Ringkasan
|| DITULIS OLEH SIMBAAK Jg== AYU WANDIRA ||"Move on, Darling, move on! Tiga belas tahun udah lewat, palingan Si Bangcat juga udah kawin atau kalau nggak ya modar kali.""Mimi!" tegur Mona sarat ancaman.Mimi menangkupkan tangan di dada. "He-he ... sorry. Abisnya lo ...." dia nggak jadi memperpanjang masalah mengenai orang yang disebutnya sebagai 'Bangcat' saat dilihatnya embun-embun mulai berdesakkan dalam kelopak mata Mona. Dasar Sesembak Cengeng! "Nitip Marlon? Yah, yah?" belok Mimi menego. Lagi."Enggaaak!""Gue traktir makan. Breakfast, lunch plus dinner satu minggu full!""Oke, deal!"Karena, dengan nama apa pun jomblo akan tetap sama ngenesnya.
Bab 1
Mona nggak begitu suka bunga, khususnya mawar merah. Karena dulu, hanya gara-gara menerima setangkai mawar dia justru harus membayarnya dengan berember-ember air mata.
Tapi, Ralph Waldo Emerson pernah bilang kalau 'Earth laughs in flowers'. Lantas, percayakah Mona?
Jujur, untuk Mona itu terdengar seperti sebuah bualan belaka. Sampai pada suatu hari tanpa sengaja dia menyimpan satu bouquet lily—hadiah ulang tahun—dalam vas berisi air hangat di ruang kamarnya. Lalu, esok paginya, seolah itu kejadian ajaib—yang padahal lumrah saja terjadi—kuncup-kuncup lily putih tersebut merebak bermekaran di atas meja sisi jendela.
Maka, entah didorong oleh perasaan yang bernama apa, sejak saat itu Mona putuskanlah untuk mendirikan La-Mona.
Florist super-chic yang bangunannya didominasi oleh kaca juga warna-warna luxury. Yang dalam dua tahun belakangan menjelma sebagai flower shop paling dicari di seantero Jakarta. Utamanya sih di basisnya, Jakarta Selatan.
Melalui La-Mona, perempuan itu nggak cuma menawarkan eksklusivitas dari produk-produknya. Di luar harga sekaligus kualitas yang memang berani beradu, La-Mona pun diharapkan dapat berbagi pesan bahwa mau kamu patah hati kek, ditinggal pergi, nikah, apa pun bentuk kekecewaan itu, bukanlah salah bunganya, tapi memang 'waktunya' saja yang sudah keburu datang. Mau pakai sweet pea atau nggak, kamu toh bakal tetap putus, misalnya.
So, yah, ngapain ribet?
Dan, siang ini situasi di La-Mona bisa dibilang luar biasa ramai, baik studio, medsos atau pun website. Mungkin karena, sudah masuk musimnya kawinan? Ya, entahlah. Meski menurut Mona pribadi, hiruk-pikuk ini menjadi makin kacau ya akibat hal lain. Hal lain yang membuatnya uring-uringan. Sehingga dia wajib mendumel nyaris sepanjang waktu kayak sekarang.
"Jes, kok ini masih berceceran gini sih? Taro keranjang kek, udah ditungguin Pak Budi tuh di depan." Mona mendesis begitu melihat bouquet-bouquet bunga yang harus segera dikirim ke venue acara wisuda masih saja bergeletakkan di lantai, padahal dua mobil sudah standby di halaman La-Mona sejak setengah jam lalu.
"Iya, bentar Mbak Mon, Jes lagi ngepitain satu hand bouquet sisanya nih." Perempuan berhijab merah yang tenggelam di balik sebuah bouquet besar berisi baby's breath sayup-sayup menyahut.
Mona berdecak pelan. "List lagi ntar kalau mau masukin lho! Eh, eh, eh itu ... yang white rose, wrapping pink belum ada kartu ucapannya yah? Tadi siapa yang tugasnya nulis? Siniin deh biar gue tulisin."
Namun, belum sempat Mona melipir untuk mencari bolpoin, Mimi—sang sumber uring-uringan—keburu sigap menarik kencang ujung kain blouse-nya, membuat Mona sontak terpelanting ringan. Untung saja ruffled blouse Zara perempuan itu nggak sampai robek!
Awas aja nih Si Mimicucu!
"Beb, jangan sok sibuk deh. Lo tuh cuma ngehindarin gue kan?" kata Mimi setelah menerima sepaket delikan tajam dari mata bulat Mona. "Lagian, tulisan lo kan kayak kuman dan bakteri. Nggak usah aneh-aneh, biar Jes aja nanti yang ngerjain daripada abis acara ada yang update stories, 'nggak lagi-lagi ah pesen bouquet di La-Mona kartu ucapannya baru kebaca kalau pake mikroskop!'."
Mona manyun seketika karena, apa yang dikatakan Mimi memang ada benarnya. Akan tetapi, ya kali dia sudi mengakuinya? Maka, perempuan itu cuma menggumam, "Apaan sih, Mi?"
"Eh, tapi gue serius. Sekali ini aja, please please please gue nitip Marlon yah?"
"Ish! Ogah! Jangan berani lo nitip-nitip kucing sangean lo di tempat gue! Yang ada ntar dia naenain Fani lagi kayak minggu lalu!"
"Iih ... itu pasti Marlon-nya khilaf doang, Beb. Swear, biasanya dia nggak liar gitu pergaulannya apalagi sampai celap-celup yang bukan mahram. Please, Mon?"
"Ke Dena aja sih sana! Lo lihat kan gue lagi sibuk. Banyak pesenan."
"Ahhh, kan yang bantu-bantu lo di La-Mona banyak. Ya kan, Mbak Nina, yah?" Mimi menyebut nama seorang perempuan—bala bantuan—yang baru saja datang untuk membantu memboyong puluhan flower bouquet. "Lagian, lo di sini paling kerjaannya nggak jauh-jauh dari sebatas ngomel-ngomel sama ngerusuh. Hapal gue mah."
Semua orang kontan terkikik kecuali Mona, tentu saja, yang langsung menebarkan pelototan tak nyantai ke seluruh penjuru ruangan. "Mau ke mana emang lo?" lanjutnya menuding Mimi acuh tak acuh.
"Kevin ngajakin gue honeymoon," bisik Mimi malu-malu.
Sementara, Mona langsung merotasi netranya malas. Sesuai dugaan, alasan Mimi emang selalunya secetek itu. "Perasaan bulan kemaren udah?"
"Namanya newlywed mah harus rajin kejar setoran lah, Beb. Biar jentik-jentik segera bermetamorfosis."
"Jentik-jentik pala lo! Kalian yang enak-enakan ngapain malah gue yang mesti ribet ngasuh Si Marlon? Nggak ada!" tolak Mona. Makin sebal saja rasanya setelah mendengar Mimi ngeles. Oh, nggak-nggak walau jomblo dia nggak iri kok!
"Yaelah, ketimbang tolong kasih makan dengan tepat waktu sama bersihin kandangnya aja, Mon. Nggak perlu lo gendong-gendong juga Si Marlon-nya," bujuk Mimi. "Kalau Dena lowong, pasti deh gue titip ke tempat dia. Tapi, kan dianya besok udah keburu mau ada acara syuting iklan di Labuan Bajo. So, oke-in dong? Nanti gue kasih rekomendasi cowok ganteng deh?"
"Halah, ganteng-ganteng! Monyet dipakein pomade juga kata lo ganteng!"
"Iiih, asem lo! Nggak, nggak kali ini beneran. Cius. Kemaren kan gue nyalon tuh bareng Si Amy Baskoro dan dia nyerita ada Dokter Kulit baru yang ganteng dan peluk-able gitu di klinik langganannya. Kapan-kapan kita samperin ke sono siapa tau masih available dan bisa lo gaet kan?"
"Ah, bodo amat!" Siapa Amy Baskoro saja Mona nggak tahu. Pakai sok-sok-an segala mau menggaet dokter ganteng. Helooo, jaman sekarang emang masih eksis pria cakep dan single?
"Heh, lo nih yah mau nyampe kapan sih ngarepin Si Bangcat yang nggak tau di mana rimbanya itu?" serang Mini tiba-tiba ketika Mona sedang merunduk, mencoba meraih batang cooton flower yang tergeletak di samping sandalnya. "Move on, Darling, move on! Tiga belas tahun udah lewat, palingan Si Bangcat juga udah kawin atau kalau nggak ya modar kali."
"Mimi!" tegur Mona sarat ancaman.
Mimi menangkupkan tangan di dada. "He-he ... sorry. Abisnya lo ...." dia nggak jadi memperpanjang masalah mengenai orang yang disebutnya sebagai 'Bangcat' saat dilihatnya embun-embun mulai berdesakkan dalam kelopak mata Mona. Dasar Sesembak Cengeng! "Nitip Marlon? Yah, yah?" belok Mimi menego. Lagi.
"Enggaaak!"
"Gue traktir makan. Breakfast, lunch plus dinner satu minggu full!"
"Oke, deal!"
Semudah itu dan memang begitulah Ramona, jomblo, yang di tiga belas tahun belakangan lebih suka nguber-nguber makanan, diskon dan gratisan dibanding pria idaman.
***
Hai, di lapak ini simbaak akan kalem biar kayak kak ayu ???
So, yah ini cerita kolaborasi antara simbaak dan kak Ayu_Wandira1 yang di sepanjang Februari ini akan menemani teman-teman.
Update setiap hari, untuk bagian yang ganjil itu dari simbaak, yang genapnya dari kak ayu. Dan ceritanya bisa ditemukan baik di lapak simbaak atau kak ayu.
Terus, karena simbaak lagi mode kalem langsung aja happy reading! Eaaaaak