Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Sembuh

"Selamat Jean, akhirnya kamu bisa keluar dari sini. Nikmatilah hidupmu, jangan sampai kembali kesini," nasihat dokter Echa.

Jean tersenyum,"Terima kasih, Kak. Kalau tidak ada kak Echa dan kak Rena, mungkin Jean sudah—”

"Lupakan itu, Je. Itu sudah menjadi tugas kami," sela Rena tidak suka dengan kata-kata Jean.

"Ayo! Kakak antar ke depan," lanjutnya.

Echa mengeluarkan sesuatu dari saku snelli, sebuah kertas diberikan pada Jean. Jean menerima dengan ragu-ragu, dahinya berkerut menyadari sebuah alamat tertera di kertas itu.

"Itu alamat apartemen kakak dan passwordnya, Je. Kamu bisa tinggal di sana, anggap rumah kamu sendiri." Terang Echa saat mengetahui wajah bingung Jean.

"Tapi, Kak. Aku tidak mau merepotkan Kakak lebih jauh lagi … " lirih Jean.

Echa mengangkat sudut bibirnya membentuk senyuman."Eish, siapa juga yang mau repot-repot, itu supaya kakak ada teman di rumah. Jadi kamu jangan percaya diri," cibirnya setengah bercanda.

Mata Jean berkaca-kaca dengan bibir bergetar, ia memeluk Echa dengan brutal, terdengar isak tangis yang ditahan. Echa merasa snelli yang dikenakan diremas kuat oleh Jean, ia hanya bisa mengelus punggung Jean sesekali menepuk pelan.

"Sekali lagi, terima kasih Kak Echa. Jean pamit dulu, sampai ketemu di rumah. Hehehe," ujarnya setengah tertawa.

Jean mengapit lengan Rena, menyandarkan kepala di bahunya dengan wajah berseri. Rena hanya tersenyum maklum, Jean memang terbiasa manja padanya ataupun Echa yang sudah dianggap kakak. Echa memandang kepergian Jean dan Rena dengan pandangan yang sulit diartikan.

Sepanjang jalan keluar dari rumah sakit, Jean selalu menyapa riang siapapun yang ditemui. Tak jarang memberi pelukan pada orang-orang yang ia kenal selama di rumah sakit ini.

"Je!" ujar Rena menghentikan langkah keduanya.

"Maaf, kakak tidak bisa mengantar sampai depan. Kakak ada sedikit urusan dan harus menemui seseorang." Mata Rena berkeliling seakan tak ingin menatap Jean.

Alis Jean bertautan dengan dahi berkerut. “Tiba-tiba?” tanyanya.

"Iya, Je. Emm, maaf ini penting, hehe." Rena menggaruk tengkuknya dan mengulas senyum paksa.

Jean terdiam, ada banyak pertanyaan di kepalanya. Tapi ia enggan menanyakan pada Rena, toh itu bukan urusan Jean. Jadi ia hanya mengangguk seraya mengulas senyum pada Rena.

"Oke. Jean bisa sendiri, sampai jumpa Kak!" serunya berlalu meninggalkan Rena yang masih mematung.

Kakinya melangkah ringan menuju halte, ia akan berhemat mulai sekarang. Beruntung, semua identitasnya tersimpan rapi selama ia dirawat, termasuk buku tabungan dan dompetnya.

Halte terlihat sepi siang ini, hanya ada seorang wanita paruh baya duduk di ujung bangku halte. Cukup lama menunggu bus, Jean sedikit mengantuk, matanya terlihat sayu. Ia menyandarkan kepala pada tiang halte, sesekali menguap sambil menutup mata.

Suara decitan rem bus mengembalikan kesadaran Jean, kantuknya seketika hilang. Bergegas menaiki bus, menatap sekeliling bus terlihat beberapa bangku kosong. Kebanyakan penumpang bus adalah siswa menengah atas. Ia memilih duduk dekat jendela sambil menyenderkan kepala.

Setelah menimbang-nimbang, Jean menerima tawaran Echa untuk tinggal di apartemennya. Melihat alamat yang tertera di kertas, Jean hanya perlu melewati dua pemberhentian. Namun sepertinya perjalanan ini sedikit memakan waktu, jalanan Ibukota terlihat padat. Jean sedikit bosan, wajahnya terlihat lelah dengan sinar mata yang meredup.

Bus berhenti di halte dekat apartemen Echa, Jean bergegas turun setelah memastikan tak ada barang tertinggal. Ia melangkah menuju apartemen Echa, matanya melihat sekeliling.

Langkah kakinya terhenti ketika melewati sebuah minimarket, berniat membeli barang-barang kebutuhan. Jean memilih barang yang sekiranya benar-benar dibutuhkan, tiba-tiba matanya berbinar ketika melewati freezer, sudah lama tak merasakan es krim. Selama di rumah sakit, ia tidak pernah bisa memakan es krim.

Setelah membayar semua belanjaannya, Jean melangkah memasuki gedung apartemen, di kertas tertera lantai lima nomor tujuh. Lobby tampak ramai, Jean berjalan ke arah lift di lobby sesekali menyapa orang-orang sebelum masuk lift.

Jean berdiri di pojok, ketika pintu lift terbuka di lantai tiga, seorang wanita masuk dan tersenyum pada Jean.

Jean menyusuri lorong lantai lima apartemen, berhenti pada pintu nomor tujuh. Tangannya berkeringat, ia memasukkan password apartemen Echa dengan gemetar. Walaupun sudah mendapat izin pemiliknya, tetap saja ia merasa tak sopan. Matanya melihat sekeliling, terdapat ruang tamu yang berdampingan dengan dapur mini dan kamar mandi, semua tampak tertata rapi. Ada sebuah pintu di samping TV yang ia yakini merupakan kamar Echa.

"Wahh! Semua tertata rapi dan bersih," ujarnya takjub.

Sofa di ruang tamu terlihat empuk, seakan mengundang Jean untuk duduk di atasnya. Gadis itu menjatuhkan diri di sofa, tak lama menguap merasakan kantuk kembali mengusik, mata sayunya perlahan mulai terpejam.

***

Tampak siluet pemuda yang duduk berwibawa di kursi goyang. Ia sedikit bersiul seiring lagu yang berputar. Dering ponsel yang memekakkan telinga mengalihkan atensinya. Tapi ia enggan untuk sekedar mengambil ponsel dan masih menikmati alunan lagu.

Berkali-kali ponselnya berdering, ia mendecak mematikan speaker sambil meraih ponsel untuk menjawab panggilan.

"Hmmm" ujarnya malas.

"Tuan, ini ad-"

"Apa? Kalau kalian belum menemukan tikus kecil itu, jangan pernah menghubungiku dahulu, mengerti!" bentaknya pada orang di seberang sana.

"Iya, tuan …" terdengar lirihan di seberang.

Pemuda itu mengulas senyum culas, "Bagus, jangan sampai kalian kecolongan seperti dulu."

"Maaf atas kelalaian kami dahulu, tuan. Kami pastikan ini akan berhasil."

"Ya, ya terserah kalian. Jangan mengganggu waktuku." Pemuda itu menutup panggilan dengan sedikit kasar.

Sepertinya sangat sulit mencari orang itu. Padahal, ia bisa mendapatkan data diri seseorang dengan mudah. Tapi kenapa tidak dengan orang ini. Tidak mungkin ia telah mati, bahkan keluarganya juga tidak ada kabar.

Pemuda itu membuka laci meja, menemukan sebuah bingkai foto yang sudah usang. Dipandangnya potret orang dalam foto itu dengan tatapan yang sulit diartikan, mengusap pelan sebelum mengembalikan dalam laci.

Dengan tergesa ia berdiri, meraih kunci mobil dan jaket yang tersampir di kursi. Sedikit berlari menuruni tangga menuju garasi, menghiraukan tatapan penuh tanya dari para asistennya.

Ia baru mengingat, hari ini—tepatnya tanggal dan bulan ini ia harus menemui seseorang yang paling berharga di hidupnya. Pemuda itu melajukan mobil menuju toko bunga, Ia ingat, orang ini penggila bunga lily. Toko bunga dengan plang yang sudah terlihat usang tampak di ujung perempatan, ia menghentikan mobil tepat di depan toko. Dari dalam mobil, terlihat toko sedikit ramai, namun dengan acuh ia melangkah masuk dan meminta buket bunga lily.

Rasanya begitu lega setelah mengunjungi orang tersayang. Pemuda itu tak langsung kembali ke rumah melainkan ke arah berlawanan. Tempat yang menyimpan banyak kenangan manis dan pahit dengan seseorang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel