Bab 4. Perdebatan Di Keluarga Wijaya
Di ruang tamu rumah Wijaya, suasana tegang menyelimuti. Dea duduk di sofa, sementara Bu Anis dan Pak Wijaya berdiri di hadapannya, wajah mereka menunjukkan kekhawatiran dan determinasi.
“Dea, ini adalah kesempatan yang baik untukmu dan untuk kita semua. Keluarga Herman sangat terhormat dan memiliki koneksi yang kuat,” Pak Wijaya mulai berbicara, mencoba menjelaskan rencananya.
“Bapak, saya tidak mau menikah hanya karena alasan bisnis! Ini bukan hal yang saya inginkan!” Dea menjawab dengan nada tinggi, frustrasi mulai terlihat di wajahnya.
“Ini bukan hanya tentangmu, Dea! Ini tentang masa depan keluarga kita! Jika kamu menikahi Herman, usaha kita akan berkembang pesat, dan kita bisa membangun hubungan yang lebih kuat!” Bu Anis menambahkan, suaranya penuh harapan.
“Jadi, semua ini hanya tentang bisnis? Tidak ada yang peduli dengan perasaan saya?” Dea merasa marah dan terluka. “Saya tidak mengenal Herman, dan saya tidak ingin terjebak dalam pernikahan yang tidak didasari cinta!”
“Cinta bisa tumbuh seiring waktu. Kamu tidak perlu mengenalnya lebih baik sebelum menikah,” Pak Wijaya mencoba meyakinkan putrinya. “Ini adalah langkah strategis.”
“Strategis? Apakah Bapak benar-benar berpikir bahwa pernikahan ini akan berhasil jika tidak ada cinta di dalamnya?” Dea merasa putus asa. “Saya tidak ingin hidup dalam hubungan yang dipaksakan!”
Bu Anis mendekat, mencoba menempatkan tangan di bahu Dea. “Sayang, kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Kami khawatir kamu akan semakin tua dan tidak memiliki pasangan. Ini adalah cara untuk melindungimu.”
“Saya tidak butuh perlindungan! Saya bisa mengurus diri sendiri!” Dea menjawab, suaranya mulai bergetar. “Saya ingin menikah karena cinta, bukan karena tekanan dari orang tua!”
“Dan kami ingin melihatmu bahagia, Dea. Tapi kebahagiaan tidak selalu datang dengan cara yang kita inginkan. Kadang-kadang, kita harus berkorban untuk mendapatkan apa yang terbaik,” Pak Wijaya berkata, suaranya tegas namun penuh kasih.
Dea merasa hatinya hancur. “Jadi, Bapak ingin saya berkorban dengan menikahi seseorang yang tidak saya cintai? Ini semua hanya untuk keuntungan bisnis?”
“Tidak, ini bukan hanya untuk keuntungan bisnis. Ini tentang masa depan kita semua,” Bu Anis berusaha menjelaskan lebih lanjut. “Keluarga Herman memiliki reputasi yang baik, dan mereka akan membawa banyak keuntungan bagi perusahaan kita.”
“Dan bagaimana dengan perasaan saya? Apakah itu tidak penting?” Dea bertanya, menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. “Saya tidak mau menjadi pengantin tanpa cinta. Saya ingin pernikahan yang tulus, bukan sekadar formalitas.”
“Kami tidak sedang memaksamu, Dea. Kami hanya ingin kamu mempertimbangkan semua aspek,” Pak Wijaya berkata, tetapi nada suaranya mulai melunak.
“Pertimbangan? Saya sudah mempertimbangkan semuanya, dan saya menolak!” Dea berkata tegas, merasa semakin marah. “Saya tidak ingin hidup dalam pernikahan yang tidak berarti!”
Bu Anis mencubit hatinya, merasakan kesedihan putrinya. “Dea, tolong... Kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Kami mencintaimu dan ingin melihatmu bahagia.”
“Cinta? Bagaimana Bapak dan Ibu bisa mengatakan itu sementara kalian ingin menjodohkan saya dengan pria yang tidak saya kenal?” Dea merasa sakit hati. “Saya tidak akan menikah dengan Herman, dan itu adalah keputusan akhir saya!”
Mendengar keputusan tegas Dea, Pak Wijaya merasa frustrasi. “Dea, kamu tidak dapat membuat keputusan ini hanya berdasarkan emosi! Ini adalah langkah yang sangat penting bagi keluargamu! Kita semua terlibat dalam ini!”
“Saya tidak peduli! Saya akan kembali ke apartemen saya dan tidak akan ada yang bisa memaksa saya untuk melakukan sesuatu yang tidak saya inginkan!” Dea berdiri dengan penuh semangat, menatap kedua orangtuanya dengan mata penuh determinasi.
Bu Anis berusaha menahan Dea. “Dea, jangan pergi dengan cara seperti ini! Kita bisa membicarakannya lebih lanjut!”
“Tidak, Ibu. Saya sudah cukup berbicara. Saya tidak mau terjebak dalam diskusi yang tidak akan menghasilkan apa-apa,” Dea menjawab, dengan suara yang mulai pecah.
Dengan itu, Dea bergegas keluar dari rumah, meninggalkan kedua orangtuanya dalam kebingungan. Dia merasa hancur dan kecewa, tetapi juga merasa lega bisa mengungkapkan perasaannya. Dia berjalan menuju mobilnya dengan langkah yang cepat, air mata mulai mengalir di pipinya.
Setelah masuk ke dalam mobil, dia menyalakan mesin dan mulai berkendara menuju apartemennya. Setiap detik terasa berat, dan pikirannya dipenuhi dengan berbagai emosi. Dia merasa bingung, marah, dan kesepian. Kenangan tentang pertemuan dengan keluarga Herman terus menghantuinya, dan dia tahu bahwa pernikahan yang diinginkan orangtuanya adalah sesuatu yang tidak pernah dia harapkan.
Setibanya di apartemen, Dea langsung masuk dan menutup pintu dengan keras. Dia bersandar pada pintu, mencoba mencerna semua yang baru saja terjadi. Dia merasakan hancur di dalam hatinya, bertanya-tanya apakah dia benar-benar bisa mempertahankan keinginannya untuk mencintai dan dicintai dengan tulus.
“Apa yang harus aku lakukan?” Dea bergumam pada dirinya sendiri, merasa terjebak antara harapan dan kenyataan. Dia tahu bahwa langkah selanjutnya akan menjadi perjalanan yang sulit, tetapi dia bertekad untuk tidak menyerah pada impiannya akan cinta sejati.
-----
Mencari Suasana Segar di Kafe
Dea merasa terjebak dalam pikirannya sendiri. Kamar apartemennya terasa sempit dan pengap, seperti dinding yang menekan perasaannya. Setelah berusaha menenangkan diri, dia akhirnya memutuskan untuk keluar. Dia butuh udara segar dan sebuah tempat untuk meredakan emosi yang berkecamuk dalam dirinya.
Dengan cepat, Dea mengendarai mobilnya menuju kafe "Wayae Ngopi," tempat yang dikenal nyaman dan hangat. Setiap kali dia datang ke sana, suasana yang tenang selalu membuatnya merasa lebih baik. Ketika tiba, dia segera melangkah masuk, dan aroma kopi segar menyambutnya.
Di dalam kafe, Astri, adik pemilik kafe, sedang mengatur meja. Melihat Dea, wajahnya langsung bersinar. “Dea! Senang melihatmu! Apa kabar?” Astri menyapa dengan antusias.
“Tidak baik, Astri. Aku butuh tempat untuk curhat,” Dea menjawab, suaranya terdengar lelah.
Tanpa ragu, Astri mempersilakan Dea duduk di salah satu meja di dekat jendela. “Tentu! Apa yang terjadi? Kamu terlihat sangat terbebani.”
Dea menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya sebelum mulai bercerita. “Orangtua aku menjodohkan aku dengan seorang pria yang tidak aku kenal. Mereka bilang ini untuk kebaikan keluarga dan bisnis, tapi aku merasa tertekan.”
Astri mengangguk, mendengarkan dengan seksama. “Wow, itu pasti sangat sulit. Jadi, kamu tidak ingin menikah dengan pria itu?”
“Tentu saja tidak! Aku tidak mengenalnya, dan yang lebih penting, aku tidak mencintainya. Aku ingin menikah karena cinta, bukan karena perjodohan yang tidak diinginkan,” Dea menjelaskan, suaranya mulai bergetar.
Dia melanjutkan, “Aku merasa seperti hidupku sedang dikendalikan oleh orang lain. Aku ingin membuat keputusan untuk diriku sendiri.”
Astri mengernyit, berusaha memahami. “Aku belum pernah mengalami perjodohan, jadi aku tidak bisa membayangkan betapa sulitnya ini. Tapi, jika aku berada di posisimu, aku pasti akan merasa sama.”
“Tapi apa yang harus aku lakukan? Orangtuaku sangat ingin aku menikah, dan mereka tidak mendengarkan keinginanku,” Dea mengeluh, menundukkan kepala.
Astri berpikir sejenak. “Mungkin kamu bisa berbicara lagi dengan orangtuamu. Cobalah untuk menjelaskan perasaanmu dengan lebih jelas. Mungkin mereka belum benar-benar memahami pandanganmu.”
“Aku sudah mencoba, Astri. Tapi mereka hanya melihat ini sebagai peluang bisnis. Mereka tidak peduli dengan perasaanku,” Dea menjawab, merasa frustrasi.
Astri mengangguk, tetapi kemudian dia tersenyum. “Kau tahu, kadang-kadang orangtua kita hanya ingin yang terbaik untuk kita, meskipun mereka tidak selalu tahu apa yang kita inginkan. Mungkin mereka berpikir pernikahan ini akan membahagiakanmu.”
“Ya, tapi kebahagiaan yang seperti apa jika aku terpaksa menikah?” Dea merespons, matanya berbinar dengan emosi. “Aku merasa hancur. Aku tidak ingin menghabiskan hidupku dengan seseorang yang tidak aku cintai.”
Astri menghela napas, tidak tahu harus berkata apa. “Mungkin kamu perlu memberi waktu bagi dirimu sendiri untuk merenung. Temukan apa yang sebenarnya kamu inginkan. Jangan terburu-buru mengambil keputusan.”
Dea mengangguk, tetapi hatinya masih terasa berat. “Aku tahu, tapi semua ini membuatku merasa terjebak. Aku tidak ingin kehilangan kesempatan untuk mencintai dan dicintai.”
“Cinta itu penting, Dea. Dan kamu pantas mendapatkan cinta sejati. Jika pernikahan itu tidak sesuai dengan apa yang kamu inginkan, maka mungkin itu bukan jalan yang tepat untukmu,” Astri mencoba memberikan semangat.
“Terima kasih, Astri. Aku menghargai semua nasihatmu. Meskipun aku tahu kamu belum pernah mengalami hal ini, tapi setidaknya berbicara denganmu membuatku merasa sedikit lebih baik,” Dea mengucapkan terima kasih, merasakan kelegaan sedikit dari beban yang dia rasakan.
“Tidak masalah! Kapan saja kamu perlu curhat, datanglah ke sini. Aku akan selalu ada untukmu,” Astri menjawab, senyum hangat menghiasi wajahnya.
Dea memesan segelas kopi dan sepotong kue, merasa sedikit lebih tenang. Mereka melanjutkan percakapan, membahas hal-hal lain yang lebih ringan, dan Dea mulai merasa suasana hatinya membaik. Dia menyadari bahwa meskipun hidupnya sedang kacau, masih ada tempat untuk menemukan kedamaian dan dukungan.
Ketika Dea selesai, dia merasa lebih siap untuk menghadapi tantangan yang ada di depannya. “Aku akan mencoba berbicara lagi dengan orangtuaku. Mungkin aku bisa membuat mereka mengerti betapa pentingnya keputusan ini bagiku.”
“Betul! Jangan ragu untuk berbicara dari hati ke hati. Mereka mungkin akan lebih memahami jika kamu jujur tentang perasaanmu,” Astri memberi semangat.
Dea tersenyum, merasakan harapan yang kembali muncul dalam dirinya. “Terima kasih, Astri. Kamu benar-benar teman yang baik. Aku beruntung bisa mengenalmu.”
“Dan aku beruntung bisa membantu. Ingat, kamu tidak sendirian dalam ini,” Astri menjawab, matanya bersinar dengan dukungan.
Setelah menghabiskan waktu di kafe dan berbicara dengan Astri, Dea merasa lebih kuat. Dia tahu bahwa perjalanan ke depan akan sulit, tetapi dia bertekad untuk memperjuangkan kebahagiaannya sendiri. Dengan semangat baru, Dea meninggalkan kafe dengan langkah yang lebih ringan, siap untuk menghadapi orangtuanya dan memperjuangkan keinginannya.
*****