Ringkasan
"Jika aku sutradara hidup, maka akan kutulis kisah hidupku dengan akhir bahagia, namun aku hanyalah manusia yang bisa mengikuti alur sang sutradara hidup yaitu Sang Pencipta." Sepenggal pemikiran Jeanna, gadis 24th yang harus melawan depresi setelah ditinggal orang-orang tercinta. Cintanya berkhianat tepat di hari kematian orang tua Jean. Tampaknya takdir sedikit bermain dengannya, secara tidak sengaja Jean bertemu Yudha, cintanya yang pernah berkhianat. Jeanna terus menghindar dari Yudha, karena pertemuan mereka menyebabkan Jean sedikit trauma akan cinta. Bahkan setelah itu kenyataan yang disembunyikan orang di sekitar Jean mulai terkuak.
Masih Sama
“Jean, ini kakak bawakan buku gambar baru.” Seorang perawat berdiri di ambang pintu salah satu kamar rumah sakit rehabilitas sambil mengulas senyum manis.
Perawat itu tampak santai memasuki kamar dan meletakkan sesuatu di atas meja. Jean—si penghuni kamar—mengawasi gerak-geriknya, ia tahu mengapa di kamar inapnya selalu disediakan buku gambar. Jean muak, ia merasa sudah sembuh. Namun, mengapa tak ada yang mendengarkannya, atau … ia yang pura-pura belum sembuh?
“Aku, tidak, butuh,” ujar Jean dengan penekanan setiap kata.
“Kakak mengerti, Jean. Tapi kamu harus ingat, hidup ini terus berjalan. Kamu tidak bisa berhenti di satu waktu dan menyia-nyiakan sisanya. Bukankah kamu ingin menjadi pelukis?”
“Itu sudah tidak penting lagi. Hidupku sudah tidak penting. Kakak mengerti tidak!” teriak Jean.
Rena menghela napas. “Kakak tahu, kamu masih belum bisa melupakan semua itu. Tapi kamu harus bangkit, semua proses yang telah dilalui sudah sejauh ini, Je,” ujar Rena pelan.
“Tahu apa Kakak tentang hidupku…” lirih Jean. Bahkan ia sendiri tidak tahu kehidupan macam apa yang dijalani.
Rena menghela nafas berat. “Baiklah! Kakak taruh sini ya, jangan lupa istirahat.”
Rena keluar dari ruang rawat Jean dengan wajah sendu, sudut bibirnya tersenyum kecut. Rupanya, Jean masih keras kepala seperti dulu walaupun sudah bisa diajak komunikasi.
Mata Jean memanas, tanpa sadar cairan bening mulai menetes dari matanya. Kilas balik masa lalu kembali lewat di pikiran, tubuhnya bergetar, sepertinya trauma akan masa lalu datang lagi.
Tidak, ia tak boleh lemah, ia sudah melangkah sejauh ini untuk menyembuhkan trauma. Benar kata Rena, ia harus bangkit lebih kuat.
Teramat pelan, tangan ringkih itu menggapai meja yang berada di samping tempat tidur, dan mengambil buku gambar tersebut. Ia berdiri dan menyalakan lampu, sehingga ruangan itu lebih terang. Jean mematung di tempat, sekilas ia mengingat kapan terakhir tidur dengan nyaman.
“Sialan! Kenapa aku mengingat bajingan itu,” ujarnya ketika sekelebat bayangan muncul di ingatan. Ia mulai berteriak dan menangis.
“Kenapa aku begitu lemah?” Ia bertanya entah pada siapa, “Seharusnya, aku sudah pergi sejak dulu, supaya melupakan semuanya. Aku harus bagaimana lagi? Apa aku harus pura-pura kuat? Tetapi aku juga manusia…." Lanjutnya dengan lirih.
Tanpa disadari, Rena masih berada di balik pintu dan mendengar semua perkataan Jean. Ia merasa iba, gadis semuda itu harus merasakan pahit kehidupan.
“Kakak berjanji, Jean. Kakak akan membantu kamu sampai sembuh,” gumam Rena dengan berurai air mata.
***
Jean meringkuk di tempat tidur, saat pintu terbuka, belum menyadari ada orang yang masuk ke sana. Ia tampak pulas, sepertinya Dewi Mimpi masih mengajaknya bermain.
“Je, bangun! ayo mandi dan sarapan dulu,” bisik Rena, orang yang masuk ke kamar inapnya.
“Eung, Kak Rena?” tanya Jean sambil menguap.
“Iya Je, yuk!” Rena mengulas senyum manis.
Jean mengucek mata sambil berjalan gontai ke kamar mandi. Rena melihat sekeliling ruangan setelah memastikan Jean masuk kamar mandi. Tampak buku gambar yang kemarin ia berikan tergeletak di atas meja. Alisnya menyatu, saat menyadari apa yang Jean gambar. Meskipun Jean tidak pernah menceritakan secara rinci masa lalunya, namun Rena yakin ini pasti ada hubungan dengan masa lalu Jean. Tapi, siapa yang ada dalam buku gambar itu?
“Kak Rena lihat apa?”
Rena sedikit tersentak mendengar suara Jean.
“Gambarmu bagus Je.” Alih-alih menjawab pertanyaan Jean, Rena malah memuji gambarannya.
“Mana sarapanku, Kak. Kak Rena bisa tinggalkan kamar ini, aku bisa sendiri.” Seperti biasa, Jean tidak suka basa-basi.
“Oh iya Kak!” seruan Jean menghentikan langkah Rena. “Kapan aku bisa keluar? Bukankah minggu lalu dokter bilang aku sudah bisa keluar?” lanjutnya.
“Jean, apa kamu yakin? Kakak hanya khawatir …” lirih Rena.
“Aku yakin, Kakak tidak perlu khawatir, aku sudah lebih kuat,” ujarnya meyakinkan Rena.
“Baiklah, nanti kakak tanyakan dokter. Kamu sarapan dulu, setelah itu olahraga.” Rena melangkah keluar kamar Jean.
Jean menyunggingkan senyum, merindukan kebebasan. Ia menari-nari karena terlalu antusias. Sepertinya, ia sudah memutuskan untuk memulai hidup baru, tanpa bayang-bayang masa lalu.
Sorenya, Jean melangkahkan kaki dengan riang, matanya menyipit seiring senyum manis di bibir. Ia bersenandung kecil sepanjang jalan menuju ruang dokter tak peduli tatapan penuh tanya setiap orang yang ditemui di lorong. Jean mempunyai jadwal pemeriksaan akhir sebelum keluar dari tempat rehabilitas.
Rasanya seperti mimpi, tadi siang suster Rena memberitahu untuk pemeriksaan akhir. Ia sudah tidak sabar, bahkan saking antusiasnya, tak terasa sampai di ruang dokter yang menangani Jean selama 2 tahun.
Jean antusias membuka pintu, tampak Rena di dalam ruangan. Sementara dokter Echa, dokter yang merawatnya entah di mana. Sejenak Jean mematung di depan pintu, sebelum suara dokter Echa muncul dari belakang.
“Je? Kamu sudah di sini? Ayo masuk! suster Rena sudah menunggu di dalam.”
Jean hanya mengangguk, memberi jalan pada dokter Echa dan mengekorinya masuk ruangan. Jujur, Jean sedikit gugup dan takut semua tak sesuai harapan.
Jean duduk di depan dokter Echa, di sampingnya ada suster Rena yang tak kalah gugup. Bagaimanapun, Jean seperti adiknya. Jean memilin ujung bajunya dengan kaki yang mengayun pelan, mencoba melawan rasa gugup. Sebuah tangan menggenggam tangannya, itu tangan suster Rena. Ia menoleh, mendapati suster Rena tersenyum meyakinkan.
Jean berusaha menormalkan detak jantung.
“Je, bagaimana keadaan kamu?” tanya dokter Echa.
“Ba–baik, dokter.” Suaranya sedikit bergetar.
“Kenapa gugup? rileks dulu, Je. Dokter hanya ingin memastikan kamu benar-benar sudah sembuh.”
Jean mendongakkan kepala, lalu tersenyum pada dokter Echa. Dokter cantik itu terperangah, baru sekali ini ia melihat senyum tulus Jean, sangat cantik. Sayangnya, semua tertutupi wajah sendu dan tatapan kosongnya selama ini.
Hanya melihat senyum tulus itu, dokter Echa yakin, Jean sudah lebih baik. Tatapannya sudah tidak kosong, wajahnya sudah mulai menampakkan beberapa ekspresi yang jarang terlihat, bola mata boba yang jernih itu berbinar.
“Jean, setelah keluar dari sini, janji jangan pernah menginjakkan kaki di sini lagi,” pinta dokter Echa.
“Iya, dokter. Jean janji.” Senyum Jean melebar sampai-sampai mulutnya akan sobek. Rena turut bahagia, matanya berkaca-kaca dengan kedua sudut bibir melengkung ke atas.
Jean dan Rena keluar dari ruang dokter Echa dengan lega. Jean tampak bahagia, sepertinya aroma kebebasan sudah tercium. Bahkan, ia tak melunturkan senyum barang sedetikpun.
Tiba-tiba langkah Jean terhenti. Ah, ia baru ingat, bebas dari sini artinya kemungkinan bertemu dengan orang itu semakin besar. Wajahnya berubah sendu, mata yang semula berbinar mulai sayu. Rena yang sedari tadi mengamati Jean, mengerutkan kening bingung.
“Kenapa, Je?” tanya Rena.
“Kalau aku keluar, itu artinya …,” gumam Jean.