Bab 3. Terjadi Ketegangan
Di dalam mobil, Herman duduk dengan cemberut, mengemudikan kendaraan dengan kecepatan yang lebih tinggi dari biasanya. Pikiran tentang pertemuan dengan keluarga Dea terus mengganggu benaknya. Dia merasa terjebak dalam situasi yang tidak diinginkannya. Sesampainya di rumah, dia langsung melangkah masuk dengan langkah cepat, tanpa menyapa orang tuanya.
“Kenapa kamu pulang dengan wajah masam seperti itu?” tanya Bu Lina, yang sedang berada di dapur, mendengar langkah berat putranya.
“Karena saya tidak ingin terjebak dalam perjodohan ini, Bu!” Herman membentak, suaranya menggema di seluruh ruangan.
“Jangan berteriak padaku, Herman! Ini semua untuk kebaikanmu!” Bu Lina menjawab, berusaha tetap tenang meskipun terkejut dengan reaksi putranya.
Herman tidak bisa menahan kemarahannya. “Kebaikan apa? Saya sudah punya pacar, Alina! Saya tidak butuh yang lain!” jawabnya dengan nada tinggi.
Bu Lina merasa tersinggung. “Kamu tidak mengerti, nak. Ini bukan hanya tentangmu. Ini tentang keluarga kita dan hubungan bisnis yang harus dijaga!”
“Bisnis? Jadi semua ini hanya tentang bisnis? Saya tidak mau hidup seperti itu, Bu!” Herman merasa frustrasi, wajahnya memerah.
Mendengar suara gaduh tersebut, Pak Danu yang baru pulang dari kantor langsung masuk ke dalam rumah. “Apa yang terjadi di sini?” tanyanya, melihat ketegangan yang mengisi udara.
“Bapak, tolong beri tahu Ibu bahwa saya tidak mau menikah dengan Dea! Saya sudah punya Alina!” Herman berusaha menjelaskan, tetapi nada suaranya masih tinggi.
Pak Danu menatap Herman dengan tajam. “Kamu harus menghormati ibumu! Dia hanya ingin yang terbaik untukmu!”
“Terbaik? Ini bukan yang terbaik, Pak! Ini adalah kesalahan besar!” Herman membentak, tidak bisa menahan emosinya.
“Jangan sekali lagi kamu berteriak seperti itu di rumah ini!” Pak Danu menghardik, wajahnya mulai memerah karena kemarahan. “Kamu tidak menghargai usaha ibumu!”
“Usaha? Apa yang dia lakukan ini hanya membuat hidupku semakin rumit!” Herman merasa marah dan terjebak.
“Cukup!” Pak Danu akhirnya tidak bisa menahan diri. Dengan satu gerakan cepat, dia menampar mulut Herman, membuat putranya terdiam seketika. “Kamu tidak berhak berbicara seperti itu tentang keluargamu!”
Herman merasakan sakit di pipinya, dan dalam sekejap, suasana menjadi tegang. “Ayah, kamu tidak berhak memukulku!” teriaknya, matanya berbinar dengan kemarahan dan rasa sakit.
“Dan kamu tidak berhak bersikap seperti anak kecil! Kamu sudah dewasa, Herman! Ini adalah tanggung jawabmu!” Pak Danu membalas dengan suara yang dalam dan tegas.
Bu Lina, yang terkejut melihat situasi ini, mencoba melerai. “Ayah, sudah cukup! Kita tidak perlu menyelesaikan ini dengan kekerasan. Herman, tenangkan dirimu. Kita hanya ingin yang terbaik untukmu.”
Herman mengusap pipinya yang masih terasa sakit, menatap ibunya dengan penuh kemarahan. “Ibu, saya tidak mau menikah dengan Dea. Saya mencintai Alina. Dia adalah segalanya bagi saya!”
“Dan apa kamu pikir Alina bisa memberikan masa depan yang baik untukmu?” Bu Lina berusaha menjelaskan. “Kami hanya ingin memastikan kamu memiliki pasangan yang tepat.”
“Pasangan yang tepat? Apa maksudmu, Bu? Apakah ini semua hanya tentang uang dan status?” Herman merasa frustrasi, suaranya mulai mereda tetapi masih penuh emosi.
“Bukan hanya itu, nak. Ini tentang membangun masa depan yang stabil. Keluarga Dea memiliki koneksi yang kuat, dan kami percaya itu akan membawa kebaikan bagi kita semua,” Pak Danu mencoba menjelaskan dengan nada lebih tenang.
“Tapi saya tidak ingin menikahi orang yang tidak saya cintai! Saya tidak ingin hidup seperti itu!” Herman berkeras, menatap ayahnya dengan penuh tantangan.
“Dan kamu pikir kami ingin melihatmu menderita? Kami hanya ingin melindungimu dari kesalahan yang mungkin kamu buat,” Pak Danu berkata, suaranya mulai lelah.
Suasana di dalam rumah semakin tegang. Herman merasa terjepit antara keinginan untuk mengikuti kata hati dan tekanan dari orang tuanya. “Saya tidak butuh perlindungan! Saya sudah cukup dewasa untuk membuat keputusan sendiri!”
Bu Lina menatap Herman dengan mata penuh harap. “Herman, tolong pertimbangkan ini. Kami hanya ingin melihatmu bahagia. Jika kamu mengenal Dea lebih baik, mungkin kamu akan menemukan bahwa dia adalah orang yang tepat untukmu.”
“Bu, saya sudah mengenal Dea. Dan saya tidak ingin menikah dengannya!” Herman menjawab dengan tegas, tetapi kali ini suaranya lebih rendah, seakan dia sudah merasa lelah berdebat.
Pak Danu menatap Herman dengan serius. “Kamu harus memikirkan ini dengan matang. Kami tidak akan memaksamu, tetapi kami ingin kamu mengerti konsekuensi dari keputusanmu.”
Herman merasa bingung dan frustrasi. “Saya hanya ingin hidup saya sendiri, tanpa semua tekanan ini!”
“Dan kamu akan selalu memiliki kami untuk mendukungmu, tetapi kamu juga harus belajar untuk bertanggung jawab,” Bu Lina menambahkan, berusaha menenangkan suasana.
Setelah beberapa saat hening, Herman merasa sedikit lebih tenang. “Baiklah, saya akan memikirkan semua ini. Tapi saya ingin kamu berdua mengerti bahwa cinta saya untuk Alina tidak akan pernah pudar.”
Dengan itu, Herman berbalik dan pergi ke kamarnya, meninggalkan kedua orang tuanya dalam ketegangan. Mereka saling menatap, menyadari bahwa perjodohan yang mereka rencanakan mungkin jauh lebih rumit daripada yang mereka bayangkan.
“Apakah kita telah melakukan hal yang benar?” tanya Bu Lina, suaranya penuh keraguan.
“Kita hanya ingin yang terbaik untuknya, tetapi kita harus menghormati keinginannya juga,” jawab Pak Danu, menghela napas berat.
Malam itu, ketegangan masih terasa di rumah mereka, dan Herman berjuang dengan perasaannya sendiri. Dia tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, dan pertarungan antara cinta dan kewajiban akan segera menguji ketahanan hatinya.
-----
" Janji Dalam Kebingungan "
Herman melangkah cepat menuju apartemen Alina, hatinya berdebar-debar. Dia merasa frustrasi dan bingung, dan dia tahu bahwa Alina harus mendengar tentang perjodohan yang tidak diinginkannya. Ketika dia tiba di apartemen, Alina sudah menunggu di ruang tamu dengan ekspresi cemas.
“Herman! Kenapa kamu terlambat? Aku sudah menunggu,” Alina menyapa sambil berdiri, wajahnya menunjukkan kekhawatiran.
“Hai, Alina. Maafkan aku. Aku baru saja menghadapi situasi yang sangat sulit,” Herman menjelaskan, mencoba menenangkan perasaannya.
“Situasi apa?” tanya Alina, matanya tajam menatap Herman. “Kamu terlihat tidak nyaman.”
“Ini tentang... perjodohan,” Herman akhirnya mengungkapkan, suaranya pelan.
Alina terdiam sejenak, dan ekspresinya berubah menjadi marah. “Perjodohan? Maksudmu, orangtuamu ingin menjodohkan kamu dengan orang lain? Siapa dia?”
“Dea. Dea Wijaya,” jawab Herman, menghindari tatapan tajam Alina.
“Dea Wijaya? CEO Wijaya Group? Kenapa orang tuamu melakukan ini? Apa mereka gila?” Alina membentak, suaranya penuh emosi. “Kamu sudah punya aku, Herman! Aku mengandung anakmu!”
Herman merasakan tekanan di dadanya. “Aku tahu, Alina. Aku tidak mau menikah dengan Dea. Ini semua adalah rencana orang tua. Mereka berpikir bahwa ini adalah langkah yang baik untuk bisnis kami.”
“Tapi bagaimana dengan kita? Apa yang terjadi dengan kita?” Alina bertanya, merasa putus asa. “Aku tidak mau kehilanganmu, Herman!”
Herman menghela napas, berusaha menenangkan Alina. “Alina, dengarkan. Aku berjanji, meskipun terpaksa menikah dengan Dea, aku akan tetap bersamamu. Pernikahan dengan Dea hanya akan menjadi formalitas. Itu semua demi bisnis.”
“Formalitas? Kamu pikir itu akan berhasil?” Alina meragu, tetapi suaranya mulai melunak. “Orang tua kamu pasti tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja setelah menikah. Mereka akan menginginkan lebih dari itu.”
“Tidak, mereka tidak akan bisa memisahkan kita. Aku akan berjuang untuk kita,” Herman berusaha meyakinkan Alina. “Aku mencintaimu, dan aku tidak ingin kehilanganmu.”
Alina menatap Herman, air mata mulai menggenang di matanya. “Tapi aku ingin menikah denganmu secara sah, Herman. Aku tidak ingin anak kita lahir tanpa ikatan yang jelas. Aku ingin kita menjadi keluarga.”
Herman merasa berat hati. “Aku juga ingin itu, Alina. Tapi saat ini, aku terjebak dalam situasi ini. Aku harus menemukan cara untuk membuat semua ini berjalan.”
“Jadi, apa rencanamu?” Alina bertanya, suaranya penuh harapan dan ketakutan.
“Aku akan berbicara dengan orang tuaku. Aku akan memberi tahu mereka bahwa aku tidak mau menikah dengan Dea. Aku akan melawan mereka,” Herman menjelaskan, matanya berbinar dengan tekad.
“Dan jika mereka tetap memaksamu?” Alina bertanya, suaranya bergetar.
“Aku akan membuat mereka mengerti bahwa aku mencintaimu dan ingin bersamamu. Aku akan berusaha untuk tidak membiarkan mereka mengendalikan hidupku,” Herman menjawab, meski dalam hatinya dia meragukan kemampuannya untuk melawan.
Alina mengangguk, tetapi rasa cemas masih menghantuinya. “Herman, aku tidak ingin berakhir seperti ini. Aku ingin kita bersama, dan aku ingin anak kita memiliki keluarga yang utuh.”
“Aku berjanji, Alina. Tidak peduli apa yang terjadi, aku akan tetap bersamamu,” Herman menjawab, meraih tangan Alina dengan lembut. “Pernikahan dengan Dea tidak akan mengubah apa yang kita miliki. Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk membuat ini berhasil.”
Alina menatap Herman, mencoba mencari keyakinan dalam matanya. “Baiklah, jika itu yang kamu katakan. Tapi aku ingin kamu berjanji padaku, bahwa aku dan anak kita akan tetap menjadi prioritasmu.”
“Iya, aku berjanji,” Herman mengangguk, meski dalam hatinya dia tahu bahwa jalan di depannya akan sangat sulit.
Malam itu, mereka berdua duduk bersama, saling memegang tangan, merasakan ketegangan yang ada di antara mereka. Herman tahu bahwa dia harus berjuang untuk menjaga dua dunia yang berbeda: cinta yang tulus kepada Alina dan kewajiban yang dituntut oleh keluarganya.
Sementara itu, di luar jendela apartemen, hujan mulai turun dengan deras. Suara gemuruh petir mengiringi ketegangan yang mengisi ruangan kecil itu. Herman merasa seolah-olah hidupnya berada di persimpangan yang sangat berbahaya, dan dia harus membuat keputusan yang akan menentukan masa depannya.
“Aku akan melakukan segalanya untuk kita,” Herman berjanji dalam hati, berusaha meyakinkan dirinya sendiri di tengah ketidakpastian yang melingkupi hidupnya.
*****