Ringkasan
Dea, seorang pengusaha sukses di Surabaya, terjebak dalam perjodohan yang tak diinginkan dengan Herman, anak rekan bisnis ayahnya. Karena kedua orang tuanya takut kalau Dea menjadi perawan tua. Pernikahan mereka didasari oleh ambisi orang tua dan bukan cinta. Dea merasakan sakit hati dan kekecewaan karena Herman tetap setia pada kekasihnya, Alina. Rumah tangga Dea dan Herman jauh dari kata harmonis, tiada hari tanpa pertengkaran. Bu Lina, ibu Herman, menghina Dea sebagai perempuan mandul, tak bisa hamil dan menuntut perceraian. Dea, yang merasa terbebas dari pernikahan yang menyakitkan, menerima perceraian dengan lega. Dirinya berstatus janda tapi perawan, karena selama pernikahan Herman tidak pernah menyentuh. Setelah perceraian, Dea kembali ke orang tuanya dan fokus pada kariernya. Ia bertemu dengan Arya, seorang barista kopi, yang menjadi sahabatnya. Dea belajar untuk mencintai dirinya sendiri dan menemukan kembali kebahagiaan. Kisah cinta mereka akan berlanjut di bawah hujan, menceritakan tentang kekuatan cinta dan harapan.
Bab 1. Dea CEO Wijaya Group
Dea memandang keluar jendela kantornya yang megah, melihat hiruk-pikuk kota Surabaya di bawah. Kaca jendela itu memantulkan wajahnya yang tegas dan penuh ambisi, tetapi di dalam hatinya, ada kekosongan yang sulit dia ungkapkan. Di usianya yang ke-30, dia adalah CEO Wijaya Group, sebuah perusahaan yang didirikan oleh ayahnya, Wijaya. Namun, kehidupan pribadinya jauh dari kesempurnaan.
Ketika pintu kantor terbuka, Laras, sekretaris sekaligus sahabatnya, masuk dengan senyuman lebar. "Dea, ada undangan makan malam dari Bapak untuk kita. Beliau ingin membahas beberapa rencana bisnis, tapi sepertinya ada yang lebih penting yang ingin dia bicarakan."
Dea mengerutkan dahi. "Apa maksudmu, Laras? Apa Bapak menyebutkan tentang pernikahan lagi?"
"Ya, aku rasa begitu. Dia khawatir kamu belum juga menemukan cinta sejati," jawab Laras sambil menggoda.
Dea menghela napas. "Aku tahu, Laras. Tapi aku tidak ingin menikah hanya karena tekanan dari orangtuaku. Aku ingin cinta yang tulus, bukan sekadar status."
Laras duduk di kursi di depan meja Dea. "Tapi, Dea, kamu sudah 30 tahun. Aku sudah menikah dan punya anak. Aku hanya ingin melihatmu bahagia."
Dea tersenyum tipis. "Bahagia bisa datang dalam bentuk yang berbeda. Saat ini, aku bahagia dengan karierku. Mungkin cinta akan datang di waktu yang tepat."
Laras mengangguk, meski wajahnya menunjukkan keraguan. "Tapi bagaimana jika waktu itu tidak datang? Apa yang akan kamu lakukan?"
Dea menatap Laras dengan serius. "Jika cinta tidak datang, aku akan tetap berdiri di atas kakinya sendiri. Aku tidak akan tergantung pada orang lain untuk merasa lengkap."
Laras menghela napas panjang. "Kamu memang selalu kuat, Dea. Tapi jangan lupa untuk membuka hati. Siapa tahu, cinta sejati bisa datang ketika kamu tidak mengharapkannya."
Dea menggerakkan bahunya. "Baiklah, kita lihat saja. Yuk, kita pergi makan malam. Bapak pasti sudah menunggu."
Ketika mereka berjalan menuju ruang pertemuan, Dea merasakan keraguan di hatinya. Dia tahu bahwa orangtuanya sangat mengharapkan dia menikah, tetapi dia tidak ingin menjadi janda yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.
Di ruang makan, ayahnya, Wijaya, sudah duduk dengan tampilan serius. "Dea, terima kasih sudah datang. Ada banyak hal yang ingin kita diskusikan."
"Ya, Bapak. Apa yang perlu kita bicarakan?" Dea bertanya, berusaha menetralkan suasana.
"Saya ingin berbicara tentang masa depanmu. Kami sangat mengkhawatirkan kehidupan pribadimu," ujar Wijaya, menatap langsung mata Dea.
"Ini tentang pernikahan lagi, kan?" Dea bisa merasakan ketegangan dalam suaranya.
"Dea, kamu sudah cukup dewasa untuk membangun keluarga. Kami ingin melihatmu bahagia," jawab Wijaya dengan lembut.
Dea menggigit bibir, berusaha menahan emosinya. "Bapak, saya bahagia dengan karier saya. Cinta itu penting, tapi saya tidak ingin menikah hanya karena tekanan."
"Dan kami tidak ingin kamu menjadi perawan tua, Dea," Laras menyela, mencoba menambah kejelasan.
Dea menatap Laras dengan tajam. "Laras, aku mengharapkan dukunganmu, bukan penilaian."
"Maaf, aku hanya... Khawatir," Laras menjawab, mengalihkan pandangannya.
"Dea, kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Percayalah, cinta bisa datang jika kamu membuka diri," ujar Wijaya, menempatkan tangannya di atas meja.
Dea terdiam sejenak, memikirkan kata-kata ayahnya. Mungkin dia benar. Mungkin saatnya untuk membuka hati, tetapi dia tidak ingin kehilangan kontrol atas hidupnya.
"Baiklah, Bapak. Saya akan memikirkan saran itu. Tapi saya juga ingin agar Bapak menghormati keputusan saya," jawab Dea tegas.
"Deal," Wijaya tersenyum, meski masih ada keraguan di matanya.
Makan malam itu berlanjut dengan pembicaraan tentang bisnis, tetapi pikiran Dea terus melayang pada kemungkinan cinta yang mungkin datang. Dia tahu bahwa perjalanan hidupnya masih panjang dan penuh misteri.
Ketika mereka selesai makan, Dea berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap tegar dan tidak membiarkan tekanan dari orang lain memengaruhi pilihannya. Cinta sejati mungkin akan datang, tetapi saat ini, dia ingin fokus pada mimpinya dan kariernya. Cerita Dea baru saja dimulai.
--------
" Rencana yang Tersembunyi "
Di sebuah restoran mewah di pusat kota Surabaya, suasana hangat dan elegan menyelimuti ruang makan. Pak Wijaya dan Bu Anis, pasangan yang dikenal berpengaruh di dunia bisnis, sedang menunggu kedatangan tamu penting. Di meja yang sudah dipesan, mereka tampak bersemangat, tetapi ada juga ketegangan di antara mereka.
"Sayang, apakah kamu yakin ini adalah langkah yang tepat?" tanya Bu Anis, sambil memainkan serbet di pangkuannya.
"Anis, kita sudah membicarakan ini. Dea perlu seseorang dalam hidupnya. Dia terlalu fokus pada kariernya," jawab Pak Wijaya, menatap ke arah pintu masuk. "Herman adalah pilihan yang tepat. Keluarga Danu sangat terhormat, dan kita memiliki hubungan bisnis yang kuat."
Bu Anis menghela napas. "Tapi, pernikahan bukan hanya tentang bisnis. Kita harus mempertimbangkan perasaan Dea."
"Perasaan?" Pak Wijaya menggelengkan kepala. "Ini adalah tentang masa depan. Jika Dea menikah dengan Herman, hubungan bisnis kita akan semakin kuat. Kita bisa mengembangkan usaha ini lebih jauh."
Tak lama setelah itu, Pak Danu dan Bu Lina, orang tua Herman, tiba. Mereka melangkah masuk dengan percaya diri, mengenakan pakaian formal yang menunjukkan status sosial mereka. Setelah saling menyapa, semua orang duduk di meja yang telah disiapkan.
"Terima kasih telah mengundang kami, Pak Wijaya," kata Pak Danu sambil tersenyum lebar. "Sepertinya kita sudah lama tidak bertemu."
"Benar sekali, Pak Danu. Senang sekali bisa bertemu kembali. Saya harap kita bisa berbicara tentang peluang yang bisa kita ambil bersama," jawab Pak Wijaya, berusaha menjaga suasana tetap ramah.
Bu Lina, yang duduk di samping Bu Anis, segera mengambil alih pembicaraan. "Kita semua tahu bahwa keluarga adalah segalanya. Dan, anak-anak kita perlu saling mengenal lebih baik. Apakah Herman sudah memberi tahu kalian tentang Dea?"
"Belum," jawab Bu Anis. "Dia sangat sibuk dengan pekerjaannya."
"Itulah sebabnya kita harus mempertemukan mereka. Mereka berdua bisa saling melengkapi," Bu Lina melanjutkan. "Herman adalah anak yang bertanggung jawab. Dia bisa menjadi suami yang baik bagi Dea."
Pak Wijaya mengangguk setuju. "Saya setuju. Kita bisa mengatur pertemuan antara Dea dan Herman. Mungkin mereka bisa saling mengenal di acara yang kita adakan."
"Acara apa?" tanya Pak Danu, merasa penasaran.
"Kita bisa mengadakan pesta kecil untuk merayakan kerjasama bisnis kita. Sekaligus, kita bisa memperkenalkan Dea dan Herman," jawab Pak Wijaya, senyum di wajahnya menunjukkan rencana yang sudah dipikirkan matang.
Bu Anis mencoba mencairkan suasana. "Tentu saja, kita bisa mengundang beberapa teman dekat. Dea bisa merasa lebih nyaman jika ada orang yang dikenalnya."
"Bagus sekali," Bu Lina setuju. "Dan kita bisa memanfaatkan momen itu untuk mengenalkan mereka dengan cara yang lebih santai."
Di tengah pembicaraan, Dea yang sedang bekerja di kantornya tidak menyadari bahwa orang tuanya sudah merencanakan sesuatu untuknya. Dia terlalu sibuk dengan proyek baru yang tengah dikerjakannya, tidak peduli dengan rencana pernikahan yang sedang dibicarakan oleh orang tuanya.
Setelah beberapa hidangan disajikan, suasana semakin hangat. Mereka berbicara tentang bisnis, berbagi cerita sukses, dan membahas rencana masa depan. Namun, di balik semua itu, ada satu rencana besar yang tersimpan rapat-rapat: perjodohan Dea dengan Herman.
"Jadi, bagaimana kabar Herman?" tanya Pak Wijaya, berusaha menjajaki topik.
"Herman sedang menyelesaikan studinya dan bekerja di perusahaan kami. Dia sangat berbakat," jawab Pak Danu, bangga dengan pencapaian anaknya.
"Dia pasti akan menjadi suami yang baik," Bu Lina menambahkan. "Kami sangat berharap dia bisa menemukan pasangan yang tepat."
"Yang tepat, ya?" Bu Anis mengulang. "Mungkin Dea adalah orang yang tepat untuknya."
"Setuju," Pak Wijaya menimpali. "Kita bisa menjadikan hubungan ini lebih dari sekedar kesepakatan bisnis. Kita bisa memperkuat ikatan keluarga kita."
Sementara itu, Bu Anis merasakan ketidaknyamanan. "Tapi, kita harus diingat bahwa pernikahan adalah komitmen yang serius. Kita tidak bisa hanya menjadikannya sebagai transaksi bisnis."
"Tentu saja," Pak Danu menjawab. "Kami ingin anak-anak kami bahagia. Namun, kita semua tahu bahwa ada banyak keuntungan yang bisa didapat dari pernikahan ini."
Bu Lina tersenyum, seolah memahami situasi ini. "Kita bisa mengatur pertemuan antara mereka secepatnya. Jika mereka saling cocok, kita bisa melangkah lebih jauh."
Bu Anis mengangguk, meski masih tampak ragu. "Baiklah, jika itu yang terbaik untuk Dea. Kita akan mendukungnya."
Makan malam berlanjut dengan pembicaraan yang lebih ringan, tetapi di balik kebahagiaan itu, rencana perjodohan terus menggantung di udara. Semua orang tampak setuju dengan rencana itu, meskipun tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana perasaan Dea tentang hal ini.
Saat malam berakhir, mereka saling berjabat tangan dan berjanji untuk segera mengatur pertemuan antara Dea dan Herman. Pak Wijaya dan Bu Anis pulang dengan harapan bahwa rencana mereka akan berhasil, sementara Bu Lina dan Pak Danu merasa puas dengan kesepakatan yang telah tercapai.
Namun, yang paling penting, Dea, yang tidak tahu apa-apa tentang rencana ini, akan segera terjebak dalam permainan yang lebih besar dari sekadar hubungan bisnis. Dan perjalanan hidupnya akan berubah selamanya.
*****