-sangat dia cintai.
Ya, Chen benar-benar mencintai perempuan itu sepenuh hatinya. Sampai tak rela berbagai dengan siapa pun. Dia mencintai parasnya, memuja tubuhnya juga mendamba sentuhan lembut yang bisa memuaskan kebutuhannya. Itulah bentuk cintanya untuk Susan sang istri.
“Koko! Koko Chen! Lihat istrimu ini!” suara gaduh yang sayup-sayup terdengar di telinganya, cukup mengusik ketenangan Chen yang tengah terlelap.
Dia langsung terbangun saat merasakan ranjang sebelahnya terasa dingin. Chen langsung memakai celana pendek yang diambilnya dengan sembarang dari dalam lemari yang isinya sudah tak tertata rapi.
Kakinya langsung melangkah keluar kamar sambil mengenakan kaos yang tersampir di ranjang mereka. Suara Clarissa semakin terdengar keras dengan makian di setiap kalimatnya.
“Kau pasti membawa sesuatu dari rumah Koko kan?! Cepat mengaku! Koko!” Clarissa, adik perempuan Chen itu berseru memanggil Chen dengan keras sambil menahan pergelangan tangan Susan agar tidak bisa pergi.
Susan melotot dan terus berusaha melepaskan cengkeraman adik iparnya yang ternyata sudah berada di balik pintu rumah mereka saat dia membuka pintu. Jika urat malunya sudah putus, mungkin saja saat ini Susan sudah menangis dan memohon agar Clarissa mau melepaskannya dan membiarkan dirinya pergi dari rumah ini.
“Clarissa, aku bilang lepaskan tanganku sebelum aku bertindak kasar.”
Dia bisa saja menepis tangan adik suaminya itu dengan kasar, tapi Susan tidak mau melakukannya. “Lepaskan, Clarissa!” serunya sekali lagi.
“Lalu apa! Kau akan lari dengan apa yang kau curi dari dalam rumah, hah?! Aku tidak akan membiarkannya! Koko! Lihat istrimu ini!”
Susan makin gusar saat mendengar langkah kaki dari dalam rumah. Itu tandanya Chen sudah bangun. Saat cengkeraman Clarissa terasa mengendur karena melihat pada orang yang ada di belakang tubuhnya, Susan langsung menyentak tangannya dan berlari secepat yang dia bisa untuk keluar dari gerbang rumah mereka.
Dia melepaskan tas yang berisi baju-bajunya, tidak peduli dengan dompet yang ada di dalamnya. Yang terpenting dia bisa menjauh dari suaminya itu.
Siapa sangka, Chen juga mengejarnya dari belakang disusul Clarissa yang mengamankan tas yang dia lepas begitu saja.
“Susan!” raung Chen marah, sambil mengejar istrinya itu. Beruntunglah kompleks mereka masih sepi.
Susan mengerahkan seluruh tenaganya. Dia merutuki kompleks yang begitu sepi dan hening. Tidak ada seorang pun yang keluar dari rumah mereka yang bisa Susan mintai pertolongan dan perlindungan.
Satu-satunya yang bisa menolong Susan saat ini hanya sang satpam kompleks yang berada di depan sana, dan itu pun dia harus berlari melewati beberapa blok sambil mengadu kecepatan dengan suaminya itu.
Dia tidak berani melihat ke arah belakang, yang mungkin saja jaraknya dengan sang suami hanya tinggal beberapa meter atau bahkan tinggal hitungan sentimeter saja.
Suara Chen masih terdengar di telinga, seperti menerornya yang tengah berjuang dengan keras agar lolos dari suaminya itu.
Satu blok lagi dan dia bisa bertemu satpam kompleksnya. Deru napasnya semakin kencang begitupun dengan jantungnya. “Tolhmp!”
Badannya tertarik ke belakang dengan tangan sang suami yang mendekap mulut dan badannya. Susan meronta-ronta sambil menjerit dengan air matanya yang sudah tumpah ruah. Matanya mengarah ke setiap arah berharap ada yang melihatnya dan dapat menolongnya. Tapi naas, Susan tertangkap di blok yang kosong.
“Yang, kamu mau kemana? Aku tidak mengizinkan kamu pergi sama sekali. Jangan membuat aku melukai kamu lagi,” bisiknya pelan di telinga Susan.
Perempuan itu masih meronta minta dilepaskan. Dia menangis sesenggukan di dalam dekapan suaminya itu.Yang tidak Susan ketahui adalah,sebenarnya ada orang di situ dan Chen pun melihatnya. Dia hanya tersenyum pada orang yang melihat mereka, memberikan isyarat tidak ada apa-apa. Karena dari sudut pandang orang itu, dia pasti mengira jika Chen tengah memeluk sang istri yang tengah merajuk untuk menenangkannya.
Setelah tangis Susan sedikit mereda, entah bagaimana caranya laki-laki itu mengambil ponsel sang istri yang ada di genggamannya dan menaruhnya di saku celananya. Pintar sekali, pikirannya. Dia membiarkan tasnya begitu saja, tapi tetap membawa ponselnya lari.
Chen tidak tahu lagi, bagaimana dia harus menjaga agar Susan tetap berada di sampingnya dan membuat ranjang mereka tetap hangat. Apa dirinya kurang untuk perempuan itu hingga dia berniat pergi saat dia tengah terlelap.
“Kita pulang,” ucapnya pendek.
Mendengar itu, Susan menggelengkan kepalanya keras. Menolak ajakan sang suami. Kakinya menolak setiap Chen menyeretnya ke arah rumah mereka dengan posisi yang tetap sama. Satu tangan melingkar di kepala untuk membekap mulutn dan satu tangan lagi melingkari pinggangnya. Menahan agar Susan tidak bisa lepas dari dekapannya.
“Aku akan melepas bekapannya, Yang. Asal kamu berjanji tidak akan berteriak ataupun menjerit yang membuat orang-orang berdatangan,” ucapnya penuh peringatan.
Dia masih menyeret istrinya itu sambil mendekapnya dan menutup mulut sang istri. Saat merasakan sebuah anggukan, barulah dia melepaskannya pelan-pelan dan beralih mengangkat sang istri agar mereka cepat sampai ke rumah.
“Aku hanya ingin pergi. Lepaskan aku,” lirih Susan, yang tidak Chen dengarkan sama sekali.