Kejutan 2
Suasana hati Jeanna sepertinya sedang bagus, ia sudah berkutat di dapur apartemen Echa, padahal jarum jam masih menunjuk angka lima. Sedangkan sang pemilik apartemen tidak pulang sejak kemarin.
Jeanna sendiri bingung, kemana perginya Echa sejak kemarin. Yang ia tahu, dokter cantik itu pamit hendak ke rumah sakit. Tidak mungkin kalau tiba-tiba hilang.
“Kak Echa kemana? Kok tidak pulang?” monolognya.
Dengan cekatan Jean memulai sarapan pagi. Makanan yang dibuat pagi ini tidaklah ribet, ia hanya membuat jus apel dengan sandwich. Sesekali ia melihat resep-resep masakan di youtube.
Drtt
Jean baru saja menyelesaikan sarapan, saat ponselnya yang di atas meja berdering. Dengan segera ia mengelap tangan dan berjalan mengambil ponsel. Kedua sudut bibirnya terangkat ketika tahu nama Echa tertera pada layar ponsel.
“Hallo! Jean kakak belum bis—“
“Kak Echa kemana saja?” potong Jean.
Terdengar kekehan dari seberang, tapi yang Jean herankan mengapa suaranya seperti lebih dari satu.
“Kak Echa sama siapa?”
“Ini kakak masih di rumah tunangan. Nanti siang kakak pulang sekalian kamu kenalan sama tunangan kakak.”
Jean menghela nafas lega, semua yang ia prasangkakan tidak benar. Echa dalam keadaan baik-baik saja.
“Jean tunggu, Kak!”
“O–oke! Kalau begitu kakak tutup.” Nada Echa sedikit gugup.
Echa menutup telepon sepihak sebelum Jean sempat menjawab. Ada yang aneh, Jean yakin disana pasti terjadi sesuatu.
“Kenapa kak Echa terdengar gugup?”
Biarlah, Jean tak ingin ambil pusing. Ia harus memikirkan cara untuk bekerja terlebih dahulu. Ia ingin memulai segala sesuatu dari nol. Tentang warisan? Ia menyerahkan usaha keluarga pada sang paman, kecuali rumah beserta asetnya.
“Sudah lama aku tidak berkunjung ke rumah atau makam mama papa, tapi…aku takut bertemu kak Yudha,” suaranya terdengar lirih.
Langkah kaki Jean melangkah gontai ke kamar Echa, jika boleh jujur, ia masih merasa kesepian. Tapi menuntut Echa ataupun Rena untuk selalu ada disampingnya juga bukan hal yang diinginkan. Ia sadar mereka berdua punya kesibukan pribadi masing-masing.
Kamar Echa tampak rapi, Jean tidak berani mengusik barang-barang di kamar tersebut. Tangan ringkihnya menggapai koper yang tersimpan di bawah kolong tempat tidur. Ia mengeluarkan sebuah kotak yang berisi beberapa fotonya dengan seseorang. Sudah dua tahun lebih, tapi sakitnya masih sama.
Saat itu mungkin Jean masihlah gadis naif yang sedang dimabuk cinta, sehingga tidak bisa membedakan kebahagiaan dan penghianatan. Bahkan ia masih mahasiswa baru di universitas itu.
Tak ingin terlalu larut mengingat kesakitannya, Jean merapikan kembali koper dan meletakkan di tempat semula.
“Jean! Ayo lupakan pengkhianat itu! Dia tidak pantas kamu ingat!”
Hanya menyemangati diri sendiri yang bisa ia lakukan. Terkadang ia iri dengan kisah orang lain yang begitu indah. Echa contohnya, dia cantik, baik, mempunyai keluarga lengkap, tunangan yang baik. Sedangkan ia…
“Stop! Kamu tidak berhak membandingkan dirimu dengan kak Echa, Jean!”
Ia meraih ponsel, matanya menelusuri aplikasi yang ada di ponselnya. Ingin rasanya ia membuka sosial media dan menghubungi sahabatnya. Tapi, terakhir ia kontakan dengan sahabatnya sudah 4 tahun lalu, saat semua masih baik-baik saja. Lagi pula ia sudah lupa seluruh akun sosial media yang dipunya.
“Ahh! Aku jadi merindukan Koko.”
***
“Siapa, Hon!”
“Hanya seorang teman,” ujar Echa sambil melirik seseorang di seberang.
Tiba-tiba matanya memicing saat menangkap siluet wanita yang sangat ia kenal, itu Rena. Tapi, siapa laki-laki yang bersamanya?
“Apa yang kamu lihat, Hon?” tanya seseorang lelaki bule di depan Echa.
“Temanku, Hon!”
“Kamu ajak gabung saja, Hon!”
Echa sedikit ragu, yang ia lihat Rena seperti terlibat perdebatan dengan lelaki itu. Bahkan Echa dapat melihat wajah memerah Rena yang seperti menahan amarah. Belum sempat Echa mengalihkan pandangan, Rena menatap ke arahnya. Sudah ia tebak reaksi Rena sedikit terkejut, mata sipitnya membola ketika menatap Echa. Berusaha acuh, Echa melambaikan tangan pada Rena.
“Sudahlah, Hon! Kamu ajak kesini saja temanmu itu.” Desak lelaki bule itu.
“Kamu mau godain temanku?” tanya Echa dengan cemberut.
Lelaki bule itu tertawa terbahak-bahak, lucu sekali tunangannya ini. Mana mungkin ia menggoda temannya.
“Tidak akan!” ucapnya meyakinkan Echa.
Dengan dengusan dan kaki dihentakkan, Echa melangkah menuju meja Rena dan lelaki itu. Tapi, ia terkejut saat matanya menatap lelaki itu, seperti mengenal di suatu tempat.
“Ren! Gabung sama aku yuk!” ajak Echa ketika mencapai meja Rena.
Rena melirik lelaki di depannya dan mendapat anggukan. “Boleh, yuk!”
“Kalian!” seru lelaki yang bersama Rena.
Echa dan Rena menoleh tanpa menjawab panggilan lelaki itu.
“Hati-hati dengan orang di sekitar kalian,” lanjutnya.
“Maksud kamu apa?” Rena menatap jengah lelaki itu.
“Tidak ada.”
‘Wah! Sepertinya ini sangat menarik, aku harus mencari tahu siapa wanita itu. Mungkin saja ada hubungannya dengan orang yang ku cari.’
“Jangan! Jangan tinggalin Jean sendiri! Aku nggak suka! Berhenti! Jangaaaaan!”
Nafas Jean tersengal-sengal, mimpi buruk lagi. Kenapa semua masih terasa menghantui. Ia meraih sebuah kotak obat di koper, secara diam-diam Jean masih mengkonsumsi obat tidur.
“Apa yang aku lakukan di kehidupanku sebelumnya, mengapa mimpi itu terus muncul?”
Pikiran buruk mulai mempengaruhi Jean, kepalanya berdenyut dengan tubuh sedikit bergetar. Tidak, ia berusaha melawan rasa takut itu. Seketika ia teringat ucapan Rena saat di rumah sakit.
“Apapun yang terjadi, dalam ketakutan apapun, ingat! Selalu ada orang baik di sekitarmu. Jangan langsung percaya dengan apa yang kamu lihat atau dengar! Tapi pikirkan dan rasakan dengan hatimu.”
Akhirnya, ia memilih bangkit dan menyalakan lampu kamar, dilihatnya jarum jam menunjuk angka tujuh. Ia urung meminum obat tidur itu, ternyata sudah lama ia tertidur. Tunggu, dahinya berkerut saat merasa apartemen masih tampak sunyi tanpa penghuni.
Seingatnya, Echa janji pulang saat makan siang, tapi ini sudah menjelang makan malam dan dokter cantik itu belum pulang. Jean segera bangkit menuju kamar mandi, ia bahkan belum mandi dari pagi. Ia harus menyiapkan makan malam, siapa tahu Echa segera datang.
Jean menyalakan lampu apartemen, sedikit parno dengan ruangan gelap yang mengingatkannya pada kejadian lampau. Dengan cekatan ia membuka lemari es untuk mencari bahan makanan yang cocok untuk makan malam.
“Di cuaca yang dingin seperti ini, hmmmm, mie kuah dengan sayur dan sosis sepertinya enak. Aha! Jangan lupa telur.”
Rupanya, memasak bisa mengalihkan fokus Jean, ia tak terlalu memikirkan mimpi buruk itu lagi. Saking fokusnya, Jean tidak menyadari ada seseorang yang masuk ke apartemen.
Sampai sebuah atau dua buah langkah kaki dan suara orang bercakap-cakap mulai mengusik Jean.
“Kenapa lampunya sudah menyala? Kamu tinggal dengan seseorang?” terdengar suara laki-laki.
Jean sedikit waspada, bagaimana jika itu orang jahat. Ia masih berdiri menghadap kompor tanpa berani menoleh kebelakang.
“Bukankah aku sudah bilang kalau aku—“ itu suara Echa.
“Hei! Kamu siapa!” potong lelaki itu, sepertinya pertanyaan itu ditujukan pada Jean.
Dengan sedikit keberanian ia menoleh. Dan pemandangan di depannya membuat kedua mata Jean melebar.
“Kk-Koko!” “Jeje!” teriak mereka bersamaan, menyisakan Echa yang memandang penuh tanya kedua orang itu.