Kejutan
“Tuan!”
Seorang lelaki membuka pintu ruangan dengan brutal. Ruangan itu tampak minim cahaya, terdengar deritan kursi goyang diantara kesunyian.
“Ada yang mau kau laporkan?” sahut suara sang pemilik ruangan.
“Kami belum dapat informasi tentang dia, tapi–“
Belum selesai lelaki itu berucap, pemilik ruangan itu membanting gelas yang ada di meja.
“Tapi apa? Sudah kukatakan berkali-kali, jangan kembali sebelum bertemu dengannya.”
Terdengar gemeretak gigi saat ia berbicara, kelihatannya emosi sedang menguasai dirinya. Beruntung ruangan tidak terlalu terang, sehingga hanya terlihat tatapan tajam sang pemilik ruangan. Sedangkan yang diajak bicara tampak menundukkan kepala.
“Ampun, tuan! Kami memang belum mendapatkan informasi tentang dia, tetapi kami mengetahui suatu fakta lain. Sebenarnya, orang tuanya sudah meninggal tepat hari itu, saat tuan–“
“Cukup! Aku mengerti, sekarang kau boleh keluar dan segera dapatkan informasi tentang dia.”
Lelaki itu meninggalkan ruangan itu dengan tergesa setelah menyanggupi keinginan tuannya. Namun tak lama pintu ruangan kembali berderit, siluet seorang wanita nampak di ambang pintu. Satu-satunya yang ada di ruangan mendecak, lagi-lagi ada yang mengganggu waktu santainya.
“Ada apa lagi?” tanya sang pemilik ruangan malas.
“Yudha! Kamu sudah tahu satu fakta tentang dia bahwa orang tuanya meninggal, jadi kurasa itu cukup membuatmu mempunyai alasan untuk berhenti mengganggu dia.”
“Kau tahu! Itu tidak bisa menjadi alasan untukku berhenti!” bentak Yudha.
Sangat sulit berbicara dengan seseorang yang keras kepala. Yudha sangat sulit untuk dipengaruhi, ia tidak pernah peduli bagaimana orang lain. Ia hanya peduli bahwa keinginannya harus terpenuhi.
“Kau pasti menguping apa yang kami bicarakan tadi.” Lanjutnya.
Benar, tebakan Yudha tepat sasaran. Wanita itu sudah berdiri di depan ruangan semenjak laki-laki suruhan Yudha masuk. Niat awalnya ingin memberi tahu Yudha bahwa orang tuanya mengundang makan malam. Namun ia justru mendapat fakta baru.
“Aku bukannya menguping, tapi hanya suatu kebetulan kalian berbicara ketika aku berada di sana.”
Yudha berdiri dari kursi goyang, melangkah menuju jendela dan membuka gorden membiarkan cahaya matahari pagi menjelang siang ini masuk ke ruangan. Wanita itu mengamati sekeliling ruangan, ruang kerja Yudha ini lebih tepat disebut basecamp. Terdapat sofa besar di sudut ruangan, dengan TV LED yang besar serta lemari pendingin di sebelahnya.
“Lalu, apa tujuanmu kesini?”
“Mama mengundangmu makan malam.”
“Hmmm, sekarang kau keluar. Aku mau bersantai sebelum memikirkan cara untuk menemukan tikus kecilku.” Yudha mengibaskan tangan ke arah wanita itu, seakan mengusirnya untuk segera pergi.
Tapi sepertinya wanita itu masih enggan beranjak dari sana. Ia menghiraukan ucapan Yudha, justru berjalan menuju sofa dan duduk di sana.
“Apa kau tuli?”
“Pelit sekali, aku hanya menumpang duduk. Kalau kamu ingin bersantai silahkan saja,” jawab wanita itu seraya mengulas senyum miring.
Yudha menatap tajam wanita itu, ia sangat paham sepupunya ini pasti ingin memata-matainya dengan terus berada di sekitarnya. Padahal belum tentu juga Yudha melakukan sesuatu yang berbahaya.
Drrtt
“Hai! Ada apa?”
“Oh, begitu. Kamu tunggu saja di sana.”
Wanita itu menjawab telepon sambil melirik ke arah Yudha yang tengah memperhatikannya.
“Aku kembali ke rumah sakit dulu, jangan berbuat macam-macam. Aku akan mengawasimu!” ancam wanita itu pada Yudha sebelum ia melangkah pergi dari ruangan itu.
Ancaman itu sama sekali tak membuat Yudha takut sama sekali. Ia justru tertantang untuk melihat ancaman sepupunya.
Sudut bibir Yudha terangkat. “Terserah! Kita lihat saja nanti.”
Pip
“Halo–“
“Awasi gerak-gerik sepupuku!”
“Baik! Tuan.”
‘Sebentar lagi aku akan menemukan dia. Dan kau tak akan bisa menghalangiku, sepupuku tercinta.’
***
“Rena!” “Echa!”
Mereka tertawa saat tak sengaja saling menyerukan nama secara bersamaan.
“Kamu baru sampai?” tanya Echa.
“Iya, emmm...tadi masih ada urusan sebentar.” Rena menyunggingkan senyum pada Echa.
Echa sedikit curiga dengan gelagat Rena, sebenarnya ada urusan apa? Tapi ya sudahlah, Echa tak ingin ikut campur sebelum Rena bercerita sendiri. “Oh, begitu.”
“Kalau kamu?”
“Sama.”
Ya, mereka sama-masa punya urusan masing-masing, bukan?
Matahari sebentar lagi mencapai atas kepala saat mereka sampai di rumah sakit. Rumah sakit sedikit ramai, mungkin karena akhir pekan jadi banyak yang mengunjungi pasien. Memang sistem di rumah sakit ini memberlakukan untuk mengunjungi pasien seminggu sekali supaya pengobatan lebih efektif.
Echa menghentikan langkah secara tiba-tiba, perasaannya tak enak, seperti ada yang mengawasinya dan Rena.
Rena terkejut melihat gelagat Echa. “Ada apa, Cha?”
“Stt… jangan menoleh ke belakang, aku merasa ada yang mengikuti kita.”
Mereka sedikit waspada, tapi siapa yang di antara mereka diikuti dan untuk apa?
‘Apa mungkin sepupu gilaku yang menyuruh orang-orang bodoh itu untuk mengikutiku. Tak akan kubiarkan ia tahu.’
Langkah mereka berhenti di koridor sebelum persimpangan, keduanya menoleh ke kanan kiri sebelum melanjutkan percakapan.
“Oh, iya! Bagaimana kabar Jean?” tanya Rena. Matanya melirik kesana kemari penuh selidik.
“Dia baik. Dia masih bereksperimen dengan bahan-bahan dapur. Lucu, dulu dia ingin sekali menjadi pelukis, bahkan ia ikut kelas melukis sebelum sakit. Tapi sekarang ia justru tertarik di bidang kuliner.” Senyum Echa mengembang membayangkan wajah antusias Jean saat mencoba membuat berbagai makanan.
“Benarkah! Padahal gambaran dia juga sangat bagus dan unik.”
Echa menghentikan langkah, ia menatap lurus kedepan. “Tapi aku bersyukur, setidaknya dia punya kesibukan.”
“Kalau begitu aku duluan, Ren!” lanjutnya.
Mereka berpisah di persimpangan lorong, Rena menuju ruang ganti, sedangkan Echa menuju ruang dokter. Beberapa perawat ataupun dokter yang melihat interaksi mereka tidaklah heran, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa keduanya merupakan teman, atau mungkin sahabat sejak dahulu. Ditambah Jean yang sekarang menjadi adik bagi mereka.
Rena melangkah tergesa menuju ruang ganti, ia sedikit parno mendengar pernyataan Echa.
“Ren! Kenapa kau terlihat pucat?” tanya salah satu perawat di ruang ganti.
“Ah! Tidak apa-apa, aku hanya sedikit kecapean.” Rena tersenyum paksa di depan temannya.
“Oh, begitu. Kalau begitu aku mau mengecek pasien dulu. Sampai nanti!”
‘Siapa yang membuntutiku atau Echa, aku tak akan memaafkan dia jika dugaanku benar.’
Echa melakukan hal sama seperti Rena sebelum memasuki ruangannya. Ia harus waspada, bisa jadi orang yang mengikuti mereka ada di sekitarnya.
“Huft, capek banget. Seperti sedang simulasi saja.”
Keluh Echa ketika memasuki ruangan, tak lupa mengunci pintu. Ruangan dokter itu tidak terlalu luas, hanya terdapat meja, kursi serta sofa untuk menerima tamu juga ranjang yang biasa digunakan untuk memeriksa pasien. Echa mendudukkan diri di sofa, tangannya memijat kening yang sedikit berdenyut.
Drrtt
Suara ponsel mengalihkan perhatian Echa. Ia meraih ponsel yang berada di mejanya. Bibirnya membentuk lengkungan ketika membaca nama yang tertera pada layar ponsel.
“Hon!” teriaknya antusias.
“Halo, cantik. Bagaimana? Kaget?” Terdengar sebuah suara di seberang, tapi itu bukan suara yang diharapkan Echa.
“Kamu…”