Bab 11 Toxicrelationship
Bab 11 Toxicrelationship
Mata itu menatapnya dengan curiga. “Apa yang sedang kamu lakukan?” Sekali lagi Chen bertanya pada istrinya itu.
“Bukannya kamu sudah melihat, aku sedang memainkan ponsel? Kenapa harus bertanya lagi?”
Kini mata Chen jatuh kearah meja yang asbaknya terisi abu rokok. Seingatnya saat dia pergi tadi, tempat abu rokok itu masih kosong dan sepengetahuannya Susan juga tidak menghisap batang nikotin tersebut. “Kamu merokok?”
Susan langsung menatap kearah asbak di atas meja. Ada sekitar dua puntung rokok beserta abunya yang sedikit berceceran di meja tersebut.
“Kamu merokok, Susan?!”
Perempuan itu membuang napasnya lelah, menahan emosinya agar tidak hilang kontrol dan merugikan lagi dirinya sendiri. “Bukan aku.”
“Lalu siapa?! Hantu?! Jawab aku, bekas siapa itu?” tanyanya sambil berteriak marah.
Lipatan dikening Susan muncul, ada apa dengan suaminya itu.Kenapa sedikit-sedikit nada bicaranya selalu menaik seperti sekarang. Bahkan menurutnya abu rokok yang mengisi asbak, bukanlah suatu hal yang patut untuk diributkan seperti saat ini.
“Kamu itu kenapa sih, Ko? Hal-hal sepele seperti ini saja kamu ributkan,” Susan menjawabnya dengan tenang dan lembut. Benar-benar melakukannya dengan penuh antisipasi dengan apa yang dia ucapkan, agar tidak memancing keributan yang semakin besar.
“Bahkan aku sampai bingung, kamu itu Chen suamiku atau bukan? Aku benar-benar tidak mengenalkamu sama sekali,”lanjutnya dengan lirih.
“Jawab aku! Ini bekas siapa?! Apa susahnya tinggal menjawab?! Tidak perlu mengalihkan pembicaraan!” serunya lagi sambil mencengkeram kuat lengan atas istrinya.
Susan meringis kesakitan. Sekarang apa? Setelahmelukai psikisnya, apa dia juga akan melukai fisiknya?
“Jawab pertanyaan ku!”
“Ko, kamu tidak perlu berteriak seperti itu. Apa kamu tidak malu dengan tetangga yang lain?” Susan masih berusaha menenangkan sang suamidi tengah kesakitan yang dia rasakan.
“Aku bilang jangan mengalihkan pembicaraan!” serunya tepat di depan muka Susan, membuat perempuan itu mau tak mau menutup kelopak matanya sambil mengkeret. “Oh ... jangan-jangan, selama ini kamu main belakang bersama laki-laki lain dan menyuruhnya datang kemari untuk menjamah tubuhmu! Benarkan?!”
Plak!
Telinganya langsung berdengung saat telapak tangan Chen mendarat dengan keras di pipinya, memberikan sebuah hadiah sempurna untuk fisik dan batinnya. Susan mendapatkan doublekill.
“Sekali murahan tetap saja murahan. Tidak bisa dinaikkan kastanya.” Lanjut Chen dengan nada yang merendahkan Susan.
Susan masih mematung, dengan rambut yang menutupi wajahnya. Perempuan itu tak menyangka jika Chen akan bertindak sekadar saat ini. Seumur-umur, tidak ada yang berani menampar Susan. Entah ibu, bapak, ataupun abangnya. Tidak satu pun.
Tapi hari ini, laki-laki yang berani mengucap sumpah di hadapan Tuhan untuk menjaga dan membimbingnya, sampai hati memberikan sebuah tamparan keras tanpa mendengar penjelasannya terlebih dahulu.
Dengan bibirnya yang robek dan pipinya yang merah karena cap tangan sang suami, Susan menatap nyalang pada suaminya itu. “Aku bilang itu bukan aku!” jeritnya dengan tangan mengepal menahan sesak. “Kamu benar-benar tidak percaya padaku?! Kapan aku pernah bohong pada kamu, hah? Kapan?!” raungnya dicampuri isak tangisnya yang memilukan.
“Itu bekas abangku! Bukan aku yang merokok!” Susan menangis sambil menatap laki-laki yang menjabat sebagai suaminya itu.
Raungan Susan benar-benar keras dan menyiratkan kesakitannya yang tak tertahankan. Saking tidak kuat lagi menahan gejolaknya untuk menangis, dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Susan mencoba meredam semua emosiyang dia pendam sendiri. Percuma, belajar dari yang sudah-sudah saja. Sekeras apa pun dia menjelaskannya kepada suaminya, laki-laki itu tidak akan percaya dan tidak mau mendengarkannya. Susan sudah pasrah jika Chen akan memperlakukannya seperti tempo hari. Dia sudah tidak peduli jika laki-laki itu mau menyerang psikisnya lagi. Terlanjur basah, Susan memilih mencebur sekalian.
Chen masih berdiri kokoh di depannya. Memandang sang istri dengan sorot matanya yang tajam. Dia masih tidak percaya dengan apa yang diucapkan istrinya itu. Dia kembali menarik lengan Susan untuk lebih dekat dengannya, lalu membauinya. Mengecek, apa perempuannya itu benar-benar merokok atau tidak.
“Jangan membuat drama murahan yang sama murahnya denganmu! Mau kamu meraung-raung sampai berdarah pun aku tidak akan percaya dengan apa yang kamu ucapkan! Sekarang mengaku saja sebelum emosiku tambah terbakar karena memiliki istri seperti kamu!”
Batin Susan tertawa miris mendengar ucapan suaminya itu. “Aku sudah jujur! Apa yang aku ucapkan tadi, tidak ada yang aku tutup-tutupi. Aku harus bagaimana lagi supaya kamu percaya?”
Masih terasa panas dan perih di bibirnya, tapi Susan memaksakan dirinya sendiri untuk mengeluarkan apa yang ingin Chen dengar.
“Susan, aku benar-benar tidak tahan lagi. Jika kamu terus-terusan berbohong, kamu hanya akan menambah kesakitanmu. Sekali lagi, aku tanya. Siapa. Yang. Merokok?”
Susan semakin menangis, saking bingungnya. Apa lagi yang harus dia katakan. Tidak mungkin dia menelepon kakaknya hanya untuk bersaksi untuk hal yang tak patut dia tunjukkan dimuka umum. “Aku sudah katakan. Itu. Bekas. Abangku. Kenapa kamu masih tidak percaya, hah?!” gusarnya penuh keputusasaan. “Bukankah, kamu sendiri sudah membuktikannya? Apa dari badanku tercium asap tembakau? Tidak bukan. Kenapa kamu selalu tidak percaya padaku? Oh! Apa mungkin karena kamu selalu berbohong padaku dan kamu berpikir aku juga melakukan hal yang sama sepertimu? Iya kan?!”
Susan sukses menggali kuburnya sendiri kali ini. Terbukti dengan mata Chen yang langsung melotot padanya.
“Apa maksudmu?! Kamu menuduh aku yang pergi pagi dan pulang malam untuk menyambung hidupmu itu, hanya sebuah lelucon?!”
Perempuan itu berdecih, mendapatkan respons seheboh itu. “Aku tidak mengatakannya! Bahkan aku tidak mengatakan kebohongan apa yang kamu perbuat! Tapi responsmu yang seperti ini semakin meyakinkanku jika di sini, kamulah yang sering berbohong dan takut aku balik membohongi kamu!” balas Susan dengan napas yang terengah.
“Kamu! Benar-benar istri tidak tahu malu! Aku berikan yang terbaik dan responsmu seperti ini?! Kamu memang pantas untuk diberi pelajaran!”
Susan sudah siap dengan apa yang akan dilakukan oleh Chen padanya. Jika Chen menuduhnya tanpa bukti yang berarti, berbeda dengan Susan yang memiliki bukti nyatanya. Apa setiap orang yang bekerja akan pulang dalam keadaan mabuk dengan bau alkohol yang menyengat? Apa ada pekerjaan yang masuknya dari pagi hingga larut malam? Dua hal itu saja sudah menjadi bukti jika Chen benar-benar tidak melakukan apa yang dikatakannya. Entah apa yang dilakukannya selama di luar sana.
Lagi-lagi Susan tersentak saat Chen menariknya kearah wastafel tempatnya mencuci piring. Jantungnya sudah tidak karuan, menunggu apa yang akan laki-laki itu berikan padanya.
Chen ingin memberikan sebuah pelajaran agar sang istri bisa kembali menurut, disiplin dan tidak banyak melawannya seperti saat ini. Laki-laki itu mencengkeram erat tangan Susan, menahannya agar dia tidak lari. Dengan satu tangan yang bebas, dia mengambil apa pun yang bisa menutupi lubang pembuangan airnya. Lalu menyalakan kerannya itu dengan full, hingga airnya memantul kemana-mana.
“Lepaskan aku Ko!” Susan tahu apa yang akan dilakukan suaminya. Dengan sekuat tenaga, dia melepaskan tangannya dari cengkeraman Chen dan berlari ke arah kamarnya. Berharap bisa bersembunyi dari Chen yang emosinya tengah terbakar.
Tapi siapa sangka, Chen menarik rambutnya hingga dia terjengkang ke belakang. “Ko! Sakit! Lepaskan aku!”
“Kamu benar-benar menghabiskan kesabaranku, Susan! Kamu harus kembali dididik agar kembali bersikap sopan pada suamimu ini.”
Kondisinya sangat mengerikan. Rambut acak-acakan, pipi bengkak dan bibir sobek. Siapa pun akan tahu jika Susan mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Matanya memandang penuh permohonan pada Chen agar jangan melakukan apa yang akan dia lakukan padanya.
Sekali tekanan, Chen langsung menenggelamkan kepalanya ke dalam bak yang sudah setengah terisi. Susan merasakan saat permukaan wajahnya bertemu dengan permukaan wastafel. Dia berpegang pada pinggir-pinggir nya, berharap bisa melawan kekuatan dari tekanan yang suaminya itu berikan.
Saat napasnya sudah hampir habis, Chen mengangkatnya ke atas. “Dengar, aku tidak suka wanita yang membantah apa yang aku ucapkan.”
Susan mendengarnya samar-samar dan berusaha melepaskan dirinya dengan menyingkirkan tangan sang suami. “Chen! Kamu gila!”
“Kamu berani menyebut nama ku?! Rasakan ini!”
Kembali kepalanya ditenggelamkan ke dalam wastafel sebelum dia mengambil napasnya. Jika seperti ini, urusannya ... mungkin Susan bisa mati ditangan suaminya sendiri. Dia sudah tidak tahan lagi, tubuhnya terasa lemas dan hidung juga tenggorokannya terasa perih karena menghisap air. Tanpa direncanakannya, tubuh Susan langsung lunglai terjatuh begitu saja.
“Apa yang kamu lakukan? Kamu pikir aku akan percaya?”
Susan masih mendengar itu tapi dia tidak memiliki kekuatan lagi untuk membalas perkataan Chen. Dia juga mendengar bunyi ponselnya dan langkah kaki Chen yang menjauh dan kembali mendekat.
Samar-samar, sebelum kesadarannya benar-benar terenggut ... Susan mendengar sang suami menyebut-nyebut nama kakaknya juga dirinya, sebelum kemudian hening dan tak terdengar apapun lagi.