Ada meja kecil di ruangan tamu dan selembar surat-surat
Ketika tiba di desa, hari sudah senja. Masao keluar dan pria itu juga ikut. Dia tidak berkata kepadanya dan pergi dari sana. Masao memandangnya. Dia tidak ingin mengetahui identitasnya, tapi dia hanya penasaran dengan caranya berjalan. Kemudian dia berjalan menanjak sedikit. Kebun-kebun teh menghiasi dua sisi jalan. Ada beberapa petani teh di sana.
Salah satunya memandang Masao. “Tuan Masao, tuan Masao. Chiyo tadi lewat di sini bersama istri anda, Aiko. Mungkin mereka sedang jalan-jalan. Jangan khawatir kepadanya.”
Petani itu mengenal Masao dan dia tahu bagaimana cintanya kepada istrinya.
Masao senang dan berterima kasih. Dia melanjutkan perjalanan dan tiba di bukit kecil. Di sana berbagai bunga-bunga bermekaran memenuhi kebunnya. Sekitar 72 hare dengan rumahnya di tengah-tengah. Masao yang menanamnya. Istrinya menyukai aroma bunga itu sehingga Masao berusaha keras membuatnya. Segalanya demi istri tercintanya yang buta dan tidak ingin hidup lagi.
Kehidupan Aiko mulai terserang badai ketika dia tidak mengetahui bagaimana bayinya lahir, dia merasa menderita dan mengutuk dirinya.
Di ranjang rumah sakit sembari mengelus-elus pipi bayinya, dia mencari Masao. “Bagaimana wajahnya?”
“Dia cantik sepertimu.”
“Dia anakmu bukan? Sudah aku katakan, dia anak kita. Osamu bukan ayahnya.”
Secara keseluruhan bayi itu tidak mirip dengan Masao, tapi sepenuhnya mirip dengan Aiko kecil. Wajahnya benar-benar mirip, bagaimana bentuk bibirnya, matanya yang besar dan dahinya yang lebar. Masao tidak menemukan dirinya dari bayi itu, seluruhnya di rampas oleh Aiko.
Masao tidak menjawab dan pergi.
Nama gadis itu Akako, mirip dengan nama Ibunya. Tentu saja Aiko yang memberikan nama itu. Setiap hari dia akan menyusuinya dan merawatnya, tentu saja dibantu Masao. Ketika Masao tidak ada, ada pembantu yang menolongnya.
Aiko senang menjadi ibu, tapi dia tersiksa dengan matanya yang buta. Dia sangat penasaran bagaimana wajah Akako kecil dalam pelukannya. Dia ingin mengabadikan momen kecilnya dalam poto, tapi semua percuma karena dia tidak bisa melihat wajahnya.
Sering kali Aiko mengutuk dirinya karena cacat dan Masao selalu bersamanya memberikan semangat.
Saat Akako menginjak umur empat tahun, Aiko bertanya, “Sayang, wajahmu menyerupai ibu?”
Itu ketika Akako akan berangkat sekolah dan sedang sarapan.
Akako menatap Ibunya. Dia kesal, ibunya tidak bisa melihat. Ibunya tidak dapat mengajarkannya membaca atau menemaninya belajar. Ibunya benar-benar sulit menemaninya. Tetapi secara keseluruhan, Akako menyerupai Ibunya, rambutnya yang panjang dan sehat dari Ibunya, tapi dia memiliki tubuh yang langsing seperti ayahnya Masao. Akako benar-benar anak Masao, jika tidak, dia tidak akan di pedulikan.
“Tentu saja. Juga.... Menyerupai ayah.”
Aiko terdiam. “Ayahmu siapa?”
Akako bingung. “Aku hanya punya satu ayah bukan?”
Aiko terkejut dan mengangguk-angguk. “Benar-benar.”
Mereka makan dan Akako benar-benar mencurigai ibunya.
********
Pada umur dua belas tahun, Akako mendapatkan peringkat tinggi dan Ibunya Aiko memberinya Obi biru kental dengan lukisan-lukisan ranting kecil.
“Ibu, aku menyukainya.” Akako membukanya dan melihat pola-polanya yang indah. Aiko senang dengannya. Tapi tidak lama kesedihan menyelimutinya.
Aiko meninggalkan rumah dan tidak tahu ke mana perginya. Aiko mulai gila. “Bagaimanapun putri kecilku harus kembali! Masao! Kau harus mencarinya hingga ke ujung Dunia.”
Dunia Aiko yang perlahan-lahan cerah kembali gelap. Aiko mulai gila. Dia selalu ingin bunuh diri dan mengutuk dirinya. Dia selalu bertanya Apa Akako pergi menginginkan kehidupan yang di inginkannya atau terjadi sesuatu kepadanya.
Aiko mengingat-ingat pertemuan mereka dan mencari-cari petunjuk kecil. Akako pernah berkata menyukai pohon yang tumbuh tanpa bantuan induknya. Dia ingin seperti pohon itu.
“Dia pasti pergi....” Aiko menyadarinya. Akako tidak jauh darinya. Tapi, bagaimana pun, Aiko harus menemukannya. Dia akan bertanya mengapa anak satu-satunya memilih pergi.
Masao membuka pintu. Aroma bunga menyebar keluar dari dalam rumahnya.
Ada meja kecil di ruangan tamu dan selembar surat dengan kata-kata, ‘Sayang, aku pergi sebentar.’