Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Keraguan

Keheningan menyelimuti ruang rawat Jeanna, ia termenung di tempat tidur, pikirannya mulai kalut. Baru kemarin ia merasakan perasaan antusias, mencium bau kebebasan, dan sudah merencanakan hidup baru. Tapi sekarang ia ragu, harus pura-pura belum sembuh atau tetap melanjutkan hidup.

Rasanya tidak adil kalau dia terus berada di sini dan pura-pura sakit, sedangkan masih banyak orang yang lebih membutuhkan perawatan. Matanya memandang kosong langit-langit kamar.

“Ma, pa, Jean rasanya ingin menyusul kalian ke surga, tapi Jean tidak ingin menyia-nyiakan hidup untuk kedua kali. Kalian pasti kecewa, kan? Jean menjadi orang yang sangat putus asa…” lirih Jean seiring tetes air matanya.

Ia meremas selimut yang digunakan untuk menutup separuh badan, tangannya sedikit gementar dengan kuku tangan yang memutih. Jean menelan beberapa obat tidur yang tersimpan di bawah bantal tanpa sepengetahuan dokter atau suster.

“Mama, papa, selamat malam,” ujarnya setengah berbisik. Ia meringkuk di tempat tidur sambil menaikkan selimut sampai batas dada, tak lama terdengar dengkuran halus dari Jean.

Pintu ruangan terbuka, tampak seseorang memandang sendu. Menggigit bibir bawah supaya isak tangisnya tak terdengar. Sungguh, semua gara-gara sepupunya yang dibutakan oleh balas dendam.

“Sabar sedikit lagi Je, akan kubuat dia berhenti mengganggu hidupmu, kamu harus kuat,” bisiknya dengan berurai air mata dan melangkah pelan menjauhi kamar Jean dengan tangan membekap mulut. Tak menyadari ada sosok lain yang juga memperhatikan dengan wajah bertanya-tanya.

“Apa yang dia lakukan malam-malam begini di depan kamar Jean?”

***

“Saya tidak mau tahu, kamu harus bisa menemukan tikus kecil itu, mengerti!” bentak seorang pemuda pada seseorang di seberang sana.

“Baik, tuan! Kami akan berusaha menemukan dia,” sahut sebuah suara.

“Bagus, cepat laksanakan!” bentaknya sambil mematikan telepon. Ia beranjak dari kursi goyang dan berdiri di depan jendela kamar. Membuka sedikit tirai untuk membiarkan cahaya matahari masuk.

“Sialan!” Suaranya menggema di ruangan sunyi itu.

Deritan pintu mengalihkan atensi pemuda itu kecamuk pikiran. Seorang wanita muda masuk dan memandang sengit si pemuda. Alisnya menukik tajam dengan tangan terkepal, siap meluapkan emosi.

“Sampai kapan kamu seperti ini, Yudha!” bentaknya pada pemuda itu, Yudha. Dadanya naik turun menetralkan deru nafas dan detak jantung.

“Saudara cantikku, tumben pagi-pagi ke sini? Apa sudah bosan mengurus orang gila?” sarkasnya.

“Hentikan omong kosongmu itu, sebaiknya kamu berubah, mau sampai kapan mencari dia? Apa kamu tidak pernah berpikir bahwa semua sudah cukup…” lirih wanita itu. Kini matanya berkaca-kaca dengan bibir bergetar dengan tangan mencengkeram kuat ujung meja di kamar Yudha.

Yudha memutar bola mata dan mendecak, sepupunya ini terlalu ikut campur. “Apa urusanmu!”

“Jelas ini urusanku. Kamu keluargaku, Yudha. Bibi menitipkan kamu pada kami.”

“Aku sudah cukup dewasa untuk tahu berbagai hal. Jangan mengguruiku seakan kau paling tahu!” sengit Yudha dengan tajam.

Wanita itu menatap dalam tepat di mata Yudha. “Siapa yang mengajarimu balas dendam? Ini tidak benar, Yudha. Jangan sampai kamu terbutakan oleh balas dendam yang tidak jelas. Bahkan aku yakin bibi tidak mengajarimu seperti ini.”

Rahang Yudha mengeras mendengar ibunya dibawa-bawa dalam perdebatan mereka. Ibunya memang tak pernah mengajari balas dendam, itu murni keinginan Yudha menuntut keadilan atas kematian ibunya.

“Waktu telah berlalu, semua berubah, begitu pun pola pikir manusia. Sudahlah! Aku sedang tidak ingin berdebat. Lebih baik kau keluar,” usir Yudha sambil mengibaskan tangan.

“Kamu akan menyesal!” Wanita itu mendengus, dengan langkah lebar keluar dari kamar Yudha, tak lupa membanting pintu dengan keras.

“Menyesal tidak ada dalam kamus hidupku,” remeh Yudha dengan senyum culas.

Yudha pemuda dingin dan ambisius, segala keinginannya harus terpenuhi dengan cara apapun. Ibunya meninggal di rumah sakit karena terlambat dioperasi. Sedangkan ia tidak mengenal sosok ayah sejak dilahirkan di dunia.

Jatuh bangun ia lalui untuk bangkit di tengah ekonomi keluarga yang pas-pas an. Kematian sang ibu membuatnya semakin termotivasi menjadi orang terpandang sekaligus balas dendam.

“Kali ini aku tidak akan kalah. Aku sudah punya segalanya, tidak seperti dulu,” monolog Yudha.

Sementara Jean tengah merengek pada Rena. “Boleh, ya? Please?” Jean memohon dengan wajah yang dibuat semelas mungkin.

“Je, meminum obat secara teratur sudah menjadi prosedur selama kamu belum benar-benar keluar!” tegas Rena.

Mereka berada di taman Rumah Sakit untuk mencari udara segar sekaligus menikmati sarapan. Matahari tanpa malu mulai memancarkan sinar, namun tak menyurutkan keinginan mereka.

“Kak Rena tidak asyik!” teriaknya tiba-tiba dengan kaki dihentakkan.

Rena menghela napas. “Tapi ini demi kebaikanmu, Je.”

“Dua hari lagi Jean keluar dari sini, Kak. Tidak apa-apa ya, dua hari ini tidak minum obat,” rayunya lagi dengan mengerjapkan mata.

“Ya sudah, ini kamu simpan obatnya. Nanti kalau dokter Echa mengecek, kakak pastikan kamu tidak boleh keluar dari sini,” ujar Rena sedikit menakut-nakuti Jean.

“Oke! Jean minum sekarang obatnya.” Dengan sedikit kasar Jean merebut obat yang ada di tangan Rena yang masih terulur.

Rena mengangkat sedikit ujung bibirnya, polos sekali anak ini. Terbersit di otaknya jika waktu itu tidak ada yang melihat Jean yang ingin bunuh diri, mungkin ia… ah Rena tak ingin membayangkan.

“Kak Rena, cita-cita kakak dulu apa?” tanya Jean memecah keheningan.

“Sebenarnya kakak lebih suka menjadi guru. Tetapi orang tua kakak menyarankan untuk masuk di bidang kesehatan, jadi kakak—

“Kakak masuk bidang kesehatan ini karena orang tua? Kenapa kakak tidak menolak?” sela Jean.

Rena menganggukkan kepala, hendak membuka mulut menjawab pertanyaan Jean, sebelum sebuah suara mengalihkan atensi keduanya.

“Suster Rena!” teriak salah satu perawat dari jauh.

Jean dan Rena menoleh, terlihat perawat itu mengetuk-ngetuk jam tangan sambil menunjuk buku dan bolpoin yang dibawa, berniat memberi tahu Rena waktunya mengecek pasien-pasien.

“Kak Rena duluan saja, aku masih ingin di sini,” sahut Jean mengerti tatapan khawatir Rena.

“Baiklah! Kakak masuk dulu, Je. Kamu hati-hati,”

Jean tersenyum tipis dan mengacungkan jempol. Ia melambaikan tangan pada suster Rena yang berjalan menjauh.

Semilir angin menyapu helai rambut Jean, sang pemilik memejamkan mata guna menikmati udara sejuk seraya menghindari cahaya matahari yang masuk ke retina.

Tak terasa sudah dua tahun Jean di rumah sakit, masih ada sehari besok. Setelah itu ia akan memulai hidup baru, tentu saja hal pertama yang harus dilakukan ialah mencari tempat tinggal. Ingin rasanya kembali ke rumah yang menyimpan banyak kenangan itu, tapi mustahil.

“Tempat ini sudah seperti rumahku saja. Enggan meninggalkan, tapi aku tak bisa berdiam diri di sini selamanya,” monolog Jean.

Seseorang masih betah memperhatikan Jean dari jauh, seperti enggan melewatkan apa yang dilakukan gadis itu barang sedetik.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel