MIMPI TAPI NYATA
‘Sangat menyebalkan sebab wajahnya memberi kedamaian yang tak pernah aku rasakan. ~Arunika Aislinn’
“Ru!” Trison mengguncang tubuh Arunika yang sudah setengah berbaring di meja tempatnya duduk. Sedangkan Arunika hanya bergumam kesal karena tidurnya yang hampir terlelap terganggu. “Si malaikat maut kagak lama perginya, Ru. Jangan tarok itu kepala lo di meja deh. Bakal tidur beneran entar,” ujar Trison masih mencoba menegakkan tubuh Arunika.
Dan jelas tidak berhasil. Arunika masih membiarkan kepalanya terbaring di atas meja dengan mata tertutup.
“Entar kalo dia dateng tinggal bangunin aja sih, Con. Gue beneran udah nggak sanggup ini nahan ngantuk,” gumam Arunika yang masih bisa dipahami Trison.
“Ck! Lo tuh kebo kalo udah tidur, Ru. Bakal susah dibangunin,” gerutu Trison yang tak lagi dihiraukan Arunika. Trison hanya bisa menggelengkan pelan kepalanya setelah mendengar dengkuran halus dari temannya itu.
Setelah berdebat panjang dengan Arunika, Delaney keluar dari kelas dan membawa Danan bersamanya. Ada hal penting mengenai proses pembelajaran mereka selanjutnya, kata dosen muda itu tadi.
Arunika berdecak karena tidak percaya. Cewek berkulit putih itu meyakini bahwa Delaney hanya beralasan karena malu telah kalah berdebat dengannya. Arunika tau, pria itu sengaja membuatnya berpikir keras karena merasa Arunika tidak memperhatikan pelajaran.
Tapi bukan Arunika namanya jika tidak bisa membalas ucapan dari pembimbing akademiknya itu. Dia memang tidak ingin kalah dari dosen muda itu, karena entah kenapa Arunika merasa bahwa Delaney menganggap remeh kemampuannya sebagai mahasiswa. Dan Arunika benci itu.
Selama ini Arunika selalu menjadi mahasiswa bimbingan yang baik dan tidak banyak ulah. Tapi Delaney selalu membuatnya merasa menjadi anak nakal karena terus memarahinya.
Dan juga, jika dipikir, Delaney masih terlalu mudah untuk bersikap begitu tak bersahabat dengan mahasiswanya. Umur mereka mungkin hanya terpaut satu atau dua tahun. Tapi Delaney seperti memberi batasan yang jelas bahwa mereka hanya sekedar mahasiswa dan dosen.
Lagi pula, siapa yang menganggap lebih hubungan mereka?
Jika Arunika mahasiswa perempuan lain yang begitu tergila-gila dengan Delaney, mungkin akan sangat patah hati dan melupakan soal batasan itu. Tapi Arunika tidak sama seperti para mahasiswa perempuan lainnya. Gadis itu benar-benar menyadari siapa dia dimata Delaney. Dia hanya salah satu mahasiswa bimbingan akademiknya yang harus mendapat omelan jika mendapat nilai buruk di akhir semester.
Huh! Pelampiasan amarah.
Dan sekarang, detik ini, setelah berdebat dan mendengarkan berbagai penjelasan materi dari Delaney, Arunika sudah tidak bisa menahan kantuknya. Dia akan tidur apa pun alasannya. Meski hanya lima menit seperti biasanya. Karena bagi gadis dengan mata yang melengkung indah seperti bulan sabit itu, tidur siang adalah kunci dari baiknya kualitas belajar.
Persetan sama dosen ganteng yang kelakuannya kayak malaikat maut begitu!
***
Delaney melirik ke arah Danan yang sedang fokus dengan catatan materi tambahan untuk minggu depan.
Bukan! Tidak sama seperti yang Arunika tuduhkan, jika dia menghindari Arunika karena malu sudah kalah berdebat. Delaney memang berniat menjelaskan materi tambahan ini pada Danan karena tidak sempat tertulis disilabus.
“Dan,” panggilnya pada Danan yang langsung mendongak.
“Iya, Sir,” jawab Danan menghentikan kegiatan menulisnya.
“Boleh saya tanya sesuatu?”
Wajah Danan langsung berubah bingung meski akhirnya mengangguk ragu. “Silahkan, Sir.”
Delaney tampak menimbang sesuatu yang akan dikatakannya. Danan bahkan sudah meletakkan penanya untuk mendengar pertanyaan yang akan diajukan oleh dosennya ini.
“Soal Runi,” Delaney menjeda ucapannya. Melihat ke arah Danan dan mencoba meniliti perubahan dari ekspresi mahasiswanya itu. “Saya lihat dia dekat dengan kamu.”
Danan berusaha untuk tidak merubah ekspresinya meski benar-benar terkejut dengan pertanyaan tak terduga dari dosennya itu.
“Oh iya, Sir. Kita deket, sama Trison juga. Soalnya di kelaskan banyak cewek dan pada cerewet semua. Cuma Aru yang mau sana-sini bantuin saya dan gak banyak ngeluh. Bareng Trison juga, Sir.”
“Jadi kalian semacam genk gitu?”
“Bisa dibilang gitu sih, Sir,” Danan nyengir. “Atau lebih tepatnya, sekumpulan aja lah, Sir. Biar keliatan lebih berkelas.” Dan terkekeh setelahnya.
Delaney diam. Mencoba menata pertanyaan yang lagi-lagi berjubal terlalu ramai di kepalanya tentang gadis itu. “Sudah kenal sejak lama?” pertanyaan itu akhirnya menjadi yang kedua terucap.
“Dari masuk kuliah sih, Sir. Lumayan lama. Tapi kami deketnya waktu udah semester dua, Sir. Baru deh sampe sekarang.” Danan yang memang suka menceritakan Trison dan Arunika, bagitu saja menceritakan segala hal pada Delaney yang semakin penasaran dengan Arunika.
“Dia anak baik-baik?”
“Pardon, Sir?” Danan tampak ingin memastikan pertanyaan Delaney yang baru saja diutarakan.
“Maksud saya, dia anak yang rajin kalo di kelas, kan? Soalnya saya pembimbing akademiknya, jadi saya mau memastikan bagaimana cara belajar Arunika di kelas.” Delaney menelan dengan susah payah salivanya. Kenapa dia bersusah payah mencari alasan hanya untuk menanyakan lebih jauh soal gadis itu?
Bodohnya, Lan.
“Oh dia rajin banget kok, Sir. Biarpun nggak pinter-pinter amat, tapi Aru nggak pernah absen di kelas. Dia juga lumayan aktif kalo ada persentasi. Jadi pembahas ataupun pemateri, Aru selalu nampilin yang terbaik.”
Delaney membisu. Melihat ke arah Danan yang mengerucutkan bibirnya, hendak berbicara lagi.
“Tapi Aru beneran hebat, Sir.” Alis Delaney tertarik sekilas. Sangat penasaran dengan ucapan Danan selanjutnya. Bahkan air muka Danan berubah dengan senyuman seolah benar-benar mengagumi. “Dia, yatim piatu, Sir.” Delaney kontan mengepalkan tangannya karena terlalu terkejut.
“Dua bulan lalu ayahnya baru aja meninggal. Ibunya lebih dulu lima tahun silam, Sir. Aru bahkan membiayai pengobatan alzhemair, penyakit yang diderita ayahnya selama hidup. Dia kerja jadi selebgram dan sering endorse gitu. Saya sama Trison sering bantuin dia buat video endorsenya, sekalian kadang dia pemotretan buat baju-baju promosi dari beberapa butik. Terus Aru juga kerja jadi translator dan interpretor, Sir. Dia juga ngeles-ngelesin anak-anak tetangganya sama kerja tetap disalah satu tempat lembaga bimbel. Aru juga sering ngirim cerita pendek ke majalah dan koran. Dia mah pekerja keras banget, Sir. Salut saya sama dia. Bahkan ya, Sir, dia minta saya sama Trison nyariin kerja lagi yang part time. Dia nggak pengen waktu luangnya terbuang aja sia-sia.
“Apalagi sekarang dia harus ngebiayain hidupnya sendirian kan, Sir. Kuliahnya juga jadi dia deh yang bayar sendiri. Saya juga ngerasanya dia nyari kerja biar nggak ngerasa kesepian di rumahnya. Padahal saya sama Trison sering banget main ke sana. Ya walaupun nggak sampe malem, Sir. Kan nggak mungkin kita berdua nginep di sana.” Danan terkekeh. “Tapi syukurnya tetangga-tetangganya pada baik-baik, Sir. Sering ngajakin Aru duduk-duduk gitu di depan komplek. Aru juga sering dianterin makanan sama ibu-ibu kompleknya. Syukurnya Aru bukan tipe orang yang mudah terpuruk, Sir. Makanya dia keliatan biasa aja. Tapi ya nggak tau gimana isi dalem hatinya sih, Sir.”
Danan menyudahi cerita panjangnya yang bertopik tentang satu manusia bernama, Arunika Aislinn. Sahabat yang selama ini sangat disayangi olehnya dan Trison. Teman sekelas yang meskipun perempuan, sangat membantu banyak hal yang berurusan dengan kerjaan perempuan seperti menulis dan mengetik, pun pekerjaan laki-laki sekalipun. Danan dan Trison bahkan tidak akan ragu sedikitpun mengucapkan bahwa mereka sayang menyayangi Arunika.
Sedang pria yang sempat ingin menanyakan banyak hal pada Danan tentang Arunika, kini malah terdiam dan tidak tau harus berkata apa setelah mendengar cerita panjang dari Danan.
***
Delaney yang masih membereskan alat-alatnya, melirik sekilas ke arah Trison yang sedang berusaha membangunkan gadis yang masih menutup rapat matanya karena tertidur.
Entah apa yang terjadi pada dirinya, Delaney tak ingin mencari tau. Seolah menutupi bahwa ada rasa simpati yang muncul dalam hatinya. Dia bahkan melarang Danan, yang masuk ke kelas kembali bersamanya, untuk membangunkan Arunika yang terpulas.
Untuk kali pertama, Delaney si dosen tak punya hati, membiarkan ada mahasiswa tertidur di kelasnya. Seperti yang diucapkannya minggu lalu, Delaney bahkan tidak mentolerir satu menit pun keterlambatan.
Gue kenapa sih?
“Trison.” Mahasiswanya itu langsung menoleh setelah mendengar panggilan berat, khas dari dosen muda itu.
“Iya, Sir.”
“Biar saya yang bangunin Runi,” ujar Delaney pelan.
“Tapi dia harus bangun dan pulang sama saya, Sir. Soalnya dia nebeng.” Trison tersenyum canggung.
“Kamu tunggu aja dia di parkiran. Biar saya yang bangunin,” titah Delaney tak terbantahkan.
Trison mengangguk pelan dan segera ambil langkah meninggalkan ruangan itu. Sesekali Trison melihat ke belakang, berharap Arunika akan baik-baik saja dengan dosen muda itu di ruangan.
“Anjir!” Suara orang yang bertabrakan dengan Trison terdengar kuat.
“Ssstt!” Trison meletakkan telunjuknya di depan bibir saat melihat Danan yang berdiri kesal di depannya.
“Apaan sih? Aru mana? Mau pulang ini kita,” tanya Danan.
“Aru masih di dalem, Dan,” bisik Trison. “Sama Sir Delan.” Mata Danan membulat sempurna. Sedang Trison mengangguk memastikan bahwa dia berkata jujur. “Beliau nyuruh gue nungguin Aru di parkiran aja. Dan beliau yang mau bangunin si Aru.”
“Serius lo?”
Trison mengangguk. “Ngerikan, Dan?” Trison mengusap lengannya beberapa kali. “Sama! Gue juga merinding,” sambungnya bergidik.
Danan hanya diam. Tak ingin mendebat dan langsung mengajak Trison menunggu Arunika di parkiran. Seperti apa yang Delaney perintahkan.
Sedang di dalam ruangan itu, setelah berkali-kali menghela napas, Delaney akhirnya melangkah mendekati Arunika yang masih pulas. Napas gadis itu sangat teratur.
Delaney berjongkok, mensejajarkan diri dengan Arunika yang kepalanya terkulai di meja. Lama Delaney hanya memandang gadis itu tanpa mengucapkan apa pun dan membiarkan pikirannya berkelana. Sampai mata Arunika bergerak dan membuka kecil. Delaney memang tak berniat untuk beranjak. Membiarkan mata gadis itu melihat langsung wajahnya setelah terbuka.
“Hai,” sapanya pelan.
Arunika mengerjap pelan. Masih belum mengangkat kepala karena belum sadar sepenuhnya.
Mimpi? Indah banget tapi. Arunika meyakinkan dirinya bahwa apa yang dilihatnya sekarang hanyalah mimpi.
Sialan! Umpatan kecil bergumam dalam batin Arunika setelah merasa bahwa wajah di depannya terlihat lebih tampan dari biasa dia lihat.
Ada kehangatan disorot mata hitam itu. Wajah yang biasanya kaku bahkan terlihat lebih lembut. Desiran halus Arunika rasakan menyentuh pelan di hatinya. Dan Arunika tidak menyukai perasaan itu. Terlebih, wajah itulah yang membuat perasaannya damai.
Kenapa harus pria ini?
Arunika kembali menutup rapat kedua matanya. Sekilas. Lalu dibukanya lagi, berharap bahwa ini benar-benar mimpi. Tapi wajah itu kembali menyapa saat retinanya menangkap cahaya dan bayangan.
Ini nyata?
“Dateng ke acara resepsi pernikahan Mas saya, ya? Kamu! Jadi pasangan saya di sana.”
Arunika membuka matanya sempurna. Menjauhkan kepalanya dari meja dan menatap lekat ke arah pria yang masih berjongkok itu.
Ini gila!
***