Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4

"Halo, La-Mona Florist, dengan Nina. Ada yang bisa dibantu?" ucap Nina mengangkat panggilan telepon.

"Yes, I think, I have a problem with my order."

"Ah, baik saya mohon maaf Ibu atas kendalanya. Boleh saya tahu problem-nya tentang apa kira-kira, Bu?" Nina memandang ke arah layar komputer. Ia mulai rushing jika berhadapan dengan costumer komplain sebetulnya.

"Untuk nomor order A1978M."

Nina segera menggerakkan jarinya pada keyboard. "Oke, atas nama ibu Tiara, ordering tiga rangkaian bunga standing congratulations, tujuh bouquet lily dan lima box white rose flowers untuk Amera Clinic. Benar?"

"Iya benar, saya pesan dari tiga hari lalu. Dan, parahnya, barang yang datang ke klinik Amera hari ini, enggak sesuai dengan apa yang saya pesan!" semprotnya berang. "Ya, Tuhan! Florist macam apa sih kalian ini?! Bikin senewen aja! Acaranya dimulai besok dan ini tuh acara penting lho ya, Mbak! Kalian jangan main-main sama saya!"

"Maaf ibu Tiara, kita tidak pernah main-main dengan pelanggan," ujar Nina setenang mungkin.

"Kalau oke, kenapa order saya malah jadi seperti rumput dimakan ulat gini? Standing flowers saya lagi noh kayak abis kena angin topan! Reot! Tinggal tunggu roboh aja tuh di depan klinik!" cerocosan di seberang sana sudah bagai bunyi petasan renteng dalam telinga Nina. "Katanya, La-Mona flower shop paling oke se-Jakarta. Kok ya bisa ngirim barang yang kek sampah gini?!"

"Maaf, Bu Tiara ...." Nina mengambil tisu, kemudian mengusap setitik keringat yang jatuh tepat di pelipisnya.

"Saya punya bukti otentik lho ya, Mbak Nina, saya sudah bayar mahal untuk ini semua, tapi kejadian ini sungguh tidak menyenangkan bagi saya!"

"Maaf, Bu Tiara—"

"Kata maaf, nggak akan bikin masalah ini langsung selesai!"

"Saya mengerti perasaan Anda, Mbak Tiara hanya—"

"Ngerti aja nggak cukup untuk menghapus kekecewaan saya, Mbak Nina! Ingat yah, sekali klik aja saya bisa dengan gampangnya menentukan nasib La-Mona."

"Sekali lagi saya mohon maaf sebesar-besarnya, Bu Tiara untuk segala ketidaknyamanan yang terjadi. Kemudian, untuk menindak lanjuti hal ini, saya akan—"

"Saya ingin bertemu langsung dengan Atasan Anda sekarang!"

"Iya, Bu. Saya akan follow up secepatnya kepada Atasan saya, tapi—"

"Saya sudah berada di depan La-Mona dan saya mau ketemu dengan Atasan Anda. Titik."

Sambungan terputus begitu saja, Nina menyimpan gagang telepon bersama tarikan napas yang menderu. Entahlah. Suasana La-Mona mendadak gerah, Nina lalu segera mencari keberadaan Jesika perihal komplain yang berkelanjutan ini. Padahal, tadi sudah ada pria yang datang untuk bersilat lidah gara-gara nggak berhasil dapat old blush china, sekarang muncul lagi masalah yang bau-baunya sih lebih besar. Sial! Pasti Mona bakal mencak-mencak lagi!

***

"Ada-ada aja!" Mona mendaratkan kembali pantatnya di kursi kerja setelah menjalani lima belas menit perdebatan superalot.

"Why, Mon? Nggak bisa diberesin?" Denada yang sedang memangku Marlon bertanya was-was.

"Please, gue nih Ramona, Den. Sejak kapan emang ada masalah yang nggak bisa gue tumpas?" ujarnya sok sambil mulai membuka lembar demi lembar laporan penjualan hari-hari belakangan ini. "Lagian, ketimbang lamaran doang ngapain sih ribet banget tuh orang? Pake segala kepengen kembang dari China. Halah! Kembang mah pake apaan aja kali yang penting bukan kembang rafflesia arnoldii atau kembang pasir. Ribet dasar!"

"Bukan dia yang ribet, tapi elo, jomblo yang can't relate," tukas Denada yang sontak dipicingi Mona. "Lamaran tuh bukan sekadar 'cuma' keleus. Buat orang-orang yang udah ada pasangan, lamaran tuh ibarat pintu gerbang, jalan masuk menuju fase keseriusan hidup bermasadepan bersama the one. Jangankan nyiapin bunga dari China, duit semiliar juga dibelanjain, Mon buat ngelamar!" Denada berkhotbah. "Terus kalau urusan sama tuh klien lanacar, komuk lo kok tetep asem gitu?"

Mona memilih untuk nggak menjawab. Gimana dia bisa santai coba? Wong satu masalah beres eh, datang lagi ledakan bom berikutnya.

Ia menemukan laporan penjualan tiga hari lalu. Selama ini, Mona selalu berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi keinginan pelanggannya dan membuat mereka puas. Ia membaca tabel dengan saksama, melihat apa saja order yang dibuat untuk Amera Clinic dan cara orang-orangnya dalam menyelesaikannya, pun siapa-siapa saja yang bertanggung jawab atasnya.

Tadi, Jesika mengatakan bahwa standing flowers untuk Amera Clinic mengalami kerusakan di jalan. Mona tidak habis pikir kenapa semua jadi seperti ini? Semenjak tujuh tahun La-Mona berdiri, rasa-rasanya dia tidak pernah mendapat masalah yang beruntun seperti hari ini. Lagipula, bila sedari awal rangkaian bunga itu rusak, kenapa pihak driver tidak langsung memberitahunya? Kenapa malah tetap dikirim? Sial! Mana nominalnya nyaris mencapai angka sepuluh juta pula!

Sial. Sial. Sial.

"Jes, Ujang dan Udin mana?" Mona berbicara dalam telepon. Praktis mengabaikan Denada yang barusan justru berjalan masuk ke toilet.

"Ada di belakang, Mbak Mon lagi preparing buat same day delivery kayaknya."

"Suruh mereka menghadap saya!" tutup Mona final.

Beberapa menit kemudian, Mona menatap Ujang dan Udin sudah berada di ruangnnya dengan kepala menunduk.

"Kalian gimana sih? Standing flowers yang dikirim ke Klinik Amera semuanya berantakkan! Kok ya bisa?!" ucap Mona berang, ingin sekali mendaratkan Chinese Laundry miliknya ke wajah Ujang dan Udin.

"Maaf, Mbak Mon. Tadi Ujang dan Udin terjebak, ada bentrokan antara Aparat Gabungan dan PKL yang lagi ditertibkan, eh taunya ada tukang asongan yang naik-naik ke mobil pick up. Nyampe di Klinik Amera standing flowers-nya udah amburadul deh. Kita nggak tau mau ngomong apalagi sama Mbak Mon, kita udah pusing juga waktu tukang asongannya pada kabur lari-lari," Udin menerangkan duduk perkaranya.

"Kerusakannya berapa?" tanya Mona lesu.

"Hampir semua standing flowers-nya rusak, beberapa bouquet lily-nya juga, yang aman hanya flowers box-nya, Mbak," Ujang angkat bicara.

"Jadi, tiga standing flowers sama bouquet-bouquet-nya rusak?" tegas Mona. Woah, sial, itu sih lebih dari lima juta sendiri.

"Iya, Mbak Mon," ujar Ujang dan Udin kompak membuat kepala Mona berdenyut.

Memijat ringan dahinya, apa kira-kira yang mesti Mona lakukan? Padahal dia merangkai karangan bunga itu dari kemarin malam, melembur bersama Jesika. Oh Tuhan, baru kali ini ia mengalami kejadian seperti ini, terlebih dengar-dengar kali ini mereka berurusan dengan Amera Clinic yang adalah salah satu klinik tersohor. Banyak orang penting di baliknya.

Namun, Ujang dan Udin pun merupakan driver yang safe kok, dedikasi mereka di dua tahun ini untuk La-Mona jelas nggak boleh disepelekan. Mereka selalu mengantar karangan bunga dengan tepat waktu serta sasaran. Dan, nggak pernah mengeluh meski kadang mereka kerap lembur gila-gilaan. Ia tidak mungkin memecat mereka begitu saja kan hanya karena kejadian ini? Nggak, nggak. Mona percaya pasti akan ada jalan keluar untuk setiap masalah yang datang. Semua bisa diselesaikan terlebih oleh dirinya, Ramona.

"Kenapa kalian nggak segera kasih tau saya? Kenapa mesti nunggu adanya klien ngadu dulu?" gumam Mona.

"Tadi udah mau kasih tau Mbak, tapi Mbak Mon kelihatannya lagi sibuk, ada Mbak Denada. Kita nggak mau ganggu Mbak dulu. Jadi, kita bantu-bantu ke belakang sebentar."

"Mbak, maafin kita ya?" tambah Udin dengan mata berkaca-kaca.

"Tapi, seharusnya Udin langsung nelepon saya. Kenapa nggak balik lagi aja? Kenapa barang rusak dikasih ke mereka?"

"Tadi, kita udah telepon Mbak Mon di jalan, cuma nggak diangkat."

"Kan bisa telepon Jesika kek, Nina!" sembur Mona lagi yang membuat kedua pegawainya kontan mingkem karena, mungkin baru sadar bahwa kesalahan mereka memang parah kali ini.

"Jadi, gimana, Mbak?" tanya Ujang setelah hening nyaris semenit.

"La-Mona tutup."

"Lah, kok tutup, Mbak?"

"Malu."

"Malu sama siapa, Mbak?" Udin bingung.

"Sama followers instagram dan twitter kalau sampai tuh customer beneran upload soal pengalaman mereka pakai jasa La-Mona ke sosmed."

"Ih, Mbak, malah bercanda, kirain sama siapa. Jadi, gimana dong, Mbak Mon solusinya?"

"Enggak ada solusi!" ujar Mona. Lagian emang siapa yang bercanda? Mereka betul-betul bakal malu dan remuklah reputasi bertahun-tahun itu jika ada aksi dari Klinik Amera.

"Setiap masalah asa solusinya, Mbak," sahut Udin.

"Cielah, kalian pakek ngajarin gue lagi!"

"Mbak Mona marah sama kita?"

"Nggak marah kok, cuma pengen ngajak kalian jalan aja setelah ini biar nggak stress!"

"Enggak perlu repot-repot gitu kali, Mbak, kita kerja punya boss baik kayak Mbak aja udah syukur banget. Tapi, kalau diajak jalan kita ya suka juga sih, Mbak. Mau," ucap Udin.

"Jalan ke mana emang, Mbak?" timpal Ujang ngarep.

"Ke tol Cikampek, lalu saya turunin deh kalian di sana," jawab Mona sinis.

"Kok diturunin, Mbak?"

"Biar dilindes tronton!"

"Ih ..., Mbak Mon, kirain beneran," Udin mendengkus. Ya, kali dia masih berani-beraninya mikir pengen liburan setelah menumpahkan setumpuk masalah ke dalam ketentraman hidup Mona! Semprul!

Mona menghela napas panjang, memandang dua pria yang mengenakan kaus polo berwarna putih dengan ukiran huruf bertuliskan La-Mona di dada kiri. "Ya sudahlah," Mona mengibas-ngibaskan telapak tangannya—mengusir kedua orang itu dari hadapannya.

Lalu, setelah kembali seorang diri dalam ruangan—karena, Denada belum juga beres dari toilet—Mona berniat untuk segera menangani komplain pelanggan dengan sekilat mungkin karena, ia tidak ingin nama La-Mona rusak. Ia akan menawarkan beberapa opsi solusi dengan cara konfirmasi secara resmi lebih dahulu. Dia mungkin akan membuat surat permohonan maaf agar dapat membuktikan keseriusannya dalam meminta maaf demi memperoleh kepercayaan La-Mona kembali.

Yah. Apa pun yang sekiranya mampu dia perbuat. Karena, jelas komplain sejenis ini memiliki ancaman bahaya yang serius jika nggak lekas ditangani. Kebanyakan dari klien yang merasa nggak puas tentu akan segera beralih ke kompetitor belum lagi jika dia beralih setelah menjelek-jelekkan La-Mona. Itu ... terkesan lebih horror daripada sekadar melakukan ganti rugi beberapa juta.

"Mbak Mon, orangnya datang," Jesika berdiri di ambang pintu.

"Siapa?" Mona mendongak dari layar komputer.

"Ibu Tiara, yang pesen untuk Amera Clinic."

"Serius?" Mona lalu berdiri, ia menekan tombol printer dan segera menge-print surat permohonanan maaf yang telah berhasil dibuatnya untuk klien.

"Serius, udah di ruang tunggu tuh orangnya."

"Terus?"

"Ya mau ketemu sama, Mbak Mona lah," jawab Jesika manyun. Padahal, maksud Mona tuh, terus kenapa Jesika nggak bikinin minum aja atau apa kek? Dia kan bisa telepon Mona aja. Namun, yah, begitulah adanya Jesika, Mona bisa apa?

Melangkah keluar, Mona nggak mungkin mengatakan bahwa ini adalah perihal sederhana. Ia juga tidak mungkin menjelaskan kalau peristiwa ini nggak ada apa-apanya. Jutaan rupiah yang lenyap bagai debu menyusup dalam bayang-bayang benaknya. Semoga bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaanlah.

Membuang napas pelan, Mona mencoba bersikap setenang mungkin agar nggak terbawa emosi seperti saat dia menghadapi pria pemesan old blush, yang pada akhirnya mau menerima purple chinese rose bonsai, yang memang ada stoknya di La-Mona. Itu pun setelah adu bacot super-panjang.

Mona lantas menyambut ramah sesosok wanita berambut hitam legam sepunggung, mengenakan blouse putih dengan celana capri yang menggantung indah membungkus kaki jenjangnya. Sekilas aja kelihatan kok jika wanita itu sangat terpelajar. Jadi, semoga nggak perlu ada adu bacot season dua hari ini!

"Selamat siang, Ibu Tiara? Perkenalkan, saya Mona, Owner La-Mona." Mona mengulurkan sebelah tangannya—mengajak berjabat.

"Iya, siang. Langsung saja deh. Saya dari Amera Clinic, yang dikirimin sampah sama La-Mona tadi siang." Mengabaikan uluran Mona, Tiara agaknya nggak seperti yang Mona bayangkan.

"Ah, iya, Ibu Tiara, saya sungguh menyesal atas kelalaian yang terjadi. Saya mohon maaf sebesar-besarnya, dan saya pastikan kami juga akan bertanggung jawab secara penuh. Jadi, saya mohon pengertiannya kepada Ibu Tiara. Em, dan saya juga akan mengirimkan surat permintaan maaf resmi kepada pihak Ibu, sekaligus memastikan bahwa hal semacam ini tidak akan terjadi lagi di masa depan." Mona dengan mati-matian berusaha menjelaskan dengan tenang.

"Intinya bagaimana?" tanya Tiara yang sepertinya nggak terlalu suka berbasa-basi. Dilihatnya sarat akan telisik Mona yang hari ini tampil dalam balutan dress flower bernuansa lavender dengan aksen bahu terbuka.

"Saya akan mengirim standing flowers lagi besok pagi ke klinik sebagai gantinya. Dan, tentu bouquet dan box flowers-nya juga." Mengingat acara hari jadi Amera Clinic jatuh di hari besok, Mona pikir inilah cara paling tepat yang dapat dilakukannya. Walau, jutaan duitnya udah pasti harus melayang sia-sia.

"Oke, kalau gitu. Saya tunggu besok pagi. Jangan sampai telat apalagi rusak!"

"Pasti. Terima kasih, Bu Tiara atas pengertian dan kerja samanya," Mona menebarkan senyum sopan santun andalannya.

"Yah, tapi saya mau Mbak Mona sendiri yang nganter," ujar Tiara yang membuat alis Mona terangkat.

"Saya ...?" ulang Mona siapa tahu ada yang salah dengan penndengarannya.

Namun, Tiara terlihat mengangguk. "Keberatan?"

"Oh, tidak kok. Saya pasti datang." Mona menjawab cepat. "Ada lagi hal lainnya, Bu?"

"Itu aja. Saya tunggu lho!"

Mona memandang wanita itu menghilang dari pandangannya. Berbalik badan, Mona memanggil Ujang, Udin, Nina dan Jesika yang dia sadari telah menguping di balik tembok.

"Gih pada beli kopi! Hari ini kita lembur," ucap Mona sambil berlalu kembali ke kandangnya.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel