Bab 2. Pertemuan Yang Tak Terduga
Dea duduk di kursi empuk ruang CEO Wijaya Group, memandangi layar komputernya yang menampilkan grafik pertumbuhan perusahaan. Pikirannya terfokus pada berbagai proyek yang harus diselesaikan, tetapi tiba-tiba teleponnya bergetar. Ketika melihat nama yang muncul di layar, Dea langsung tahu siapa yang menelepon.
“Hallo, Bu,” jawab Dea, berusaha terdengar ceria meskipun ada rasa cemas di dalam hatinya.
“Dea, sayang! Apa kabar? Maaf mengganggu waktumu,” suara Bu Anis menggema lembut dari ujung telepon.
“Baik, Bu. Ada apa?” Dea bertanya, merasakan ada sesuatu yang tidak biasa dalam nada suara ibunya.
“Begini, kami ingin mengundangmu ke rumah malam ini. Ada keluarga Herman yang datang ke sini untuk berkenalan denganmu,” Bu Anis menjelaskan.
Dea terdiam sejenak, hatinya berdebar kencang. “Keluarga Herman? Keluarga siapa, Bu?”
“Anakku, Herman, yang bekerja di perusahaan Danu. Kami ingin kamu bertemu dengan mereka. Mereka sangat antusias,” Bu Anis melanjutkan, tanpa menyadari keraguan yang tumbuh dalam diri Dea.
“Bu, apa ini berhubungan dengan rencana perjodohan?” tanya Dea, suaranya mulai menunjukkan ketegangan.
“Dea, jangan berpikir begitu. Ini hanya pertemuan biasa. Kami ingin kamu mengenal mereka lebih baik,” Bu Anis berusaha meyakinkan.
Dea menggelengkan kepala meskipun ibunya tidak bisa melihatnya. “Saya tahu, Bu. Tapi saya sudah punya firasat tentang ini. Saya tidak mau terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.”
“Dengarkan, sayang. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Kau sudah berusia 30 tahun. Kami khawatir kau terlalu fokus pada karier dan melupakan kehidupan pribadimu,” Bu Anis menjelaskan, nada suaranya mulai melunak.
“Bukan itu, Bu. Saya hanya ingin menemukan cinta yang tulus, bukan karena tekanan dari orang tua,” Dea menjawab, berusaha menegaskan pendiriannya.
“Dea, kami hanya ingin kalian saling mengenal. Jika kalian cocok, itu akan menjadi hal yang baik. Keluarga Herman juga sangat baik,” Bu Anis berusaha meyakinkan.
Dea merasa terjebak. “Baiklah, Bu. Saya akan datang. Tapi saya harap ini tidak menjadi tekanan untuk saya.”
“Terima kasih, sayang. Kami hanya ingin kamu bahagia. Sampai jumpa malam ini,” Bu Anis mengakhiri telepon dengan nada penuh harapan.
Setelah menutup telepon, Dea menghela napas panjang. Dia tahu bahwa pertemuan ini bukan sekadar kenalan biasa. Dia bisa merasakan bahwa orang tuanya sedang merencanakan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar silaturahmi. Dengan hati yang berat, Dea melanjutkan pekerjaannya, tetapi bayangan pertemuan itu terus menghantuinya.
Setelah menyelesaikan tugasnya di kantor, Dea memutuskan untuk pulang lebih awal. Dia merasa perlu mempersiapkan diri untuk pertemuan yang tidak diinginkannya. Saat tiba di rumah, suasana terasa hangat. Bu Anis sudah menyiapkan makanan untuk tamu mereka.
“Dea, kamu sudah datang! Ayo, bantu Ibu menyiapkan meja makan,” Bu Anis menyambutnya dengan senyuman.
“Bu, apakah Herman sudah datang?” tanya Dea, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.
“Belum, sayang. Mereka mungkin akan datang sebentar lagi. Ayo kita siapkan semuanya,” jawab Bu Anis, tidak menyadari keraguan yang menghinggapi putrinya.
Dea membantu ibunya menyiapkan makanan dan mengatur meja. Setiap detik terasa lambat, dan rasa cemas semakin menggelayuti pikirannya. Tak lama kemudian, bel rumah berbunyi. Dea menatap ibunya, yang langsung bergegas membuka pintu.
“Selamat datang! Kami sudah menunggu kedatangan kalian,” Bu Anis menyapa dengan hangat.
Dea berdiri di belakang ibunya, merasakan ketegangan saat melihat keluarga Herman masuk. Pak Danu dan Bu Lina tampak percaya diri, sedangkan Herman terlihat sedikit canggung. Dia mengenakan jas rapi dan senyum yang dipaksakan.
“Dea, ini Herman, anak kami,” Bu Lina memperkenalkan putranya dengan bangga. “Herman, ini Dea, putri kami.”
Dea tersenyum tipis. “Halo, Herman. Senang bertemu denganmu.”
“Halo, Dea. Senang juga bertemu denganmu,” jawab Herman, suaranya terdengar agak ragu.
Setelah perkenalan, mereka semua duduk di ruang tamu. Bu Anis menyajikan makanan, dan suasana mulai terasa lebih santai. Namun, Dea tetap merasakan ketegangan. Dia tahu bahwa percakapan ini akan mengarah pada topik yang tidak ingin dia bahas.
“Dea, kami mendengar banyak tentangmu. Kami sangat terkesan dengan kesuksesanmu di Wijaya Group,” Pak Danu memulai percakapan.
“Terima kasih, Pak. Saya hanya berusaha melakukan yang terbaik,” Dea menjawab, berusaha terlihat ramah.
“Dan kami pikir sudah saatnya anak-anak kita saling mengenal lebih dekat,” Bu Lina menambahkan, tatapannya penuh arti.
Dea menahan napas, merasakan ketegangan semakin meningkat. “Maksud Ibu?”
“Dea, kami ingin agar Herman dan kamu saling mengenal lebih baik. Mungkin ini bisa menjadi awal yang baik untuk hubungan yang lebih serius,” Bu Lina melanjutkan, senyum di wajahnya tampak penuh harapan.
Dea merasa seolah semua mata tertuju padanya. “Ibu, saya rasa kita perlu berbicara tentang ini. Saya tidak ingin terjebak dalam pernikahan yang tidak didasari cinta.”
Herman terlihat canggung, sementara orang tua mereka saling bertukar pandang. “Dea, kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Kami percaya Herman adalah orang yang baik,” Bu Anis mencoba menjelaskan.
“Dan kami tahu bahwa kalian berdua bisa saling melengkapi,” Pak Danu menambahkan, berusaha menciptakan suasana positif.
Dea menggigit bibirnya, berusaha menahan emosinya. “Saya menghargai semua niat baik ini, tetapi saya ingin menemukan cinta yang tulus, bukan karena tekanan dari orang tua.”
“Cinta bisa tumbuh seiring waktu, Dea. Tidak ada salahnya memberi kesempatan,” Bu Lina menjawab, suaranya lembut namun penuh harapan.
Dea merasakan pertarungan di dalam dirinya. Dia tahu bahwa orang tuanya hanya ingin yang terbaik untuknya, tetapi di sisi lain, dia tidak ingin kehilangan haknya untuk memilih jalan hidupnya sendiri.
“Baiklah, saya akan memberi kesempatan. Tapi hanya sebagai teman,” Dea akhirnya berkata, berusaha menyeimbangkan harapannya dan harapan orang tuanya.
Herman tersenyum, meskipun terlihat masih canggung. “Terima kasih, Dea. Saya berharap kita bisa saling mengenal lebih baik.”
"Inget, Herman, hanya sebagai teman, tidak ada cinta diantara Kita!"
"Aku tidak maksa," ujar Herman kalem, "Aku sendiri juga udah punya pacar."
"Kalo udah punya pacar, kenapa kamu tidak berusaha berontak menolak?"
"Aku tidak bisa menolak permintaan ibu, dia tidak mau ada kata penolakan."
"Kamu lemah, Hen...!" Cetus Dea gregetan.
Malam itu diakhiri dengan perbincangan yang lebih ringan, tetapi Dea tahu bahwa langkah pertama menuju perjodohan telah dimulai. Dia bertekad untuk tetap menjaga hatinya dan tidak membiarkan siapapun mengendalikan hidupnya. Dengan segala ketidakpastian di depan, Dea bersiap menghadapi apa pun yang akan datang, termasuk perjalanan menuju cinta yang sejati.
*****