Bab 13 Kebebasan yang Terenggut
Bab 13 Kebebasan yang Terenggut
Sampai di rumah, Chen langsung menguncinya di dalam kamar mereka. Susan sudah tidak tahu lagi, nasibnya akan seperti apa. Senang, sedih atau susahkah? Bahkan dia tidak tahu apakah dirinya akan tetap waras atau langsung terkena penyakit mental dalam 1 jam ke depan.
Telinganya berdengung menangkap suara Clarissa yang terus berbicara, mengabsen setiap kesalahannya di luar sana. Tapi Susan sudah tak peduli lagi. Perempuan itu hanya duduk merosot di balik pintu kamarnya.
Tangannya yang kebas efek dari memukul-mukul pintu mengepal kuat, sekuat rasa sakit hatinya. Susan menyembunyikan wajahnya di atas lutut, menyesali perbuatannya tadi karena gagal melarikan diri.
Kepalanya yang sudah menyandar di pintu, dia benturkan sedikit keras ke pintu tersebut berharap Chen mendengarnya dan mau segera membukakan pintu kamar untuk Susan. Matanya yang sembab, bergerak liar melihat ke sekeliling kamar berharap menemukan celah untuk melarikan dirinya sekali lagi.
Namun naas tidak ada jendela yang bisa dia lewati. Semuanya menggunakan terali besi berbentuk sedemikian rupa, memenjarakannya bersama kemelut yang memenuhi hati dan pikirannya.
Kepala yang pusing, perut yang sakit karena tidak sempat diisi apa pun dan keadaannya yang begitu kacau, membuat Susan tak dapat berpikir dengan jernih lagi. Dia hanya mampu menangis sesenggukan dan berdoa pada Tuhan, agar segera membangunkannya dari mimpi buruk ini.
Sedikit demi sedikit ia mulai merasakan penyesalannya, karena berani menutup telinga dengan apa yang dibicarakan sang ibu waktu itu. Benaknya yang sesak mulai berandai-andai mengandaikan jika saja waktu itu dia tidak keras kepala dan mau mendengarkan ucapan ibunya, mungkin saja hari ini dia masih bisa mengumbar tawa di biliknya sambil mendengarkan musik yang dia putar melalui gawai.
Bukannya dikurung dan berbalut lara seperti ini. Batinnya terus berandai-andai, mengandaikan kemustahilan yang pastinya tidak akan terwujud. Di balik pintu, tempatnya di ruangan yang biasanya dipakai Chen dan Susan untuk melakukan quality time yang akhir-akhir ini jarang sekali terjadi, sepasang anak manusia yang memiliki beberapa kesamaan dengan orang tua keduanya tengah beradu ucapan satu sama lain.
“Untuk apa kamu kemari, Clarissa?” Chen bertanya sambil menyugar rambutnya dan duduk di kursi.
Adiknya sedikit mendelik lantaran mendapat respons yang tidak diharapkannya. “Harusnya you itu berterima kasih, pada I. Telat sedikit saja, mungkin penghangat ranjang you itu bisa saja pergi dan mencari ranjang yang lain,” ucapnya merendahkan Susan dengan blak-blakan.
“Jaga ucapanmu! Susan istriku!”
Clarissa mendecih tak suka dengan perkataan kakak laki-lakinya itu. Sudah untung dia masih mau membantu keuangan kakaknya, tapi apa? Chen malah bersikap seperti ini padanya.
Matanya yang tajam berbalut lensa berwarna coklat mencoba mengintimidasi kakaknya itu. Jika sang ibu masih bisa berlaku baik setelah apa yang dilakukan kakaknya, tidak dengan Clarissa yang benar-benar keras terhadap kesalahan sedikit apa pun.
Perempuan itu merogoh tas jinjingnya yang setia setiap saat. Dia mengeluarkan sebuah map berwarna merah dari sana dan meletakkannya di atas meja. “Kembali ke perusahaan, jika masih ingin hidup dengan baik.” Clarissa berkata tegas pada kakaknya itu.
Chen langsung memberikan tatapan malasnya sambil menatap tak minat pada map tersebut. Dia benar-benar tidak suka dengan apa pun yang ada di sana. Pekerjaan, kepusingannya dan hal-hal yang menurutnya tidak perlu. Kakinya benar-benar berat jika harus ikut berkontribusi dengan textile industry yang keluarganya miliki. Jika uang masih terus masuk ke rekeningnya, untuk apa repot-repot membuat diri sendiri stress.
“Sudah?” tanyanya pada sang adik.
Clarissa melipat tangannya. “Ingat, sekarang bukan waktunya lagi kita merengek meminta uang pada Mami, Papi. Dan aku pun yakin, cepat atau lambat Mami akan menghentikan gelontoran dananya pada rekeningmu.”
“Ya. Sudahkan? Aku harus menyiapkan makanan untuk istriku dulu. Jangan lupa tutup pintu dan gerbangnya saat keluar nanti,” Chen menanggapinya dengan santai tanpa perlu repot-repot memikirkan ucapan adiknya.
Dengan jengkel Clarissa langsung keluar dari rumah kakaknya itu. Dia membanting pintu rumah dan pintu pagar dengan keras, hingga beberapa orang yang tengah sibuk di pekarangan mereka menjulurkan leher ingin tahu apa yang terjadi.
Chen membuang napasnya lelah. Ibu jari dan empat sisanya memijat kening frustrasi. Sedari tadi kepalanya terasa pusing dan berat karena kedatangan sang adik, belum lagi Susan kembali berulah yang sukses membuat kepalanya semakin menjadi pening.
Dia melipir menuju dapurnya dan membuka kulkas, melihat-lihat apa yang bisa dia olah untuk sarapan keduanya. Saat tiba di wastafel, Chen menyalakan keran air dan membasuh wajahnya asal di sana.
Sambil mengiris bawang, bibirnya menyunggingkan senyum saat Susan tak lagi berteriak di dalam kamar mereka. Selama memasak, laki-laki itu mengembangkan bibirnya memasak sepenuh hati untuk sang istri tercinta.
Di balik pintu kamar berwarna putih dengan sedikit ukiran klasik, Susan meringkuk bak bayi yang tengah berlindung di dalam perut sang ibu. Punggungnya menghadap ke arah pintu tak mau langsung bersitatap jika Chen membukakan pintu nanti. Air matanya masih berurai tak mau berhenti walaupun suaranya tak terdengar sama sekali.
Saat suara kunci terbuka masuk ke dalam gendang telinganya, Susan tak mau meliriknya sama sekali. Dia malah semakin mengeratkan genggamannya di sarung bantal. Lalu ketika pintu benar-benar terbuka dan suara langkah kaki terdengar mendekat, entah kenapa Susan malah merasa ketakutan karenanya.
“Yang, kita makan dulu. Aku sudah menyiapkan ini untukmu.”
Benar-benar seperti tidak terjadi apa pun. Chen berlaku biasa saja setelah apa yang dilakukannya, sama seperti dulu. Susan tak mau mengeluarkan suaranya, dia memilih diam dan menelan ludahnya sendiri untuk membasahi kerongkongannya.
“Yang, makan. Jika tidak, kamu akan sakit nantinya.” Chen masih bicara selembut salju pada Susan yang membelakanginya. Dia menaruh nampan berisi makanan yang dia masak, di atas ranjang mereka.
Kasur yang tadinya terasa melesak kini kembali seperti semula, karena Chen bangkit dari sana dan memutari ranjangnya agar bisa melihat wajah perempuannya. “Yang,” panggilnya sedikit lirih berharap bisa mendapatkan fokus sang istri.
“Makan ya?”
Susan menatap kosong ke depannya dengan air mata yang terus-menerus luruh tanpa diminta. “Aku ingin cerai,” bisiknya hampir tak terdengar sama sekali.
Tangan Chen mengepal kuat dan hampir saja melayang pada Susan. Dia bangkit dan memukul tembok terdekat dari tempatnya sambil berteriak nyaring, setelah itu dia mengambil napas panjang dan kembali pada Susan.
“Dengar, tidak ada perceraian di keluargaku. Jadi anggap saja kamu tidak berbicara apa pun. Sekarang makan apa yang sudah aku buat sebelum aku melukai kamu lagi. Paham!” ucapnya penuh peringatan. Dia memberikan kecupan singkat di pelipis Susan lalu pergi meninggalkan kamar tersebut.
Lagi, perempuan itu kembali menangis merutuki pernikahannya yang benar-benar di luar jalur. Susan bangkit setelah mendengar suara mobil Chen meninggalkan rumah mereka.Walaupun tahu pintu kamar dikunci dari luar, dia tetap saja mencoba membukanya berharap ada keajaiban yang terjadi.
Tahu apa yang dilakukannya sia-sia, Susan kembali ke ranjang dan menatap nampan yang dibawakan oleh Chen. Mungkin, jika suasananya tidak seperti saat ini bisa saja Susan merasa berbunga dengan keromantisan suaminya itu.
Tapi setelah apa yang dia dapatkan di pernikahannya yang belum genap menginjak setengah tahun pun, Susan tidak merasakan apa-apa yang dibuatnya. Dia hanya meminum air putih yang ada di nampan tersebut, sebelum kemudian kembali meringkuk di ranjangnya.
Ponsel dan uangnya, sudah Chen ambil semua. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Berteriak? Bahkan Susan mulai sangsi jika perumahan tempatnya bernaung memiliki tetangga yang peka dan mau menolong.
Fisiknya terasa sangat lelah walaupun dia tidak melakukan apa-apa, selain aksinya pagi hari tadi yang gagal total.“Mamak, aku ingin meminta maaf,” Susan bergumam lirih sebelum kemudian terjatuh tidur.
Dalam tidurnya pun dia terlihat sangat tidak tenang. Air mata terus mengalir kendati bukan keinginannya. Chen yang sudah pulang dari membeli sebuah rantai besi yang cukup panjang, menyaksikan itu semua. Awalnya dia melunak melihat sang istri yang seperti itu, tapi saat melihat makanannya tidak tersentuh sama sekali, hatinya kembali terbakar. Chen merasa jika Susan tidak bisa menghargai apa yang dia buat dengan susah payah.
Dia membanting nampan tersebut hingga Susan terperanjat dari tidurnya. Semua makanan dan pecahan piring bersatu berserakan di lantai kamar. “Kenapa kamu tidak memakannya?! Aku sudah memperingatkanmu, Susan!”
Barulah Susan mulai menciut ketakutan dengan tatapan suaminya itu. Dan saat dia melihat rantai di atas ranjang, pikirannya mulai menjalar kemana-mana.
“Sudah aku beri kesempatan, memperlakukanmu sebagai mana mestinya. Tapi kamu seperti lebih suka diperlakukan bak hewan olehku.”
Susan menggelengkan kepalanya, dia sudah bersiap untuk bangkit dan lari lagi sebelum Chen menangkapnya dan merantai kedua tangannya yang laki-laki itu ikatkan ke ranjang mereka.
“Kamu tidak bisa memperlakukan aku seperti ini, Chen!” raung Susan penuh amarah.
“Tentu aku bisa,” jawabnya penuh intimidasi.
*Bersambung*