Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Lupakan

"Yudha!” seru seorang gadis menghampiri Yudha yang duduk di bangku taman kota.

Yudha mendecak.”Kenapa kau meminta bertemu di sini?” tanya Yudha tanpa basa-basi.

Gadis itu memandang Yudha jengah, wajahnya memerah dengan alis menukik. Bagaimanapun caranya harus bisa menghentikan sepupunya sebelum berbuat lebih jauh.

“Bisa tidak kamu berhenti mencari dia, hah!” bentaknya.

“Sebentar, sebentar, kenapa seakan-akan kau mengetahui dia ada dimana? Mencurigakan.” Yudha menatap gadis itu penuh selidik. Dengan santai ia memainkan rubik yang selalu dibawanya.

“A–apa kamu sudah gila! Mana mungkin a–aku tahu dia dimana, aku saja tidak mengenalnya,” sangkal gadis itu dengan gugup.

Yudha memberi seringai miring. “Eiii, kenapa kau gugup gitu sepupu tercintaku. Aku jadi semakin yakin kau memang tahu keberadaannya.” Nadanya terdengar mengejek.

“Aku tidak tahu. Aku hanya tak ingin kamu berbuat lebih jauh …” lirih gadis itu menatap nanar Yudha.

“Memangnya aku berbuat apa? Lagi pula kau tidak mengenalnya, jadi jangan sok tahu urusanku!” Yudha menatap datar sepupunya, tanpa banyak bicara ia melangkah menjauhi taman, tak ingin mendengar lebih jauh ocehan sepupunya.

‘Aku harap apa yang kulakukan ini benar'

***

Keputusan Jean untuk menetap di apartemen Echa sepertinya tepat, terlebih ia tidak ingin kembali ke rumahnya. Bayang-bayang keluarga masih bersarang di pikiran Jean, apalagi jika ia kembali ke sana.

Jean juga berniat mencari pekerjaan supaya ia tidak hanya menumpang pada Echa. Sebenarnya, warisan dari orangtua tak terhitung jumlahnya, hanya saja ia masih enggan mengurus semua itu. Ia meminta pamannya untuk mengurus semua sampai ia siap.

Pip pip pip pip

"Je!" Terdengar suara Echa dari arah pintu.

Jean masih berkutat di dapur ketika Echa menyerukan namanya. Ia asyik bereksperimen dengan bahan masakan yang dibeli di minimarket tadi. Langkah kaki terdengar mendekat ke arah Jean, tanpa berbalik ia tahu itu sang pemilik apartemen, karena Echa sendiri sudah mengatakan bahwa ia tinggal seorang diri. Jadi tidak mungkin orang lain.

"Je! Kamu sedang apa?" tanya Echa ketika mencapai dapur mini di apartemennya.

"Kak Echa! Aku sedang membuat sup ayam." Jean menjawab dengan riang, melupakan fakta bulan ini usianya menginjak 22 tahun.

Echa mengulas senyum, ia senang pengobatan dan terapi yang selama ini dilakukan Jean membuahkan hasil. Setidaknya itu mengurangi sedikit rasa tak enak di hatinya.

"Wah! Sepertinya lezat!" Echa menjawab tak kalah antusias.

"Tapi aku sudah lama tidak memasak… " suara Jean terdengar lirih.

Masih dengan senyum menghiasi wajah cantik nan dewasanya, Echa menghampiri Jean dan mengelus surai gadis itu."Tidak boleh pesimis, kakak mandi dulu, setelah itu kita habiskan sup ayam buatanmu."

Rupanya afeksi yang diberikan Echa mampu mengembangkan senyum di wajah cantik Jean, kedua sudut bibirnya terangkat dengan mata melengkung cantik. Ia mengangguk antusias mendengar Echa akan menghabiskan sup buatannya.

"Kak Echa selalu pulang jam segini?" Tanya Jean. Dahinya membentuk sedikit kerutan, matanya memandang lekat jam yang menggantung di dinding menunjukkan pukul tujuh malam.

"Tidak juga," jawab Echa sedikit tak yakin.

Jean memicingkan mata dengan wajah dimiringkan, terlihat menggemaskan untuk gadis usia segitu.

"Emmm, kakak ke kamar dulu, mau mandi. Ini masih bau rumah sakit." Echa berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia mencium kedua ketiaknya seakan memberi tahu ingin segera mandi.

Jean memandang kepergian Echa dengan mata memicing curiga. Matanya beralih pada sup ayam yang sebentar lagi matang.

"Akhirnya, selesai juga. Sekarang tinggal menyiapkan makan malam untuk kak Echa dan aku."

Semua makanan yang dimasak Jean sudah tertata rapi di meja makan. Hanya nasi, sup ayam, dan perkedel. Itu merupakan makanan favorit Jean, sesekali ia memang ingin memakan makanan favoritnya meskipun sedikit mengingatkan pada sosok ibu.

"Kak Echa lama sekali. Memangnya di kamarnya ada kamar mandi? Aku pikir hanya satu di sebelah dapur," monolog Jean. Ia menatap pintu kamar Echa yang tertutup.

"Aish, mengapa aku jadi sok tahu? Aku saja belum pernah masuk ke kamar kak Echa," lanjutnya.

Setelah dipikir, ia merasa tidak apa-apa jika ingin memanggil Echa ke kamar, lagi pula tujuan Jean hanya ingin mengajak makan malam.

"Kak Echa! Masih lama!" teriak Jean di depan pintu kamar Echa.

Terdengar grasak-grusuk dari dalam kamar, sepertinya Echa terkejut mendengar suara Jeanna. Saat pintu terbuka menampakkan Echa dengan penampilan lebih segar mengenakan pakaian casual.

"Maaf, Je. Kakak tadi masih mengangkat telpon dari seseorang."

"Pacar Kak Echa?"

"Hmmm, tunangan lebih tepatnya." Echa mengulas senyum malu, pipinya terlihat merona.

"Wah! Kapan-kapan Kak Echa harus mempertemukan kita, Jean tidak mau tahu!"

Echa menggeleng-geleng kepala melihat antusiasme dari Jean. Ia memang berniat mengenalkan pacar bulenya kepada Jean yang sudah dianggap adik. Semoga Jean bisa membuka hatinya untuk seseorang dan keluar dari jeratan masa lalu.

Membahas soal tunangan, Echa teringat gelagat aneh Rena beberapa hari terakhir. Seperti ada yang disembunyikan oleh Rena, entah itu berhubungan dengan keluarga Rena atau kekasih. Echa hanya mampu menebak-nebak dan mendoakan yang terbaik.

"Kak Echa!" Panggilan Jean mengembalikan kesadaran Echa dari pikiran-pikiran yang belum tentu terjadi.

"Ayo makan!" lanjut Jean.

"Iya, kakak juga sudah lapar."

Mereka makan dengan tenang, Echa terbiasa makan sendiri membuatnya makan dengan diam, sedangkan Jean terbiasa dengan keluarganya yang melarang suatu pembicaraan ketika makan.

"Kak Echa, Jean senang bisa memakan makanan ini lagi, walaupun mengingatkan Jean pada Mama, tapi tetap saja Jean senang. Mama di atas sana pasti juga senang, kan?" tanya Jean setelah menyelesaikan makan malamnya.

"Iya, Je. Kamu tidak perlu menghindari apapun yang berhubungan dengan masa lalumu, yang harus kamu lakukan adalah menghadapinya. Kakak yakin kamu pasti bisa."

"Oh iya! Barang-barang kamu kenapa masih di sofa dan tidak kamu masukkan ke kamar?" lanjut Echa.

"Takutnya tidak sopan, Kak."

Echa memandang lekat pada mata Jean, ia juga merasa tak enak jika Jean menolak afeksinya.

"Kakak sudah mengijinkan kamu tinggal di sini, artinya anggap ini rumahmu sendiri. Dan… mulailah hidup baru dengan menghadapi masa lalumu."

Jean tersenyum kecut. "Jean juga yakin bisa, kecuali tentang dia… "

Suara Jean terdengar seperti gumaman, tetapi Echa masih mendengarnya dengan jelas. Sinar mata Jean meredup ketika mengucapkan tiga kata terakhir. Echa tahu, bagian tersulit dari Jean adalah melupakan orang itu. Bahkan sepertinya ia enggan jatuh cinta lagi.

Echa tak bisa berkomentar jika menyangkut masa lalu. Seandainya ia dokter cinta, pasti pasien pertama yang akan ditangani adalah Jean. Sayangnya itu semua hanya khayalan.

'Kamu harus melupakan orang itu, Je. Kamu juga berhak bahagia.'

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel