kegelisahan
Hujan tidak terhindarkan pada sore harinya. Masao senang Aiko tidak kebasahan. Dia sedang duduk di taman belakang sembari menggoyang-goyangkan kursinya dan menghirup aroma bunga Sumire di tanam yang tumbuh melingkar mengikuti tembok kayu. Aiko jelas tidak tahu di mana letaknya, tapi tahu bunga-bunga sumire itu ditanam sangat banyak. Dia sering menghabiskan waktu ketika hujan di sini.
Rumput-rumputan jadi basah karena hujan dan kabut memasuki rumah. Masao kembali ke sisinya dan menyelimuti Aiko dengan kain hangat.
“Tadi siang pasar sangat ramai. Chiyo membawaku keliling. Percuma saja jika hanya dapat mendengar suara keributan dan bau-bau tidak sedap. Chiyo membeli beras dan beberapa sayuran. Aku merasa jadi bebannya waktu itu. Chiyo memberikanku terong ungu untuk di masak. Jika kau berkenan tolong masakan itu untukku.”
“Di mana?”
“Di meja dapur.”
Masao beranjak dan pergi. Ada tiga terong di sana. Dia mencucinya dan memotongnya menjadi beberapa bagian. Kemudian menggorengnya lalu di tambahkan sedikit sambal dan kembali ke sisi Aiko.
“Aromanya enak, kau pandai memasak.”
“Kau ingin suop Miso?”
“Nanti saja dan berikan beberapa untuk Chiyo.”
“Tentu saja.”
Masao meletakkan terong itu di meja. Dia lalu mengambil sumpit dan menyumpitnya. Kemudian mengarahkannya ke mulut Aiko.
“Aku benar-benar beban.” Dia membuka mulutnya dan mengunyah terong itu.
“Rasanya enak, sudah kuduga.”
Masao mengambilkannya lagi dan Aiko memakannya. Masao memperhatikan caranya makan. Cara mengunyahnya pelan dan lembut. Masao penasaran apa karena gerakan bibirnya yang kecil itu membuat Aiko lebih tampak muda?
Aiko sekarang menginjak usia empat puluh tahunan dan dia menikah ketika masih sangat muda. Putrinya sekarang sudah remaja, sekitar dua tiga atau dua-dua tahun. Dia memiliki fisik yang sedikit berisi dan dan dua buah dada yang gemuk. Masao menyukai dua buah dada itu. Ketika memakai gaun yang memperlihatkannya, Masao selalu memperhatikannya. Buah dada itu mulus dan lembut.
Masao pernah bertanya, “Bagaimana kau bisa memiliki buah dada yang sangat indah?”
“Aku juga tidak tahu. Ibuku juga memilikinya. Bentuknya bulat sempurna bukan? Dan ujungnya terlihat elegan.”
“Aku menyukai buah dadamu dengan bentuk sempurna.”
Aiko tertawa. “Sejak kecil, kita memang selalu menyukai buah dada.”
Ketika Masao bercinta dengan Aiko, dia sering meraba-rabanya dan menyentuhnya selama waktu itu dan Aiko akan membiarkannya. Tangan Masao menjadi hangat karenanya.
Buah dada itu menjadi lebih besar ketika Aiko melahirkan bayi. Dadanya mengandung banyak susu sehingga menjuntai ke bawah. Bentuknya sedikit merosot tapi tidak lama kembali lagi.
Selain itu, Aiko memiliki wajah dan leher yang bersih. Kalung keperakan masih ada di sana. Itu pemberian Masao ketika mereka berpacaran. Dengan dia memakai Kimono putih dengan sulaman bunga-bunga mawar merah muda, Aiko seperti kembali pada masa mudanya.
Masao menyumpit terongnya dan mulai mengunyah. Dia sudah terbiasa berbagi apa pun dengan Aiko dan tidak ada rasa jijik dengan bekas mulutnya, dan lagi pula, Mereka sering berciuman.
Terongnya sedikit pedas. Masao tidak terlalu menyukainya dan tidak mencobanya lagi.
Dia mengambilkannya untuk Aiko, tapi suara bel berbunyi.
“Aku pergi sebentar.”
Masao menaruh sumpit dan berjalan keluar, membuka pintu ada seorang gadis muda berumur sekitar delapan belas tahun. Dia memakai gaun hitam panjang dengan bunga-bunga merah di ujung rambutnya.
“Selamat sore, tuan Masao.” Dia tersenyum tipis.
“Harumi...”
“Saya membawa beberapa kue untuk anda.”
Dia mengangkat keranjang kecilnya. “Baru aku buat. Ngomong-ngomong apa anda sendirian di rumah? Di mana Nyonya Aiko?”
“Dia ada di belakang.”
Masao mengambilnya. Dia melihat beberapa kue-kue indah. “Rasanya pasti sangat enak. Harumi, kau yang membuatnya?”
“Iya. Beberapa bulan yang lalu aku belajar cara membuatnya.”
“Oh, kau sangat suka belajar.”
“Tentu saja tuan, aku akan mewariskan pekerjaan ibuku.”
“Tidak ingin masuk?”
“Tidak perlu.”
Masao ingin kembali tapi tiba-tiba Harumi berkata, “tuan, kau sangat tampan.”
Masao terkejut tapi dengan cepat tangan gadis itu melingkar di lehernya. Dan wajahnya begitu dekat. Harumi memberikan kecupan manis kepadanya.
Ketika Masao kembali, beberapa terong keluar dari piring. Dia merasa bersalah karena pergi terlalu lama.
“Siapa yang datang?”
“Harumi.”
“Gadis penggoda itu lagi?”
“Dia cantik bukan?”
“Tapi sangat nakal. Aku tidak menyukainya. Bagaimana mungkin Chiyo yang baik hati bisa memiliki putri yang genit seperti itu.”
“Dia sepertinya memiliki kelainan.”
“Mungkin saja.”
Terong yang dibuat Masao sepenuhnya habis dan hanya ada tiga potong yang keluar.
“Kau ingin terong lagi?”
“Aku ingin soup miso dan nasi.”
Masao beranjak tapi Aiko menghentikannya.
“kau sudah memberi Harumi beberapa Bungkus Miso?”
“Sudah.”
Dia lalu masuk ke dalam.