Rahasia
"Je, kakak ke rumah sakit dulu,” pamit Echa pada Jean yang masih betah menonton acara memasak di TV.
“Loh! Aku pikir Kakak libur, kan sudah jam segini,” sahut Jean. Mata bulatnya menatap jam di dinding yang menunjukkan angka 9.
Echa tertawa renyah. “Kamu sampai hafal jadwal kakak ke rumah sakit.”
Jean tersenyum, tentu saja ia tahu. Bahkan ia menghabiskan waktu hampir dua tahun di rumah sakit itu. Semua itu membuatnya hafal jadwal beberapa orang yang menanganinya, termasum Echa dan Rena.
“Sebenarnya kakak memang tidak punya jadwal. Hanya saja hari ini ada janji konsultasi dengan pasien,” jelas Echa, “Tumben melihat acara memasak,” lanjutnya dengan kernyitan di dahi.
Gadis bermata bulat itu menatap Echa dengan mata berbinar. Dengan antusias ia menunjukkan catatan resep yang baru saja ia catat dari hasil menonton TV.
“Aku ingin mencari kesibukan dengan memasak, Kak. Siapa tahu aku bisa menjadi koki yang handal,” ujar Jean dengan kekehan di akhir.
“Amiin. Kalau begitu kakak berangkat dulu, Je. Kamu hati-hati di rumah sendiri.” Echa mengusak rambut Jean sebelum berlalu.
***
"Rena! Kamu mau kemana?" tanya Echa menghentikan langkah Rena yang terlihat tergesa-gesa.
Rena menghentikan langkah, menoleh pada Echa sebelum mengulas senyum paksa. Sulit menjelaskan kemana ia akan pergi, karena ini menyangkut masalah pribadi.
"Eh, dokter! Emm, saya mau menemui seseorang, ada urusan penting."
Mata Echa memicing mendengar jawaban Rena, seperti ada yang sengaja disembunyikan. Tapi itu bukan urusan Echa.
"Oh, begitu. Hati-hati Ren! Kalau kamu lupa, kita ini teman dari SMA jadi jangan sungkan-sungkan."
Hati Rena sedikit tercubit, benar mereka teman sejak SMA, namun Rena belum siap membagi kisah dengan Echa. Semua masih terlalu beresiko, sehingga ia tak ingin melibatkan orang lain.
Mereka saling mengulas senyum dengan sedikit canggung, tentu Rena saja yang merasa canggung sedangkan Echa tampak biasa saja.
“Bagaimana kabar Jean?” tanya Rena basa-basi. Ia sebenarnya ingin segera berlalu, tapi di sisi lain tidak ingin menambah kecurigaan Echa.
“Dia, baik. Bahkan ia sudah punya hobi baru selain menggambar,” sahur Echa dengan mata berbinar. Ada pancaran kebahagiaan saat membicarakan Jean.
“Syukurlah.”
Drrrt
Deringan ponsel Echa mengalihkan atensi keduanya. Echa menekan tombol untuk menjawab panggilan.
"Halo?"
“Apa? Sekarang?”
Rena mengamati wajah Echa yang menyiratkan rasa terkejut. Terlihat jelas dari alisnya matanya yang membola.
"Kamu siapkan dulu peralatannya, saya segera kesana." Echa menutup telepon, ia menoleh pada Rena yang masih mematung di tempat.
"Kalau begitu aku pergi dulu, Ren. Ada pasien yang berupaya bunuh diri. Sampai jumpa." Echa melambaikan tangan sambil melangkah kaki menjauhi Rena.
'Maaf, belum saatnya kamu tahu yang sebenarnya.'
Rena menatap kepergian Echa dengan tatapan sayu. Ia bergegas meninggalkan area rumah sakit setelahnya. Ia bukan tipe orang yang suka mengumbar masalah pada orang lain.
Jalanan yang sedikit lenggang memudahkan Rena melajukan mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Entah kenapa ia merasa ingin segera sampai ke tempat tujuan. Begitu sampai, ia menghela nafas berat sebelum keluar mobil dan melenggang ke tempat tujuan.
Rena berdiam diri di sana selama berjam-jam. Kepalanya menunduk dengan mata sendu dan air mata berurai. Rasanya enggan melangkah pergi saat sampai di tempat itu.
"Rena!" Seorang pemuda tinggi nampak berjalan menghampiri Rena.
Rena menoleh dan sedikit mendengus, pemuda itu selalu mengganggu waktu sendiri Rena. Atau sebaliknya?
"Apa? Apalagi yang mau kamu lakukan?" Rena menatap tajam pemuda itu. Tangannya terkepal kuat di kedua sisi tubuh.
Mereka berdiri di depan sebuah makam dengan buket bunga yang masih baru. Hari sudah gelap namun mereka seperti enggan pergi dari sana. Beruntung bulan bersinar terang sehingga membantu penerangan lampu yang tidak seberapa dan mengurangi kesan horor.
"Sudah lebih dari dua tahun lalu, apa kau tidak mau melupakan semuanya?"
Rena berdecak, ia muak dengan pemuda ini bahkan ia juga tahu orang di depannya ini masih belum melupakan kejadian itu. Jika laki-laki masih ingat, kenapa ia tidak boleh mengingatnya? Orang yang ada di balik batu nisan itu juga penting bagi Rena bukan hanya bagi pemuda itu.
"Memangnya kenapa? Bukankah kamu juga masih mencari-cari dia?" sarkas Rena pada pemuda itu.
Pemuda itu mengusap wajahnya kasar, raut mukanya terlihat tegang. Tapi mata itu… mata itu terlihat sendu. Ia tak habis pikir dengan Rena, bahkan beberapa kali sudah mengatakan alasannya mencari dia pada gadis ini.
"Aku memang masih mencari dia, kau tahu sendiri alasanku."
Rena tersenyum remeh. "Buat apa? Kamu bilang sudah dua tahun lalu? Terus untuk apa kamu mencari dia? Jangan harap kamu bisa mengganggu hidupnya!"
Udara dingin yang menusuk tulang tak mengurangi ketegangan antara keduanya. Mereka bahkan tidak menyadari masih di area pemakaman. Bahkan perdebatan ini sudah terjadi berkali-kali.
"Kau tidak tahu apa-apa, aku mencari dia karena ingin—"
"Aku tidak peduli apa yang kamu inginkan! Tapi jangan pernah mencari dia." Potong Rena.
Mata pemuda itu memicing, menatap Rena penuh curiga. Mengapa Rena selalu menyuruhnya berhenti mencari dia? Satu yang ada dipikiran pemuda itu, gadis di depannya pasti sudah bertemu orang yang selama ini ia cari.
"Kau pasti sudah bertemu dengannya, kan?" tanya pemuda itu penuh selidik.
Rena mengatupkan mulut rapat enggan menjawab pertanyaan yang terlontar, ia menatap sekeliling, tersadar masih berada di area pemakaman. Rena tahu, pembicaraan ini tidak akan pernah ada habisnya, ia juga tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Perasaan bersalah masih menghantui Rena. Ia belum siap jika harus menanggung semua resiko.
"Aku tidak tahu! Bukankah sudah berkali-kali aku bilang begitu!" teriak Rena. Ia melangkah meninggalkan pemuda itu.
Langkah Rena terhenti ketika pemuda itu menahan tangannya. Wajah itu tampak mengeras dengan tatapan yang tajam. Rena sedikit terintimidasi, namun ia berusaha tenang berhadapan dengan pemuda itu.
"Apalagi?" tanya Rena, sebelum pemuda itu sempat membuka mulut.
"Yakin, tidak ada yang mau kau katakan padaku? Sebaiknya kau jujur padaku, Ren."
Rena menghempas tangan itu dengan sekali hentakan. Ia sudah jengah, pemuda ini benar-benar menguras emosi dan tenaganya. Walaupun ia tahu siapa yang selalu menjadi topik pembicaraan mereka sampai berujung berdebat, tapi tetap saja ia masih ingin menyimpan rapat semua sampai waktu yang tepat. Bahkan ia tak yakin apa ada waktu yang tepat atau justru ia yang tak mempunyai kesempatan untuk mengakui semua.
"Sebenarnya kamu mengerti bahasa manusia atau tidak? Sekali aku bilang tidak! Tetap tidak!" bentak Rena. Kali ini ia benar-benar pergi melangkah menjauhi area pemakaman dengan langkah tergesa.
Bukannya takut, pemuda itu justru mengulas senyum culas di wajah tampannya.
'Baiklah Rena! Kita lihat apa kau jujur atau tidak.'