Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

KETERLAMBATAN

‘Analogikan hidup seperti donat. Pasti ada manis yang beriring dengan lubang yang menjadi hambatan.’

“What!!!” teriakan dari Trison, sahabat Arunika itu tak mengubah ekspresi datar dari gadis berambut lurus yang hanya memutar malas matanya.

“Kidding lo nggak lucu, Ru,” sambung Trison mendengus kesal.

“Gue lagi nggak kidding, Con. Kemaren gue ketemu sama itu malaikat maut dan dia ngomong sendiri di depan gue soal proposal buat tugas akhir kita nanti.”

Arunika menyeruput cappucino cincau dihadapannya. Sedang Trison menggeleng dan kembali memakan minas (mie dan nasi) toping sosis dan telur mata sapi dengan tergesa karena emosi.

“Ghue shumpahyin ityu manushia kaghak dhapeht bhini,” cerocos Trison dengan mulut penuh, membuat beberapa nasi di dalam mulutnya meloncat keluar.

“Jorok ih.” Delik Arunika dengan wajah kesal karena terkena semburan nasi Trison yang kini hanya nyengir. “Lagian kagak mungkin dia nggak bakal punya bini. Analoginya ya, Con, dia tuh kek malaikat maut di drama Goblin. Ganteng, misterius. Dan lo tau sendiri, kan, fandom dia se-universitas raya? Dikedipin sedikit aje udah bertekuk lutut di depan dia deh itu pasti cewek-cewek alay.”

Trison menelan makanannya dan menatap Arunika dengan kerutan di wajah karena terlalu banyak menelan nasi ke dalam mulutnya sehingga sulit tercerna dari tenggorokan ke perut.

“Lo suka juga sama itu bapak-bapak es batu?”

“Enggak, lah. Gue anti-fan nya dia, betewe.” Arunika langsung menjawab cepat tanya Trison.

“Kirain lo juga udah jadi salah satu fansnya si malaikat maut,” ujar Trison santai.

“Amit-amit jabang orok deh, Con. Biarpun cuma ada dia satu-satunya cowok di dunia ini, kagak bakal mau gue sama dia. Tetep!” Arunika mengetukkan tangannya yang terkepal di atas meja beberapa kali.

Trison terkekeh. “Jangan begitu lo. Kemakan omongan sendiri entar. Tiba-tiba lo yang jadi jodohnya itu malaikat maut kan kagak ada yang tau.”

Arunika mendelik tak suka. “Nyumpahin gue lo?”

“Ngingetin aja, pinter.” Trison mengulum senyum setelah melihat tangan Arunika yang sudah terkepal siap meninjunya.

“Gue minta capcin lo, Ru.” Seseorang yang tiba-tiba duduk di samping Arunika langsung meraih gelas yang masih berisi setengah cappucino cincau milik Arunika.

Arunika dan Trison serentak melihat ke arah cowok yang sekarang menghembuskan napasnya agar teratur kembali setelah menghabiskan minuman milik Arunika.

“Habis lomba marathon lo, Dan?” tanya Trison setelah menelan suapan terakhir di piringnya.

“Ck, pusing gue.” Cowok itu berdecak melihat kedua temannya bergantian. “Bakal jadi kating seumur hidup keknya ini,” sambungnya.

Tawa langsung terdengar dari Arunika dan Trison yang mengerti dengan waksud ucapan teman sekelas mereka ini.

“Jangan tawa lo berdua!” Delik cowok itu kesal. “Gara-gara lo deh, Son, kagak mau banget gantiin gue jadi kating.” Tunjuknya sebal ke arah Trison.

“Ogah gue. Manusia di kelas kita itu seluruhnya cewek-cewek lambe turah. Dan gue nggak mau ribet sama mulut mereka.” Trison mengibaskan tangannya di muka sekilas.

“Iya, lo termasuk ke dalam cewek-cewek lambe turah tuh.”

“Ngajakin berantem deh ini, kating,” gerutu Trison.

“Kita cuma berdua sebagai laki-laki tangguh di antara delapan belas cewek di kelas ya, Son, betewe. Dan lo malah milih ninggalin gue ngurusin kelas sendirian yang isinya itu para perempuan ribet. Tega lo, Son. Gue gak nyangka.”

“Drama!” umpat Trison mendengus. Arunika hanya terkekeh melihat kelakuan kedua teman laki-lakinya ini.

Xavier Dananjaya Khairil, ketua tingkat di kelas Arunika sejak mereka semester awal sampai di semester enam ini. Danan dan Trison adalah dua laki-laki yang terperangkap dengan delapan belas wanita di kelasnya seperti yang Danan bilang tadi.

Sebagai dua laki-laki tangguh, Danan dan Trison harus rela menjadi pacar untuk seluruh perempuan di kelas dan harus bersedia saat perempuan-perempuan manja di kelas meminta bantuan mereka. Dan Arunika akui, kedua laki-laki ini sangat sabar menghadapi teman-teman perempuan lainnya yang kadang sangat rewel.

“Jadi jadwal kita gimana, Dan?” tanya Arunika, akhirnya.

“Ya ini makanya gue mau minta tolong ke lo berdua.” Danan meraih jus jeruk milik Trison dan menyesapnya sampai habis. “Temuin Prof. Adref, ya. Tolong,” sambungnya dengan wajah meminta.

“Ngapain?” tanya Trison.

Danan mengambil sesuatu di dalam tasnya. “Kasih tau ke beliau soal jadwal ini.” Selembar kertas Danan sodorkan. “Soalnya beliau ngajar Research Proposal Seminar dan dapet jadwal sore. Gue takutnya beliau nggak sempet dan mau ganti jadwal. Lo pilihin deh tuh hari yang kelas kita kosong. Tau sendiri Prof. Adref gimana, kan? Lebih baik kita konfirmasi duluan deh.”

Trison meraih kertas itu dan membaca beberapa saat, lalu menyodorkannya ke arah Arunika. “I knock, you talk. As always, Ru.” Cengiran dari Trison membuat Arunika ingin menghajar temannya itu.

“Terus lo ngapain?” tanya Arunika pada Danan.

“Gue harus temu sama calon suami delusinya cewek-cewek di kampus ini. Gue mau konfirmasi juga kalo dia entar ngajar kita jam satu nanti.”

“Astaga! Beneran hari ini kita di ajar sama itu malaikat maut, Dan?”

Danan hanya mengangguk mengiyakan tanya Trison. Sedang Arunika hanya bisa diam seolah baru menyadari jika semester ini dia akan bertemu dengan pembimbing akademiknya itu. Entah kenapa perasaan Arunika jadi tidak enak.

“Jadi inget, ya. Kita kuliah sama Sir Delan jam satu. Jangan sampe telat. Pikir deh gimana caranya ketemu sama Prof. Adref dan gak telat di kelas Sir Delan. Saran gue sekarang aja temu Prof. Adref nya, mumpung masih jam sepuluh.”

Arunika dan Trison mengangguk menyetujui.

***

“Shit!” Arunika mengumpat keras saat melihat Trison langsung berlari meninggalkannya setelah keluar dari ruangan Prof. Adref.

“Buruan, Ru. Telat ini,” teriak Trison sambil menoleh ke belakang di sela langkah cepatnya.

“Gue juga tau, Ticon. Tungguin ih!” balas Arunika dengan langkah besar menyusul Trison.

Jam satu lewat sepuluh menit. Dan Arunika tau persis bahwa dia sudah telat sepuluh menit di kelas Delaney. Jika tidak harus menunggu Prof. Adref satu jam lebih dan berbincang cukup alot dengan dosen senior yang banyak maunya itu, Arunika dan Trison pasti tidak harus berlarian seperti sekarang. Professor Adref adalah salah satu dosen senior yang sangat sensitif dengan hal-hal kecil. Beliau bahkan meminta jadwal sesuai dengan apa yang beliau putuskan.

“I am a busy person.” Itulah yang diucapkan Prof. Adref saat Danan lalai tentang jadwalnya mengajar semester lalu. Sebab itulah kenapa Danan harus mengkonfirmasi kepada dosen senior itu tentang jadwalnya.

Trison dan Arunika berhenti berlari dan mencoba menormalkan kembali napasnya yang tersengal setelah berdiri cukup jauh di depan pintu kelas mereka.

“Masuk gih, Ru.” Trison menyenggol lengan Arunika cukup kuat. Sehingga gadis itu hampir saja terjatuh.

“Enak ya lo jadi bocah. Tadi ninggalin gue seenaknya, sekarang nyuruh gue masuk duluan. Gue jambak juga itu jengkot jarang-jarang kek bulu kaki,” cerocos Arunika kesal.

“You are my savior, Ru. Gurdian angelnya gue kan, ya? Cantik begini.”

Arunika berdecih jijik. Karena tau jika Trison sedang merayunya. “Potong lagi aja itu titit. Sama malaikat maut wujud manusia aja takut lo.”

Trison menyentuh daerah masa depannya dengan wajah penuh ketidaksetujuan. “Cewek yang mulutnya kagak punya filter mah cuma elo, Ru,” sungut Trison.

“Bacot!” Arunika berjalan mendahului Trison yang langsung mengekori.

Mereka berjingkat dan mencoba mengintip ke arah dalam kelas. Para mahasiswa perempuan sedang dengan fokusnya melihat ke arah depan. Senyuman malu-malu dari teman-teman perempuan Arunika itu jelas menggambarkan bahwa apa yang sedang mereka liat di depan kelas sangat menyenangkan untuk di tatap. Mata Arunika bertumbuk dengan milik Danan yang langsung memelototkan matanya.

“Telat 10 menit lo,” ujar Danan tanpa suara. Arunika mengangguk, lalu mengangkat tangannya tanda tak bisa melakukan apa pun untuk keterlambatannya.

Danankating : Masuk aja buruan. Malaikat maut lagi sibuk sama laptopnya.

Arunika langsung membaca pesan Danan setelah mendapat kode dari katingnya itu. Bersikap normal, Arunika dan Trison langsung masuk dan duduk di kursi yang masih kosong di dekat Danan. Bersyukurnya Danan duduk di pojok belakang dan dosen muda itu sedang sibuk mencari sesuatu di laptopnya dengan posisi membelakangi para mahasiswa.

“Bisa telat coba? Kan gue udah bilang jangan sampe telat,” bisik Danan dengan mata yang melebar.

“Si Aru nih.” Trison menyenggol Arunika yang mendengus.

“Jangan pada melotot lo berdua. Gue colok itu entar mata. Tau sendiri Prof. Adref gimana dong, Dan.”

Ketiga manusia itu langsung terdiam saat mendengar deheman kuat dari arah depan. Berekspresi sewajar mungkin untuk tidak membuat manusia di depan kelas itu jadi curiga.

“Danan.” Panggilan itu membuat Danan langsung menegakkan tubuhnya.

“Yes, Sir.”

“Saya akan kirim silabus dan rancangan belajar kita buat satu semester ini ke e-mail kamu. Tolong dibagiin ke temen-temen sekelas.” Meski ada kata-kata tolong dalam kalimat dari dosen muda itu, tapi nadanya benar-benar dingin tanpa intonasi.

“Baik, Sir. Nanti akan langsung saya bagikan.”

Delaney mengangguk pelan. “Satu lagi pesan saya untuk kalian. Jangan jadi mahasiswa yang lebih sibuk dari pada dosen.” Arunika menahan napasnya. Trison bahkan sudah menggenggam sebelah tangan Arunika karena cemas. Sudah tau akan ada kalimat sarkas setelah ini.

“Sehingga datang lebih terlambat daripada dosennya.” Tentu saja benar. “Kalian sudah pernah belajar dengan saya, kan? Saya tidak mentolerir satu menit pun untuk keterlambatan setelah saya masuk ke kelas.”

Dua orang manusia di samping Danan sudah hampir kehilangan nyawa mereka saat tatapan dosen muda itu melihat tepat ke arah mereka.

“Tapi hari ini saya sedang berbaik hati. Anggap saja keterlambatan sepuluh menit itu tidak ada.” Kalimat sarkas itu cukup mampu membuat Trison dan Arunika sadar bahwa yang sedang dibicarakan adalah mereka berdua.

“Gue mending dihukum deh dari pada dia baik begini, Ru. Lebih mengerikan loh.” Trison sempat berbisik ke arah Arunika yang tidak membalas.

“Runi.” Jelas saja, siapa lagi yang memanggilanya dengan nama Runi selain dosen tampan di depan kelasnya saat ini?

Saat semua teman-temannya memanggil dengan sebutan Aru atau Arun, pria itu malah memanggilnya seperti kedua orang tuanya dulu. Arunika ingin merasakan kehangatan saat nama Runi terdengar, tapi tak ada kehangatan itu karena pria di depannya ini bahkan seperti menunjukkan aura permusuhan dengannya.

“Copy materi yang akan kita bahas minggu depan. Sebelum saya datang, materi itu sudah harus ada di meja kelas. Tanpa keterlambatan lagi!”

Arunika mendengus di kursinya. Mencoba menahan emosi yang kembali memuncak setelah bertemu dengan pria tampan nan kejam di depannya ini.

“Runi.” Arunika mendongak, menatap manik hitam itu. “You got it?”

“I am, sir,” jawab Arunika akhirnya.

“Good!” pria itu mengangguk tanpa beralih dari wajah Arunika yang sudah memerah karena marah. Trison bahkan memiringkan tubuhnya ke arah Danan karena tidak ingin menjadi pelampiasan emosi temannya sekelasnya itu.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel