Bab 6
Mungkin karena, hadirnya sekelebat ingatan ini?
"Saya mau Old Blush China. Masih kurang jelas?" Pria di hadapan Mona bicara dengan nada yang terlampau ditekan.
Situ kali yang kagak jelas, dumel Mona dalam hati.
Lagian, beneran nggak habis pikir deh kenapa coba ada spesies customer seperti dia ini? Padahal, Jesika sudah menjelaskan duduk perkaranya secara runut lho. Apa ini orang nggak gablek televisi di rumahnya? Nggak pernah baca berita temfo, menit.com, atau ekabun di ponselnya? Udah dibilang, situasinya lagi nggak memungkinkan untuk mendatangkan kembang yang dia mau itu secara instan, masih aja ngeyel, pengen langsung ada besok. Dikata modal simsalabim doang bisa muncul tuh bunga? Heran!
Tapi, serius deh rasanya, masalah emang udah kayak camilan sih dalam kehidupan Mona semenjak dia mendirikan La-Mona. Dia bahkan nggak tahu kapan kiranya terakhir kali hangout. Oh, sialan! Apa sekarang waktu yang tepat buat mikirin soal jalan-jalan, Wahai Ramona? Come on, carilah ide dan segera tunjukan skill adu bacot Yang Maha Agung itu!
Oke, tips pertama dan paling utama dalam menangani keluhan yang paling manjur bin mujarab untuk segala bangsa customer bagi Mona, nggak lain adalah dengarkan saja lalu, mintalah maaf!
Maka, dengan melebarkan senyum ala iklan pasta gigi andalannya Mona berkata sarat akan empati, "Sungguh, saya mohon maaf juga pengertian dari Bapak. Karena, situasinya sekarang sedang sangat tidak memungkinkan, Pak bagi kami untuk mendapatkan Parson's Pink seperti yang Bapak inginkan. Butuh waktu yang sedikit lebih banyak dari normalnya. Tapi, jika Bapak memang perlu cepat, jika Bapak berkenan, saya sih merekomendasikan rose pink Vietnam, Pak. Itu nggak kalah cantik.
"Atau, bisa juga Perle d'Or, itu cukup mirip sih dengan Old Blush China cuma beda di warnanya saja yang lebih ke creamy amber, kekuningan gitu, tapi tetap ada hint pink-nya kok. Jadi, gimana, Pak apakah ber—"
"Tapi, itu beda!" gunting Si Pria nggak terima.
"Iya, saya tahu."
"Seharunya, La-Mona bisa lebih profesional lah dalam mengurus hal semacam ini!" Please, sudah berapa kali kata profesional muncul seharian ini?
Mona kontan secepat kilat menahan bibit-bibit geraman yang mulai bergejolak. "Kami selalu semaksimal mungkin bersikap profesional dalam mengurus setiap halnya, Pak."
"Tapi, ngurus orderan saya tidak tuh!" timpalnya sekali lagi, masih saja ngotot serta membuat Mona diam-diam napsu ingin melempar tampang ngeselinnya itu menggunakan pot berisi Pakis Boston di sudut ruangan.
Namun, tentu itu nggak mungkin, jadi, Mona hanya menghela napasnya samar kemudian berujar, "Kami sudah menghubungi Bapak kemarin. Sudah mengirim pesan juga bahwa Old Blush China sedang tidak tersedia, tapi bapak tidak mengangkat panggilan La-Mona pun membalas."
Mona memandang lurus-lurus lelaki yang mengenakan setelan kemeja rapi tersebut. Meski demikian, toh, tampilan rapinya itu sama sekali nggak sanggup menutupi penampakkan lingkaran matanya yang menghitam. Oke, apa pun pekerjaan atau aktivitas yang orang itu geluti agaknya benar-benar membuatnya terlihat begitu lelah.
"Dan," Mona menyambung, kali ini menggunakan intonasi yang jauh lebih terukur sebab, ya kasianlah lawannya kayak capek banget gitu. "Kalau memang Bapak keberatan dengan apa yang bisa kami tawarkan. Kami akan melakukan refund atas pembayaran Bapak."
"Refund? Enak banget Anda ngomong!" Pria itu menatap sekeliling sambil tertawa sumbang. Wajah yang tadi Mona tangkap kuyu entah telah sukses raib ke mana. "Oh, God! Saya harus ngomong apa lagi yah sama kalian?! Ini tuh masuk ke dalam daftar rencana kejutan yang akan saya berikan untuk pacar saya. Terus, Indah, dia bisa dengan mudahnya membedakan mana itu Old Blush China beneran atau yang hanya sekadar mirip doang! Anda ini harusnya mikir dong! Bunga itu bakal saya pakai buat melamar pacar saya, ya kali gara-gara ketidakbecusan Anda ini saya mesti membatalkan acara saya?!"
"Well ...," Mona menggumam, kehilangan kata-kata. Nggak salah yah? Bukannya wajibnya dia yang mikir? Kenapa malah jadi Mona yang harus mikirin segala itu acara lamarannya? Mau batal atau nggak, ya derita dia lah! Siapa suruh nggak pesan dari berbulan-bulan sebelumnya? Siapa suruh dia ngelamarnya pas barengan sama merebaknya wabah corona?
"Dengar yah! Nggak ada refund-refund-an!" Pria itu menyilangkan lengan secara angkuh di dada. "Juga, masa bodo dengan Vietnam, Thailand, atau bahkan Karibia kek. Saya hanya butuh bunga dari China. Ngerti Anda?"
Please, just trying to deal with the situation, Mona!
Kembali memajang segaris senyum simpulnya, Mona lantas mengangkat dagunya tinggi saat berkata, "Baiklah. Mungkin ini opsi terakhir yang mampu kami tawarkan kepada Bapak. Kami ada Purple Chinese Rose, benar-benar berasal dari Guizhou, China, hanya saja bentuknya bonsai. Bapak bersedia?"
"Nggak cuma bibitnya doang kan? Betul-betul tumbuh di China kan?"
"Iya."
"Ya, sudahlah. Mau gimana lagi? Semoga saja Indah suka," ucap pria itu acuh nggak acuh.
Setelah meninggalkan sederet pesan yang harus dituliskan pada greeting cards pun sebuah kartu nama beridentitas, dr. Dimas Prasetyo, Sp.A(K). Pria itu langsung ngacir tanpa permisi, pun nggak sama sekali bilang makasih kek—karena, rencana lamarannya berhasil terselamatkan.
Sialan!
Serta, yang lebih sialannya lagi adalah sumpah, Mona nggak tau kalau Si Dimas bacoters itu ternyata berkantor di Amera Clinic—kemarin, waktu membaca identitasnya, dia nggak sempat kepo mengenai di mana gerangan orang itu praktek. Lagi, Amera ini kok ya bisa-bisanya menjadi penghasil manusia-manusia superngeselin sih? Udah ada Tiara lho, Dimas terus, masihkah ada yang lainnya nanti?
Mona mendecih sambil lantas bergegas memutar langkah agar nggak sampai bersinggungan dengan Dimas.
Iyalah, dia nggak boleh mencoreng semangat pagi harinya cuma buat papasan lalu, bertukar bacotan unfaedah dengan Si Dimas itu! Hih! Amit-amit!
***
Mona menyeka peluh yang membasahi kening. Diliriknya jam pada pergelangan tangan kiri. Proses antar kembang selesai dalam kurun waktu tiga puluh menit lebih empat puluh lima detikan, not bad lah.
Memandangi Udin di kejauhan yang tengah membereskan letak standing flower terakhir, Mona mendesah lega. Untunglah dia ke Amera—di luar penemuannya soal Dimas—sebenarnya Mona lumayan senang bisa berada di sana.
Menyaksikan segelintir anak-anak beralalu lalang dengan membawa setangkai bunga. Iya, mungkin sebagian dari mereka tengah sakit—ayolah, betapa pun cantik dekorasinya itu tetaplah klinik—tapi pagi ini, rasanya tampak lebih cerah sih sebab, ada senyum rekah yang terbit di masing-masing bibir mereka. Baik itu gara-gara mendapat bunga, melihat balon-balon bergelantungan atau konfeti yang berhamburan. Entahlah, tapi Mona suka.
Sayangnya, Mona harus menghentikan seluruh pegamatannya ketika, dilihatnya sesosok laki-laki berkemeja biru tiba-tiba hadir menghampirinya. Demi langit, bumi dan seluruh isinya, pria ini sangat worth it untuk dijadikan pendamping hidup, mungkin itulah yang bakal otomatis muncul dalam otak Mimi yang ganjen nan lebay.