Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 10 Saudara Laki-laki

Bab 10 Saudara Laki-laki

Setelah kejadian tersebut, tidak terdengar lagi gelak tawa yang menghiasi pagi mereka. Tidak ada lagi jeritan manja yang selalu terdengar saat Susan membangunkan suaminya. Semuanya terasa lebih sulit, abu-abu dan kelabu bagi rumah tangganya.

Bahkan interaksi mereka semakin mendingin saat Susan belum juga mendengar perkataan maaf dari suaminya itu. Chen seperti laki-laki yang hilang ingatan. Dia berlaku biasa saja setelah memperlakukan Susan begitu tidak bermoral-nya, sebagai seorang istri. Susan pun enggan membahasnya, dia tidak mau kejadian seperti tempo hari terulang kembali.

Jika suaminya itu masih tidak meminta maaf, Susan akan terus bersikap acuh terhadapnya. Dan andaikan laki-laki itu menyadari kesalahannya, Susan hanya akan menerima permintaan maafnya. Semudah itu.

Yang sedikit melegakan hatinya adalah...ya, Chen jadi jarang ada di rumah setelahnya. Laki-laki itu selalu pergi dengan mobilnya di siang hari dan pulang saat sudah larut dan terkadang memberikan uang sebelum mereka menjemput mimpi.

Dengan berada di ruangan yang berbeda dengan Chen pun, sudah mampu memberikan ketenangan untuk psikisnya. Apalagi ini, saat laki-laki itu memilih pergi sendiri dan tidak pulang berjam-jam lamanya. Dengan senang hati Susan mengendurkan pertahanannya dan sedikit bersantai sambil membenahi rumah mereka.

Suara berisik dari dua besi yang beradu membuat Susan menghentikan pekerjaannya. Telinganya terpasang apik, memastikan itu berasal dari gerbang rumah mereka.

“Permisi!”

Seruan itu terdengar samar-samar, tapi dia yakin orang di luar sana memang seorang tamu yang memiliki niat berkunjung ke rumahnya. Dengan terburu-buru, dia langsung pergi ke luar untuk memeriksa siapa gerangan yang bertamu. Jika itu salah satu keluarga besar sang suami, mereka tidak akan menunggu di balik gerbang melainkan langsung masuk dan menunggu di balik pintu masuk rumah tempatnya berteduh.

Saat matanya menangkap sosok laki-laki dewasa di balik gerbang, Susan langsung berlari dan membukakan gerbang tersebut agar orang itu bisa masuk. “Kak Ardi!”

Dia adalah sosok kakak laki-lakinya yang lebih dulu merantau ke Ibukota. Dengan mata yang haru membiru, Susan mengajak kakaknya itu masuk ke dalam rumah dan menyuguhkan minuman terbaik untuk kakaknya itu.

“Bagus, ya...kamu menikah tanpa memberitahuku! Meninggalkan Mamak sendirian di rumah, tanpa berpamitan. Memang anak yang luar biasa kau ini.”

Susan menunduk, mendengar cercaan penuh kasih sayang itu. Dia mengerti dengan apa yang diperbuatnya, jadi dia tidak berani melawan sama sekali.

“Jika bukan Mamak yang memberitahuku, mana tahu aku kamu sudah menikah dan ada ditempat yang dekat denganku,” Ardi menggeleng-gelengkan kepalanya, sebagai respons untuk kelakuan adiknya itu. “Sekarang, mana suamimu itu? Aku ingin melihatnya.”

“Dia sedang bekerja, Kak. Pulangnya saat hari sudah larut.” Tidak mungkin Susan memberitahukan keburukan yang suaminya miliki pada sang kakak. Apa bagusnya jika dia langsung mengadu? Yang ada Ardi akan menghadiahkan sebuah pukulan bertubi-tubi untuk suaminya.

Mata Ardi terlihat menilik keadaan adiknya. Memastikan dia baik-baik saja. “Dasar pengantin baru, meninggalkan jejak bukannya di tempat-tempat tersembunyi. Ini memilih tempat terbuka seperti itu.”

Susan langsung menutup lehernya. Diingatkan seperti itu, hatinya mulai bergetar ingin mengadukan apa yang dilaluinya akhir-akhir ini. Tapi dia lagi-lagi mengenakan topengnya dengan apik di hadapan sang kakak. Senyumnya yang manis dan menawan, yang menjadi alasan Chen mengamuk tempo hari, terpampang jelas di wajahnya.

“Kakak seperti tidak tahu saja bagaimana pengantin baru,” ucapnya malu-malu dengan wajah yang bersemu.

Ardi berdecak karena tidak melihat raut penyesalan dari wajah adiknya itu. “Jadi kamu bahagia setelah meninggalkan Mamak dan kawin lari dengan suamimu itu?”

Awalnya ya, tapi sekarang sedikit berbeda rasanya. “Tentu Kak.”

Ardi mengangguk percaya dengan jawaban singkat tersebut. Tidak tahu jika Susan tengah memendam lukanya yang masih basah. “Kenapa tidak menghubungi mamak selama kamu pergi? Mamak benar-benar kelimpungan mencari-cari kau. Sampai aku pun harus ikut turun tangan.”

Matanya sedikit berkaca-kaca sebelum dia menarik napasnya dan menjawab, “Maaf Kak, bukan maksudku berlaku seperti ini. Jujur saja, aku tidak mau membuat mamak kecewa. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Aku bisa apa.”

“Benar. Nasi yang sudah menjadi bubur, tidak bisa kembali menjadi beras. Tapi bukan berarti kamu tidak bisa memperbaiki hubunganmu dengan Mamak. Sebesar apa pun kesalahan yang kau buat, Mamak pasti menerima maafmu.”

Air matanya langsung meluncur begitu saja setelah mendengar ucapan kakaknya itu. Ibunya memang akan memaafkan kelakuannya yang minus itu, tapi Susan masih terlalu malu sekedar menyapa 'hai’.

“Ingat dosa kan kau? Menangis seperti itu,” ucapnya sengaja, agar Susan tertawa. Tapi dia malah melihat air mata itu semakin deras dari pelupuk mata sang adik. Kontan saja Ardi membawa adiknya itu ke dalam pelukannya.

Mungkin jika Chen melihatnya, entah apalagi yang akan laki-laki itu perbuat pada perempuan yang baru menjabat sekitar dua bulan sebagai istrinya itu.

Susan menangis ingat dengan perkataan ibunya, juga apa yang didapatnya dari suaminya. Rasa sesak yang menumpuk di dadanya sedikit tersalurkan berkata dekapan Ardi yang pengertian. Dia hanya mampu menangis tanpa mengucapkan sepatah katapun dari bibirnya.

“Sudah, sudah. Pilihan itu bukan untuk disesali, tapi untuk direnungi. Jika buruk, maka perbaikilah. Jika bagus, tinggal lanjutkan saja,” hiburnya, yang hanya tahu jika Susan merasa bersalah karena perilakunya terhadap sang ibu.

Baru kali ini Susan merasa tangisnya bisa sepecah sekarang. Masih dengan sesenggukan yang dia coba hentikan, Susan mengucapkan terima kasih pada kakaknya itu.

“Bagi nomor barumu, biar Kakak mudah menghubungi nantinya.”

“Tapi jangan beritahu mamak dulu, ya, Kak,” Susan meminta pengertian sang kakak agar jangan buru-buru memintanya menghubungi ibunya itu.

“Dasar. Enak memangnya merasa bersalah berkelanjutan seperti itu?”

Susan hanya mampu memberikan cebikkan pada sang kakak dan tetap memberikan nomor ponselnya yang baru pada Ardi.

“Sekali-kali, mainlah ke rumah sanak saudara kita yang dekat dengan kompleks ini. Jangan terus menunggui rumahmu. Memang ada apa di rumah ini? Berlian? Emas? Atau apa?” gurau Ardi, memberikan sedikit hiburan untuk adiknya.

Butuh waktu cukup lama untuk Ardi menemukan keberadaan Susan yang ternyata tinggal di kompleks yang berdekatan dengan salah satu keluarganya. Itu pun karena dia tidak sengaja mendengar obrolan tukang sayur yang membicarakan perihal pasutri yang sedang hangat-hangatnya, saat dia menginap di rumah sang tante. Kebetulan yang sangat-sangat jarang terjadi bukan.

“Kakak harus segera pulang. Ada pekerjaan yang menunggu.” Laki-laki itu merogoh saku celananya, dan mengeluarkan dompetnya. “Ambil. Hitung-hitung uang selamat untuk pernikahan mu. Nanti Kakak main lagi ke sini untuk melihat suamimu itu.”

Susan menerima uang itu dengan lapang dada. Lumayan untuk simpanannya. “Hati-hati, kalau begitu Kak. Jangan lupa kabari aku.”

Dengan berat, dia mengantarkan kakaknya itu keluar dari rumahnya. Dia tidak masuk ke dalam rumahnya, sebelum Ardi benar-benar hilang dari pandangannya.

Setelah menutup pintu gerbang, Susan langsung masuk ke dalam rumah. Dia duduk tercenung setelahnya. Di hadapannya ada ponsel yang menunjukkan nomor sang ibu yang dia tinggalkan untuk hidup bersama Chen. Susan benar-benar ingin mendengar suaranya walaupun hanya cacian yang dia terima, tidak apa. Asal itu suara sang ibu, itu saja sudah cukup rasanya. Tapi nyalinya terlalu ciut untuk sekedar menekan tombol bergambar gagang telepon di layar ponselnya.

Dia hanya bisa melamun dan membuang napasnya secara kasar berulang-ulang. Berharap dengan begitu keberaniannya akan segera terkumpul. Sekian menit merenung, akhirnya dia menekan gambar tersebut. Dengan telinga yang menempel ke arah speaker. Tapi, baru di dering kedua, tangannya langsung menekan tombol merah, mematikan sambungan tersebut. Dia belum siap untuk mengakui dosanya dan meminta maaf pada sang ibu. Hanya itu saja. Tapi di relung hatinya yang paling dalam, Susan benar-benar ingin memperbaiki hubungannya dengan sang ibu agar dia bisa berbagi keluh kesah seperti dulu lagi.

“Apa yang sedang kamu lakukan, Yang? Aku pulang pun sepertinya kamu tidak menyadarinya.” Suara Chen yang tiba-tiba saja masuk terdengar ke dalam telinganya, membuat Susan terlonjak kaget. Sejak kapan dia sudah ada di sana? Di belakangnya sambil memain-mainkan kunci mobilnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel