Terdampar
Stevani berjalan sempoyongan, dia kesulitan memperhatikan jalan, sehingga dia sudah keluar dari klub, mencoba mencari letak kamar mereka berdua. sambil menyipit kan mata. Pandangan nya mulai buram, sehingga dia bingung mencari posisi dan melihat dengan jelas No yang tertera di pintu kamar yang akan ditempati nya. Seolah-olah No dan angka yang dilihat nya sambil menyipit kan mata itu, bertukar dan terbalik-balik letak posisinya.
"Aduh, bagaimana ini?" Stevani kebingungan, terus berjalan hingga sampai di balkon yang terhubung langsung dengan danau dibawahnya.
"Bruuuaggkk," tubuh Stevani hampir jatuh, namun dia masih sempat berpegang pada tirai gorden, tidak ada yang mengetahui keadaan Stevani, selain posisi nya sudah jauh berjalan hingga posisi belakang penginapan, yang hampir tidak pernah dilewati orang lain.
"Tolong hu...hu...aku takut." Stevani yang masih separuh sadar, masih bisa merasa takut, tubuhnya menggigil ketakutan, saat melihat kebawah. dia kembali berteriak kencang, namun tidak ada yang mendengar teriakannya sama sekali.
Stevani merasa pengangan nya mulai melemah hingga dia jatuh melayang kebawah. Stevani begitu ketakutan bahkan dia merasa jika hidupnya akan berakhir ditempat ini.
"Aaagghh ... brugghhh...." Stevani merasa tubuhnya berputar-putar, dan kepalanya seperti membentur sesuatu benda keras, dan semua terlihat gelap. Stevani tidak ingat apa-apa lagi.
Bahkan dialami bawah sadarnya, Stevani bisa merasakan jika tubuh nya melayang seperti diatas air yang bergerak pelan, namun dia tidak bisa untuk membuka mata, walau sekedar untuk mencari posisi keberdaan nya saat ini.
Suara burung yang saling bersahutan, dan air ombak yang saling beradu, membuat Stevani tersadar dari tidur panjang nya. dia mengucek matanya perlahan yang tersa begitu silau terkena terpaan matahari langsung.
Meskipun dia merasa enggan untuk membuka matanya. tapi rasa silau serta hembusan dan bunyi riak air danau yang terdengar begitu nyata. membuat Stevani mau tidak mau memaksakan diri, untuk membuka mata yang semula hanya menyipit, namun tiba-tiba terbelalak membesar, seakan-akan ingin loncat dari sarangnya, begitu mendapati keberdaan nya saat ini.
"Tidaaaakkk....... tidaaaakkk......ini gila, tidak mungkin...aku pasti bermimpi. ya...aku sedang bermimpi." teriak Stevani sambil menepuk-nepuk pipinya, berharap dia akan segera tersadar dari mimpi buruknya ini.
"Kenapa aku belum juga tersadar, ayo.. Stevani kamu harus Bagun dari mimpi burukmu ini." ucap nya panik dan kebingungan. karena situasi saat ini terasa begitu nyata.
"Kenapa bisa seperti ini, begitu aku sadar dan terbangun, aku sudah berada diatas sampan dan lautan lepas seperti ini.
Stevani mencoba mengingat-ingat kejadian yang membawanya hingga sampai ketempat asing, sebuah danau yang dikelilingi hutan belantara.
"Ya aku ingat semua nya, semua ini gara-gara Alexa memaksa mengajakku memasuki bar, untuk meminum-minuman sialan itu, aku jatuh dari jendela belakang, sehingga tidak akan ada yang mengetahui keberadaan ku saat ini, ya Tuhan posisiku terdampar dimana?" ucap Stevani mencoba melawan rasa takutnya. bahkan perahu perahu karet yang berukuran kecil ini sudah membawanya jauh hingga kesebuah pulau sepi tanpa dihuni oleh manusia.
"Tempat ini dikelilingi hutan belantara, dan begitu terlihat sangat menyeramkan. aku harus bagaimana ini." Stevani memeluk tangan nya kedada, untuk mengurangi rasa takut nya.
"Pasti benda ini yang membuatku semalam tiba-tiba pingsan, tapi aku juga bisa memanfaatkan benda ini untuk segera meminta pertolongan." menatap pengayuh sampan lalu mengambilnya, Stevani mulai mengayuhnya pelan menuju sebuah pulau yang dikira nya berpenghuni, saat matanya menangkap adanya sebuah gubuk yang juga terdapat beberapa pohon buah-buahan.
"Sepertinya, itu perkebunan petani setempat. mudah-mudahan mereka bisa membantu ku untuk keluar dari tempat ini."