Bab 7
Dan, karena dirinya adalah Ramona. Maka, ya, dia—yang di name tag-nya terbaca sebagai dr. Raka Pratama Sp.PD. Mukanya lumayan lah, badannya ototnya ada, terbentuk walau nggak paripurna. Intinya, nyampelah sekitar delapan koma lima-an, physically.
"Halo, selamat pagi, saya Raka," Raka mengulurkan tangan kanannya ke arah Mona. "Mbak Owner La-Mona kan?" lanjutnya menembak.
"Selamat pagi," Mona mencoba tersenyum, ragu-ragu membalas uluran tangan itu. "Iya, saya Mona. By the way, kok bisa tahu? Dari mana yah?"
"Dari Tiara, teman saya."
"Ahh ...." Apa makhluk ini bakal serupa dengan Tiara juga—karena, mereka kan berteman?
"Tapi, jauh sebelum itu ... saya udah jadi followers setianya La-Mona di Instagram." Pria itu melanjutkan, bangga. "Setiap Hari Ibu, saya pasti order bouquet di La-Mona lho."
"Woah, really?"
"Yaps. Sejak dua tahun belakangan ini," terangnya yang itu berarti baru dua kali Hari Ibu kan—atau, haruskah Mona simpulkan sebagai dua kali order?
Namun, bodo amat dengan jumlah order-nya, dia tetap pelanggan. Serta, kabar baiknya dia toh, kayaknya lebih baik daripada Si Tiara atau Dimas itu. Syukurlah masih ada yang waras di Amera!
"Ada rasa kebanggaan tersendiri, ketika Owner La-Mona mengantar langsung ke sini," Raka agaknya masih sulit percaya bahwa pemilik florist favoritnya faktanya masih begitu muda.
Sementara, Mona kontan tersenyum kecil.
"Well ...," Raka melirik arlojinya. Sudah agak siang.
"Well?" Mona mengulang. Sedang, netranya mulai menyadari ada beberapa Perawat dan Staff Apoteker memperhatikan dirinya yang berdiri berhadapan bersama Raka.
Raka lantas tertawa, diamatinya samar wanita muda itu dari ujung kaki ke ujung kepala. Rambutnya sedikit berantakan, mungkin karena sibuk menurunkan beberapa box flowers dari mobil? Tapi, dia tetap dalam keadaan cantik sih. Tubuh yang mungil, langsing, rambut panjang dengan ikal sempurna. Tipikal wanita masa kini yang sepertinya dia kenal tipe-tipe idamannya siapa.
"Sorry, yah harus repot buat mengurus semua ini," ujar Raka nggak berselang lama.
"No need to say sorry, toh memang tanggung jawab saya," Mona menyelipkan sejumput rambut ke balik telinga. "Ini pasti sangat spesial ya, acaranya?"
"Yaps," Raka melihat beberapa Perawat celingak-celinguk menatap ia dan Mona, di dekat pintu masuk. "Karena, kebetulan anniversary kami pas jatuh di hari Valentine. So, biasanya kami rutin sih buat bagi-bagi bunga ke pasien. Toh, kebanyakan pasien kami perempuan. Perempuan selalu suka keindahan kan? Yah. Biar mereka tambah semangat juga sih."
"Keren."
"Mau ngopi?" Pertanyaan Raka yang terasa begitu mendadak sontak membuat Mona tergagu. "Saya pikir, lebih enak buat ngobrol di kantin. Em, ada sedikit yang mau saya tanyakan tentang La-Mona dan penawarannya." Melalui sorot matanya yang berputar gelisah, Raka berusaha mengirimkan kode supaya mereka bisa beranjak dari sana. "By the way, apakah saya mengganggu waktu Mbak?" sambung Raka sigap, seperti teringat akan sesuatu.
Mona sendiri melirik jamnya untuk kedua kali. "Sebentar lagi saya harus ke Pondok Indah sih."
"Hanya sebentar kok, nggak sampai sepuluh menit. Saya janji?"
"Ng, oke deh."
Mona dan Raka hendak bergeser ke area kantin, tatkala langkah mereka praktis harus terhenti gara-gara Udin keburu muncul memanggil.
"Mbak Mon?"
"Iya?" Ditatapnya Udin sekilas. Dan, Ya, Gusti! Mona ingat, bahwa Udin kan harus cepat-cepat pulang ke La-Mona untuk mengantar hand bouquet pesanan mahasiswa dari salah satu kampus di Jakarta Barat yang akan menggelar acara wisuda. "Lo langsung, mau antar order yang ke Grogol kan?"
"Iya, Mbak Mon."
"Ya udah, duluan saja, nanti gue balik naik ojol deh atau grab."
"Nggak mau bareng aja, Mbak Mon?"
"Lo duluan aja dan hati-hati. Oke?" Mona menatap Udin yang lantas mau nggak mau mengangguk patuh seraya, bergegas meninggalkan kawasan Amera Clinic.
Sambil menuruni anakan tangga, Mona merogoh ponsel dalam saku. Dia masih mengikuti langkah Raka dari belakang. Mencari nomor Nina, Mona segera mengawali sambungan telepon.
"Nin, hand bouquet-nya udah beres?" tanya Mona.
"Udah kok, Mbak siap kirim."
"Good! Pastiin lagi segala macemnya lho, ada empat puluh bouquet flowers, greeting cards, Ferrero Rocher sama Teddy Bear Graduation. Awas tercecer lagi! Udin udah menuju ke sana."
"Iya, Mbak Mon, semuanya udah beres. Nanti rencananya Jesika yang mau ikut Udin."
"Nanti suruh Jesika pakek mobil gue aja, Nin! Bawanya pakek dua mobil. Gue ogah kalau ada yang rusak lagi kek kejadian kemarin."
"Iya, Mbak, siap," jawab Nina.
"Ya udah kalau gitu, mungkin gue ke La-Mona abis lunch yah, soalnya ada acara dulu di tempat Spa yang baru buka di Pondok Indah."
Raka mendengar dalam diam sesi percakapan Mona. Wanita itu nggak sekadar good looking doang, tapi juga luwes dan cekatan. Ia menatap Mona yang memasukan ponsel ke dalam sakunya kembali.
"Sepertinya, Mbak sibuk banget yah?" tanggap Raka.
"Akhir-akhir ini memang lagi lumayan banyak pesanan sih. Biasa lah kalau florist musim wisuda gini, orderan hand bouquet-nya ada aja."
"Pernah sepi?"
"Pernah lah." Mona terkekeh ia menyeimbangi langkah Raka. Ia menatap bangunan kantin bercat putih yang tinggal beberapa langkah saja jaraknya. Tampak ada beberapa dokter juga yang sedang makan di sana.
"Kapan?"
"Dulu." Mona tertawa saat mendaratkan pantatnya di kursi, begitu juga Raka. Ia memerhatikan Raka, ia masih nggak percaya bahwa ada seorang dokter pemilik nilai delapan koma lima plus ramah plus baru kenal pula mau-maunya mentraktir dia kopi. Eh, tapi Mona bakal ditraktir kan yah ini?
"Jadi, Anda ingin membicarakan soal apa?" tanya Mona to the point, ketika dilihatnya salah seorang Penjual Makanan di kantin singgah dengan membawa dua cangkir kopi sekaligus roti bakar.
"Saya ingin menggunakan jasa La-Mona untuk acara pernikahan saya nanti."
Alis Mona terangkat, ia refleks mengambil cangkir demi menyesap kopi yang kelewat manis itu sejenak. Oh, jadi, dia mau nikah toh? Emang yah, Mimi tuh nggak pernah bener, mana yang katanya orang ganteng, baik dan menyenangkan masih ada yang available? Ngimpi!
"Are you sure?"
"Yes, sure, udah ada WO sih cuma, saya pengen semua soal bunga bisa ditangani sama La-Mona. Everything bahkan sampai bunga terperintilannya sekali pun. Saya sepercaya itu sih sama La-Mona."
Mona nggak bisa menahan diri untuk nggak tersenyum ceria. Ya, gimana bisa hatinya nggak bak taman bunga coba? Baru saja hasil jerih-payahnya dipuji habis-habisan. Oh, Gusti!
"Kapan kira-kira acaranya?"
"Dalam waktu dekat, tiga bulanan lagi lah, sekitar itu."
"Ada request bunga khusus mungkin?"
"Menurut Mbak, apa yang bagus?"
"Em, kalau traditional marriage gitu kebanyakan sih pakainya melati yah. Atau kalau mau yang umum, bisa pilih red rose, wanginya dapat, indahnya kena, pesannya juga ada. Sudah begitu katanya, itu bisa jadi lambang bahwa kita sangat mencintai pasangan kita. Atau nggak jarang juga yang menggunakan krisan sih, dengar-dengar banyak yang punya kepercayaan kalau krisan berarti pemersatu. Actually, banyak banget yang bisa dipilih sih."
"Mawar merah kayaknya boleh juga?" gumam Raka yang sepertinya masih ngawang-ngawang, bingung.
"Atau, Anda bisa langsung saja mampir ke La-Mona, biar bisa lihat sendiri jenis-jenis bunganya kayak gimana dan bisa menentukan bunga mana yang sekiranya cocok untuk Anda dan pasangan. Kita juga bisa kombinasi lho, ada nego harga juga." Mona melancarkan jurus persuasifnya.
Raka mengangguk, mulai paham. Dia memang sepertinya harus ke La-Mona. Suara ponsel bergetar, Raka mengambil ponsel di saku jas nya. Ia meletakkan ponsel di sisi telinga kiri—setelah sebelumnya, meminta ijin kepada wanita itu.
Sambil lamat-lamat melihat Mona di seberang duduknya sibuk memakan roti bakar yang ia pesan, Raka menyahut, "Yo, Man?"
"Lo dimana?"
"Di kantin lagi ngadem."
"Siapa yang meninggal, Bro?"
Raka mengerutkan dahi, "Meninggal?"
"Gue barusan ke ruangan lo, banyak kembang gitu, wangi amat kek kuburan!"
"Asem! Lo bilang meninggal, sekali lagi, gue bunuh lo ya. Itu buat Dhea lah, sebagian."
"Sejak kapan Dhea doyan kembang, Bro? Itu bener Dhea apa Susana?!"
"Sejak lahir, Kampret!" gerutu Raka sebal.
"Wah, serius?! Baru tau gue!"
"Udah yak, Pret, susah pokoknya ngomong sama cowok buta romansa kayak lo! Lo nggak bakalan ngerti yang gini-gini mah," Raka mematikan sambungan teleponnya secara sepihak. Detik berselang, dia memandang Mona yang tengah balik memerhatikannya, "Sorry ya? Teman saya usilnya kebangetan. Kalau nelepon nggak penting, udah tau gitu, gobloknya selalu saya angkat pula. Florist keren kayak La-Mona masa dibilang ada yang meninggal. Parah! Gokil! Gendeng!"
Mona lalu tertawa, ia tidak menyangka bahwa dokter spesialis seperti Raka percakapannya seperti itu. Ia pikir pertemanan sesama dokter itu ya berbicara formal, ngobrol yang berat-berat macam diskusi soal penyakit atau obat-obatan sambil ditemani buku-buku tebal mereka. Ternyata, sama saja seperti pria-pria pada umumnya di luar sana.
"Iya, tidak apa-apa."
***
Tbh, simbaak dan Kak Ayu nggak begitu tau soal kembang. So, kalau ada yang sekiranya kurang tepat bisa diingatkan saja yah. Terima kasih ❤❤❤