Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Ban 2

Seminggu telah berlalu, Mimi menepati janjinya, mentraktir makan full. Mona bebas memilih restoran yang dia inginkan. Mereka lunch terakhir di The Cut Grill House letaknya di daerah Tebet. Makan steak dengan kematangan medium rare, tekstur daging yang juicy dan lembut. Makan siang yang begitu nikmat diakhiri dengan dessert cake yang lembut.

Mona memandang Mimi membawa kandang berisi kucing berbulu abu-abu ke rumahnya. Ia hanya bisa melihat tatapan mata kucing berhidung pesek itu seakan ingin menerkamnya. Sepertinya Marlon dan dirinya bukanlah tempat kecocokan hidup. Ia tidak yakin kucing kesayangan Mimi yang bernama Marlon itu menyukainya.

"Mon, Marlon ini jangan lo masukin ke kandang. Biarkan dia di ruangan terbuka, nanti kalau lo masukin kandang mulu, Marlon bisa stress," Mimi menyimpan tas berbentuk kucing di lantai. Disusul dengan mengeluarkan perlengkapan kucing berupa pasir dan beberapa bungkus whiskas.

Mona mengedikkan bahu, ia tidak yakin kalau Marlon kucing yang bisa diajak kerja sama. Ia juga tidak yakin Mamanya akan bahagia melihat kucing ini berkeliaran di rumah. Masalahnya, Marlon pernah membuat ulah. Gorden kesayangan Mamanya amburadul karena Marlon. Berbeda sekali dengan tingkah Fani yang manja dan penurut.

Mona mengigit bibir bawah, melihat tugasnya 14 hari kedepan menjaga Marlon pasti nggak akan mudah.

"Kebetulan makanan Marlon sisa empat bungkus, besok kalau sempet lo beliin lagi di pet shop, lo tenang aja gue transfer duitnya."

"Ingat ya, Mon, Marlon cuma bisa makan mereknya whiskas jangan samain dengan Fani! Makanan Fani dan Marlon beda. Soalnya Marlon bisa mencret-mencret kalau lo kasih makanan Fani."

"Marlon nggak nakal kok, lo tenang aja," imbuh Mimi lagi.

"Kucing lo nggak nakal? Setelah gorden Mama gue dibikin amburadul gara-gara Marlon manjat ke gorden lo bilang nggak nakal?!"

"Gue jamin nggak nakal sekarang mah, Marlon udah dewasa," Mimi mengeluarkan Marlon dari kandang. Mengusap bulu-bulu itu secara perlahan.

"Muka senge kayak gitu, lo bilang dewasa?" Sementara Mona hanya bisa menatap, 'oke sekarang ia akan menjadi baby sitter Marlon'.

Bagi kebanyakan orang, kucing adalah hewan yang manis, penurut, dan cocok dijadikan hewan peliharaan. Bahkan sebagian manusia dimuka bumi ini mengadopsi kucing menjadi bagian anggota keluarga mereka di rumah. So, rawatlah kucing itu penuh kasih sayang.

Mona hanya meringis mengingat deskripsi sosok kucing pada umumnya dalam pemikirannya. Dan, ya ampun, kucing pesek itu mengeong dipelukkan Mimi. Sepertinya Marlon tahu dia akan berpisah dengan majikannya.

"Kalau lo enggak ada event wedding, banquets event order atau La- Mona lagi sepi. Lo boleh lah ajak Marlon jalan-jalan ke Glory bareng Fani. Marlon udah lama nggak treatment."

"Noted," Mona mengikat rambutnya ke belakang.

"Lo beli Marlon di mana sih?" tanya Mona penasaran karena setahu Mona, Mimi enggk pernah memiliki riwayat mengadopsi hewan sebelumnya.

"Enggak beli, gue nemu di jalan deket rumah gue. Kasihan hidup Marlon, telantar. Gue ambil deh dan gue adopsi. Kevin juga setuju kok gue adopsi Marlon."

"Dasa kucing gembel," dengus Mona.

"Helooo, Fani emangnya nggak gembel? Tuh kucing kan juga dari hasil anak pergaulan bebas orang tuanya," timpal Mimi nggak terima Marlon-nya dikata-katai.

"Sorry ya, Fani memang bibit unggul. Gue belinya di peternakan kucing yang berkualitas," Mona mencari keberadaan Fani yang melesat ke halaman depan rumah.

Akhir-akhir ini Fani sering nongkrong di halaman. Ia pernah memergoki Fani bersama kucing kampung berwana hitam sambil guling guling di rumput. Oh Tuhan, sejak kapan Fani seleranya menjadi nggak worth it seperti itu? Sepertinya, Marlon mendapat saingan berat yaitu kucing kampung tetangga sebelah.

Mona dan Mimi kemudian memilih masuk ke dalam kamar, sementara Marlon dibiarkan lepas begitu saja, bermain dengan Fani.

Mona menyimpan tasnya di meja. Melihat Mimi membuka album foto yang diambilnya langsung dari laci, Mona dengan cepat mengambil alih album foto ditangan Mimi. Tapi, Mimi dengan gesit menghindar sambil tertawa, ia senang sekali menggoda sahabatnya yang satu ini.

"Apaan sih, Mi?"

"Ciyee ... yang masih nyimpen foto Si Bangcat."

"Ihh, apaan sih?" Mona melipat tangannya di dada, Mimi selalu aja membahas obrolan seputar Satria. "Udah deh jangan bahas dia, enggak ada obrolan lain apaan gitu?" Mona mengambil album foto itu dari tangan Mimi.

"Kira-kira mantan lo itu jadi apa ya sekarang, Mon?"

"Ih ... kan udah dibilang jangan bahas dia, bodo amat lah dia mau jadi apaan!"

Suara ponsel Mimi bergetar, sambil tersenyum memandang nama yang tertera di layar ponsel. Mimi menggeser tombol hijau pada layar dan diletakan ditelinga kirinya.

"Iya ... sayang?" Mimin memilih duduk di sisi tempat tidur.

"Ini masih di rumah Mona, nganterin Marlon bentar."

"Marlon udah bisa beradaptasi kok, kan disini ada Fani, pasti betah lah."

"Marlon udah main-main tuh sama Fani, kayak kesenengan gitu ketemu Fani. Lucu banget tingkahnya, malu-malu gitu ketemu Fani. Eh, taunya udah kejar-kejaran berdua."

Mona mendengar percakapan itu seakan Marlon bersiap dijodohkan dengan Fani. Bersiaplah ia akan berbesan dengan Mimi.

"Iya ... ini bentar lagi, ini udah siap-siap pulang."

"Iya, sayang, love you ...." Mimi memasukan ponsel ke tas kecilnya.

"Itu dari Kevin?" tanya Mona.

"Iyalah, emang situ nggak punya suami."

"Ih, basi." Mona selalu begini.

Mimi menatap kearah cermin sambil memandang penampilannya, tidak ada kekurangan apa pun ia lalu berjalan keluar menuju pintu kamar, diikuti Mona dari belakang.

"Oke gue pulang ya. Betewe, Nyokap lo mana? Gue nggak liat dari tadi?"

"Lagi jemput Rama di tempat les musik, soalnya Mama pengen tau gitu perkembangan Rama main piano."

"Bocah itu suka main piano?"

"Iya, baru sebulan sih masuk les. Kayaknya ada bakat gitu."

"Keren dong?"

"Itu doang kerennya, selebihnya bandel amit-amit!"

Mona mengantar Mimi menuju mobil BMW yang terparkir di pinggir jalan. Karena halaman rumah sudah terparkir mobil miliknya. Mona menatap mobil itu yang lantas menghilang dari pandangannya. Ia lalu melihat Fani dan Marlon berbaring di rumput, menikmati matahari sore. Ia yakin dua kucing itu penuh dengan bakteri dan virus dikulit dan bulunya. Hih!

"Fani, Marlon! Hayuk masuk!" teriak Mona, tapi kedua kucing itu masih asyik dengan aktifitasnya berguling-guling di rumput.

"Fani!"

"Meoww," reaksi itu pertanda Fani mendengar ucapannya.

"Fani, Marlon, masuk!"

"Meoww."

"Fani, Marlon ... buruan masuk iiih!"

"Meoww," Fani masih berada di posisi yang sama begitu juga Marlon.

"Ya ampun, Fani, Marlon! Lo berdua nggak dengerin gue?!"

Biasanya Fani adalah kucing yang penurut, dipanggil langsung datang. Kini tingkah Fani menjadi menyebalkan tanpa memperdulikannya. Ia yakin Marlon telah menghasutnya menjadi liar seperti ini!

"Fani, hayuk masuk, Nak, jangan ikut-ikutan Marlon yang bandel!"

"Meow."

"Fani, lo nggak dengerin gue?!"

"Meoww."

Lagi-lagi Mona mendengar Fani hanya mengeong, tanpa mempedulikannya. Fani malah mendekati Marlon sambil mengeong-ngeong. Fani mengendus-ngendus kepala Marlon seakan meminta dicium. Oh Tuhan, sejak kapan Fani tumbuh menjadi cewek kecentilan seperti itu? Kemarin Fani kecentilan dengan kucing kampung, sekarang bersama Marlon. Sepertinya Fani haus akan belaian laki-laki!

"Inget lo ya Fan, nggak gue kasih makan nanti malam!"

"Meoww."

"Yaudah main sana sama Marlon, sampe malam!"

"Meoww."

"Gue nggak peduli lo kelaperan di luar sana!"

"Meoww."

"Pergi sana dengan Marlon!"

"Meoww."

"Awas, ya nanti malam kalau lo tidur sama gue, tidur sana sama Marlon!"

"Meoww."

"Eh, jangan tidur sama Marlon ding! Nanti lo hamil lagi!"

"Meoww."

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel