Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5

Yah. Apa pun yang sekiranya mampu dia perbuat. Karena, jelas komplain sejenis ini memiliki ancaman bahaya yang serius jika nggak lekas ditangani. Kebanyakan dari klien yang merasa nggak puas tentu akan segera beralih ke kompetitor belum lagi jika dia beralih setelah menjelek-jelekkan La-Mona. Itu ... terkesan lebih horror daripada sekadar melakukan ganti rugi beberapa juta.

"Mbak Mon, orangnya datang," Jesika berdiri di ambang pintu.

"Siapa?" Mona mendongak dari layar komputer.

"Ibu Tiara, yang pesen untuk Amera Clinic."

"Serius?" Mona lalu berdiri, ia menekan tombol printer dan segera menge-print surat permohonanan maaf yang telah berhasil dibuatnya untuk klien.

"Serius, udah di ruang tunggu tuh orangnya."

"Terus?"

"Ya mau ketemu sama, Mbak Mona lah," jawab Jesika manyun. Padahal, maksud Mona tuh, terus kenapa Jesika nggak bikinin minum aja atau apa kek? Dia kan bisa telepon Mona aja. Namun, yah, begitulah adanya Jesika, Mona bisa apa?

Melangkah keluar, Mona nggak mungkin mengatakan bahwa ini adalah perihal sederhana. Ia juga tidak mungkin menjelaskan kalau peristiwa ini nggak ada apa-apanya. Jutaan rupiah yang lenyap bagai debu menyusup dalam bayang-bayang benaknya. Semoga bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaanlah.

Membuang napas pelan, Mona mencoba bersikap setenang mungkin agar nggak terbawa emosi seperti saat dia menghadapi pria pemesan old blush, yang pada akhirnya mau menerima purple chinese rose bonsai, yang memang ada stoknya di La-Mona. Itu pun setelah adu bacot super-panjang.

Mona lantas menyambut ramah sesosok wanita berambut hitam legam sepunggung, mengenakan blouse putih dengan celana capri yang menggantung indah membungkus kaki jenjangnya. Sekilas aja kelihatan kok jika wanita itu sangat terpelajar. Jadi, semoga nggak perlu ada adu bacot season dua hari ini!

"Selamat siang, Ibu Tiara? Perkenalkan, saya Mona, Owner La-Mona." Mona mengulurkan sebelah tangannya—mengajak berjabat.

"Iya, siang. Langsung saja deh. Saya dari Amera Clinic, yang dikirimin sampah sama La-Mona tadi siang." Mengabaikan uluran Mona, Tiara agaknya nggak seperti yang Mona bayangkan.

"Ah, iya, Ibu Tiara, saya sungguh menyesal atas kelalaian yang terjadi. Saya mohon maaf sebesar-besarnya, dan saya pastikan kami juga akan bertanggung jawab secara penuh. Jadi, saya mohon pengertiannya kepada Ibu Tiara. Em, dan saya juga akan mengirimkan surat permintaan maaf resmi kepada pihak Ibu, sekaligus memastikan bahwa hal semacam ini tidak akan terjadi lagi di masa depan." Mona dengan mati-matian berusaha menjelaskan dengan tenang.

"Intinya bagaimana?" tanya Tiara yang sepertinya nggak terlalu suka berbasa-basi. Dilihatnya sarat akan telisik Mona yang hari ini tampil dalam balutan dress flower bernuansa lavender dengan aksen bahu terbuka.

"Saya akan mengirim standing flowers lagi besok pagi ke klinik sebagai gantinya. Dan, tentu bouquet dan box flowers-nya juga." Mengingat acara hari jadi Amera Clinic jatuh di hari besok, Mona pikir inilah cara paling tepat yang dapat dilakukannya. Walau, jutaan duitnya udah pasti harus melayang sia-sia.

"Oke, kalau gitu. Saya tunggu besok pagi. Jangan sampai telat apalagi rusak!"

"Pasti. Terima kasih, Bu Tiara atas pengertian dan kerja samanya," Mona menebarkan senyum sopan santun andalannya.

"Yah, tapi saya mau Mbak Mona sendiri yang nganter," ujar Tiara yang membuat alis Mona terangkat.

"Saya ...?" ulang Mona siapa tahu ada yang salah dengan penndengarannya.

Namun, Tiara terlihat mengangguk. "Keberatan?"

"Oh, tidak kok. Saya pasti datang." Mona menjawab cepat. "Ada lagi hal lainnya, Bu?"

"Itu aja. Saya tunggu lho!"

Mona memandang wanita itu menghilang dari pandangannya. Berbalik badan, Mona memanggil Ujang, Udin, Nina dan Jesika yang dia sadari telah menguping di balik tembok.

"Gih pada beli kopi! Hari ini kita lembur," ucap Mona sambil berlalu kembali ke kandangnya.

***

Mona menusukkan tangkai terakhir white rose yang telah dipotongnya kurang-lebih seukuran satu jengkal, pada permukaan floral foam. Memutar box-nya yang berbentuk tabung sekilas, dia lantas menciptakan dua gelungan sederhana dari sehelai pita berwarna dusty pink untuk kemudian menarik simpul erat tepat di bagian diameternya, berikutnya ia mendesis dengan puas, "Perfect!"

Iyalah.

Denada boleh jadi benar ketika mencibir Mona yang faktanya super-duper-payah dalam menulis greeting cards, tapi ya kali setelah puluhan ribu yen yang praktis Mona gelontorkan untuk mengikuti sesi kelas ikebana di Bunkyo, masa dia nggak mahir apa-apa?

Please deh, ini mungkin bakal terdengar sedikit sombong, tapi nyatanya kemampuan flower arrangement Mona merupakan salah satu kunci yang membuat La-Mona masih eksis hingga detik ini. Bahkan, satu tahun belakangan dia pun mulai aktif menyelenggarakan agenda workshop merangkai bunga di seputaran Jakarta.

So, jelas Ramona nggak se-ambyar itu lah.

Meletakkan flowers box kelima yang berhasil diselesaikannya ke dalam wadah, Mona lalu melirik jam di dinding seraya otomatis refleks berteriak, "Eh, Jang, Jang! Ujang!"

Ujang yang memang sedang berada dalam satu ruangan dengan Mona—sibuk mengguntingi batang leatherleaf fern—lalu menyahut enteng, "Yo, Mbak Mon?"

"Yak-yo, yak-yok! Kenapa masih di sini?" omel Mona.

"Terus harusnya di mana atuh, Mbak?" Ujang menggaruk rambut keriwilnya, sementara Jesika diam-diam melirik penuh antisipasi ke arah keduanya.

"Ya ke rumahnya Si Mas Ambekan lah kok masih nanya!" jengkel Mona nggak lupa sambil melotot kejam. "Jangan bilang kalau purple chinese rose-nya malah belum lo naekin mobil lagi?" lanjut Mona menyembur.

"Ehhhh ... udah kok, Mbak Mon. Bener deh. Demi Gusti Nu Agung. Yang bonsai kan?"

"Heem. Awas lo salah ambil! Dan inget! Jangan sampe ada acara ngegelundung, rusak atau hilang di jalan lagi. Kalau itu keulang, bukan cuma insentif lo yang nggak akan gue kasih, tapi gaji lo juga bakalan gue krek!" Mona menunjukkan gaya menebas leher.

"Siap, siap atuh, Mbak Mon. Aman pasti."

"Aman-aman eh, gue ditelepon customer suruh ngeganti," gerutu Mona. "Ya udahlah, buru gih sana berangkat! Ntar kena bacot lagi gue sama tuh cowok ribet!"

"Siap grak. Berangkat dulu, Mbak Mon? Assalamualaikum."

"Tumben lo soleh. Waalaikumsalam!" jawab Mona yang membuat Jesika tergelak-gelak sendiri. Kenapa? Entahlah. Selera humor Jesika emang kadang tuh suka out of dimension plus galaxy. Biarlah.

"Dan, lo, Jes." Yang disebut langsung mingkem—berhenti tertawa. "Kasih tau sono ke Udin buat bareng gue ke Amera. Sekarang. Terus, selagi lo masukin nih order nanti, jangan lupa lo mesti cek lagi yang teliti. Jangan sampe ada yang ketinggalan dan cacat. Ogah gue kalau harus bolak-balik ngebacot sama pelanggan. Ngerti?"

"Iya, paham, Mbak Mon. Abis ini akan Jes list lagi."

"Good lah."

"Tapi, Mbak Mon perginya jangan lama-lama yah? Sorean kan kita mesti bikin wedding centerpieces."

"Kita?" Mona menyatukkan alis.

"Iya kan?" Jesika menggaruk ujung dagunya, gugup.

"Emangnya lo nggak bisa sendiri?" pancing Mona.

"Bisa, tapi ntar dikomplain klien lagi kayak yang dua minggu kemaren. Mbak Mon nggak apa-apa?"

"Ya jelas apa-apa lah." Mona berdecak nyaring. "Lagian, udah mau dua tahun lho, Jes masa masih gue tuntun melulu," lanjut Mona menggerutu. "Eh, tapi itu waxflowers yang mau dipake udah dateng kan?"

"Iya, udah kok, Mbak tadi subuhan. Semua udah ready tinggal cus eksekusi."

"Halah! Ya udah, buru deh ngomong ke si Udin biar gue siap-siap dulu."

"Oke, Bos." Jesika nyaris mencapai pintu ketika tiba-tiba tubuh bongsornya berbalik kilat dan bertanya, "Marlon-nya diajak nggak, Mbak Mon?"

Mona sontak melirik Marlon yang terdiam dalam kandang, yang kian hari justru terlihat semakin malas-malasan pun rewel saja. Bahkan, tadi malam kucing itu baru mau berhenti merengek saat Mona menempatkannya di atas ranjang tidurnya. Benar-benar anak Mimi sejati! Entahlah. Tapi, gara-gara Marlon, Fani yang anteng juga jadi ketularan bikin mumet. Membuat beban kerja Mona—baik di florist pun di rumah—terasa berkali-kali lipat beratnya.

Hish!

"Nggaklah. Di sini aja dia. Kayaknya emang agak meriang, biar nanti kalau lowong gue anter ke Cat Care deh." Yeah. Mungkin Marlon butuh ketemu Veterinarian yang dapat menumpas segala ke-lemah-letih-lunglainya itu.

***

Amera Foundation memang sangat 'sesuatu', by the way. Seolah, nggak cukup dengan Amera Aesthetics yang tersebar di beberapa kota besar, mereka juga punya satu rumah sakit, lalu sekarang hadir pula Amera Woman and Children's Clinic. Di mana dengar-dengar sih udah memasuki tahun jadinya yang ke dua. Belum lagi cabang-cabang mengenai kesehatan—khususnya perempuan serta anak-anak—lain yang Mona nggak tau apa saja gerangan persisnya.

Yang pasti, bagi Mona Amera itu luar biasa. Awalnya. Yeah.

Sebab, ketika Mona sedang sibuk-sibuknya mengusung bunga-bunga dalam rangkulan tubuhnya menuju area utama bangunan klinik, mendadak langkah-langkah sarat keterburuannya justru seperti terprogram agar berhenti dengan seketika.

Melalui sepasang netranya yang membulat, tajam, Mona rasanya ingin mengumpat keras-keras.

Please, please, please!

Dari ribuan profesi yang bisa manusia jalani, dari ratusan ribu titik yang bisa orang-orang tempati, dari sekian banyak kemungkinan yang boleh saja terjadi. Kenapa ... harus orang itu sih yang Mona lihat dan temukan? Kenapa harus hari ini? Kenapa mesti di Amera? Kenapa dia ... dan Mona ... lagi?

Sial. Entah mengapa kekesalan Mona rasanya kilat sekali menanjak hingga mencapai ubun-ubun!

But, why?

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel