AJAKAN
‘Aku terjebak dalam permainan yang aku mulai sendiri. Dan ini menyenangkan. ~Delaney Arde Reuven’
Gadis yang sekarang mencepol sembarangan rambutnya itu, sedang asik bersenandung lirih sambil memilih beberapa camilan di rak.
Pagi weekend yang menyenangkan. Tanpa harus memikirkan pekerjaan yang sudah dia selesaikan sebelum weekend. Juga tanpa gangguan dari Trison dan Danan yang sibuk dengan acara organisasi yang mereka ikuti.
Biasanya, kedua manusia itu akan datang pagi-pagi sekali hanya untuk sekadar berceloteh ngalur-ngidul di rumahnya sampai larut. Arunika benar-benar butuh me time. Kepalanya menjadi sering pening karena tugas kuliah yang juga mulai bertumpuk. Belum lagi masalah lain di luar kampus. Lupakan! Arunika sedang tidak ingin mengingat hal-hal yang membuatnya tertekan.
Tangan gadis dengan sweater yang sedikit kebesaran di tubuhnya itu begitu cekatan memasukkan camilan ke dalam trolley belanjanya. Arunika sengaja pergi ke minimarket di dekat rumahnya untuk belanja bulanan. Meski berakhir dengan lebih banyak jajan yang dibelinya.
Setelah sekali lagi berkeliling, Arunika akhirnya ikut mengantre di depan kasir. Sesekali gadis itu menggeliatkan badannya setelah menguap. Jam tujuh pagi. Sejarah Arunika bisa bangun lebih awal di akhir pekan.
Arunika menoleh sesaat merasakan ada seseorang yang berdiri di sampingnya. Mata gadis itu langsung membola. Pria dengan topi, jaket, kaos tipis dan celana training yang semuanya serba hitam itu jelas membuat Arunika terkejut. Dengan wajah tanpa ekspresi, pria itu menoleh ke arah Arunika yang menganga.
“Nggak maju? Dua orang lagi sebelum kamu,” tanya pria itu sedikit memiringkan kepalanya. Memberitahukan bahwa seseorang di depan Arunika sudah menggeser tempatnya berdiri. Pria itu mendorong trolley belanjaan Arunika karena tidak mendapatkan jawaban apa pun dari gadis itu. Arunika yang masih melongo, langsung tersadar dan ikut maju.
“Sir ngapain di sini?” Arunika terang-terangan memperhatikan wajah dosen muda itu.
“Mau jemput kamu, kan?” suara Delaney bahkan tak berintonasi.
Mata gadis itu menyipit. “Ha?”
“Ajakan saya beberapa hari yang lalu itu serius, Runi. Makanya saya jemput kamu.”
Mereka kembali maju ke antrean yang semakin sedikit. “Tau rumah saya dari siapa?” tanya Arunika curiga.
“Danan,” jawab pra itu singkat. Memasukkan kedua tangannya di dalam saku jaket.
Arunika mendengus. Danan! Gue bunuh lo ketemu nanti, ya! Tanpa menunggu Arunika yang masih berdiri dengan kekesalaannya, Delaney sudah mengeluarkan barang-barang milik Arunika di meja kasir.
“Duh, pacar baru, ya, Run?” suara si kasir yang seumuran dengan Arunika membuat gadis itu terkaget dan mendekati Delaney yang masih memilah barang di trolley dengan wajah datar. Seolah tidak terganggu dengan lirikkan centil dari kasir di depannya.
“Dosen gue, Tut!” sergah Arunika mendelik.
“Ganteng, Run,” bisik kasir yang bernama Tuti itu.
Arunika mendekatkan diri ke arah Tuti sambil melirik sekilas ke arah Delaney. “Ambil gih. Gue yakin lo nggak bakal betah. Soalnya ini manusia jelmaan malaikat maut,” balas Arunika dengan bisikkan pula.
Tuti hanya terkekeh dan memukul pelan lengan Arunika yang tersenyum. Delaney hanya diam meski Arunika sempat melihat alis pria itu berkerut tak suka. Sedang Arunika tak acuh dan langsung membayar belanjaannya.
***
Pria itu benar-benar mengikuti Arunika sampai ke depan rumahnya. Karena minimarket yang tidak terlalu jauh, Arunika sengaja berjalan kaki. Sialnya justru semakin memudahkan pria itu mengantarnya dengan mobil yang dia pakai.
“Beneran ini ngajakin saya ke resepsi keluarga Sir?” Arunika meyakinkan ajakkan Delaney sekali lagi.
“Resepsi kembaran saya lebih tepatnya.”
“Kembaran?” Delaney hanya mengangguk, membiarkan Arunika dengan begitu drama menutup mulutnya. “Sir anak kembar?”
“Kembar tiga,” jawab Delaney melepaskan sabuk pengamannya karena mereka sudah sampai di depan rumah Arunika yang masih menganga tak percaya.
“Berarti kalo Sir punya anak nanti, ada kemungkinan bakal kembar juga dong.” Arunika mengikuti gerakan Delaney yang membuka seatbelt.
“Kamu keberatan?”
“Eh?” Napas Arunika terasa tercekat di tenggorokkan. Ditatapnya lekat mata pria yang juga sedang melihatnya.
“Kalo kamu keberatan, nggak punya anak juga nggak papa kok.” Seperti tak ada yang salah dengan ucapannya, Delaney keluar lebih dulu. Meninggalkan Arunika yang terdiam, mencoba mencerna ucapan Delaney barusan. “Nggak mau bantuin saya?” Suara dari arah bagasi mobil membuat Arunika tergagap dan langsung mengekor, ikut keluar dari mobil.
Diterima sodoran paper bag dari pria itu. Arunika menatap paper bag dan Delaney bergantian, tak mengerti. Pria yang sekarang memegang belanjaan di kanan kiri tangannya itu, menatap malas ke arah Arunika.
“Baju untuk kamu pergi sama saya.” Tunjuk Delaney dengan dagunya. Arunika mengangguk kecil dengan wajah yang masih terlihat ragu.
Segera pria itu meletakkan kantong belanjaan Arunika untuk menerima panggilan di ponselnya yang bergetar.
“Halo,” sapa Delaney dengan nada lembut.
“Abang di mana sih? Malah ngilang. Ini kita lagi siap-siap mau ke gedung loh.”
Arunika bisa mendengar suara lirih wanita di seberang telpon. “Iya. Kan tadi abang bilang mau jemput orang dulu.”
Selama tiga tahun menjadi anak bimbingan akademik Delaney, Arunika yakin bahwa ini kali pertamanya dia mendengar suara lembut dari dosen itu.
“Masih lama emang?”
“Enggak kok,” Delaney melirik sekilas ke arah Arunika yang jelas menatapnya penuh keingintahuan. “Ibu sama yang lain duluan aja. Nanti abang nyusul.”
“Siapa, bang? Calon mantu baru buat ibu, ya?”
Arunika melebarkan matanya sekilas. Suara perempuan itu jelas terdengar olehnya. Jika Delaney memanggil dengan panggilan ibu, bukankah berarti itu istri dari Alder Reuven? Arlova Zemira?
Delaney tampak gugup setelah mendengar pertanyaan jahil dari ibunya itu. “Abang siap-siap jalan. Ibu hati-hati. Biar Declan aja yang nyetir, daddy jangan dibolehin nyetir. Dah ibu.”
Tanpa menunggu jawaban dari ibunya, Delaney langsung memutuskan sambungan telepon sepihak. Arunika menyipitkan matanya, mencari penjelasan.
“Ibu saya, dan dia nyuruh saya cepet dateng nyusulin mereka ke gedung resepsi. Bisa kamu cepet masuk dan siap-siap, Runi?”
Dengan mencebikkan bibirnya, Arunika akhirnya mengangguk setuju.
***
Delaney mengedar pandangan ke seluruh ruangan rumah Arunika. Gadis itu menoleh dan sangat sadar, bahwa Delaney sedang memperhatikan bentuk rumahnya.
Ada dinding besar yang hanya tertutup kaca. Dan beberapa bedsofa dengan meja kaca yang bertumpu pada lapisan kayu. Dekat pintu masuk, ada tangga menuju lantai dua yang terbuka tanpa dinding. Delaney yakini bahwa itu kamar Arunika. Di ruangan tanpa sekat lantai bawah di belakang sofa, terdapat dapur berbentuk minibar.
“Saya sengaja pindah ke tempat yang lebih kecil dan praktis. Karena saya tinggal sendirian,” ujar Arunika dengan senyum tipis, membantu Delaney membawa belanjaan menuju dapur.
“Not bad.”
Arunika tercenung mendengar balasan singkat terkesan tak acuh dari Delaney. Ditolehnya pria yang dengan suka rela mengeluarkan barang-barang belanjaannya dari kantong plastik. “Sir nggak pengen tau kenapa saya tinggal sendirian?”
Pria itu masih sibuk dengan kegiatannya. “Kalo kamu bersedia cerita, saya akan dengan senang hati mendengarkan.”
Entah kenapa, Arunika merasakan desiran itu kembali mengusap kecil hatinya. Selama ini, Arunika selalu mendapatkan perhatian-perhatian yang lebih menjurus ke arah rasa kasihan. Untuk kali pertama, ada orang yang menganggap normal kehidupannya.
“Saya sebatang kara, yatim piatu. Dan menghidupi diri saya sendirian.”
Arunika melihat ke arah Delaney yang sekarang juga menatapnya dengan wajah tanpa perubahan. “Perempuan hebat.” Arunika tertegun. “Gak semua orang bisa kayak kamu. Terlebih kamu perempuan,” sambung Delaney tanpa beban.
Arunika mencelos. Tak pernah dia mendapatkan balasan yang santai namun menenangkan seperti saat ini sebelumnya.
“So, my strong girl. Lebih baik kamu siap-siap sekarang karna saya harus cepet nyusulin keluarga saya ke gedung resepsi sebelum ibu saya nelpon lagi.” Delaney membalikkan tubuh Arunika secara paksa dan mendorong gadis itu untuk segera berganti pakaian.
Sedang Arunika yang mulai melangkah, kembali melihat ke arah Delaney yang kembali sibuk menata barang-barang belanjaannya. Arunika seperti tidak mengenali Delaney yang sekarang. Sebab selama ini, hanya Delaney si dosen kaku yang selalu dilihatnya saat di kampus.
Dan apa tadi katanya? My strong girl? Arunika tidak mungkin salah dengar, kan?
***
Delaney duduk di single sofa dan menyelonjorkan kakinya sambil menunggu Arunika turun. Karena sudah terbiasa dengan ibunya, Delaney bahkan tidak berniat mengeluh dengan waktu yang harus dipakai Arunika untuk berdandan.
Perempuan memang butuh banyak waktu buat dandan, kan?
Delaney merebahkan kepalanya di sandaran sofa dengan helaan napas panjang. Cukup melelahkan membereskan barang-barang belanjaan Arunika dan merapikan isi kulkas gadis yang ternyata cukup berantakan itu. Delaney bukan tipe orang yang suka bebersih, tapi dia hanya tidak bisa melihat sesuatu yang tidak tersusun pada tempatnya.
Suara ketukan high heels membuat mata Delaney yang semula memejam kini terbuka. Gadis dengan gaun panjang putih yang melekat dengan sempurna di tubuhnya, turun dengan wajah canggung. Seakan takut penampilannya tak begitu memuaskan.
Sedang Delaney sudah berdiri dari tempatnya duduk. Menatap tanpa jeda pada perempuan yang kini berjalan ke arahnya.
“Aneh, ya, Sir?” Suara perempuan itu terdengar tak percaya diri.
Delaney berdehem. Mencoba mengendalikan dirinya yang tiba-tiba saja tergugup. “Bagus kok. Bajunya cantik,” jawab Delaney sudah menormalkan wajahnya.
Arunika mengerutkan wajahnya tanda tak setuju. Guenya kek yang dipuji cantik. Malah ini baju! Mentang-mentang dia yang ngebawain.
“Kamu juga cantik.” Arunika mendongak. Jika dia tak salah melihat, ada senyum samar nan singkat tersemat di kedua sudut bibir pria itu. “Ayo. Saya juga harus siap-siap.”
Tak sempat Arunika menikmati wajahnya yang tersipu, Delaney sudah dengan lembutnya menggenggam tangannya. Meminta Arunika untuk segera pergi.
***