Pustaka
Bahasa Indonesia

Kehidupan di bukit

6.0K · Ongoing
made Budiarsa
15
Bab
73
View
9.0
Rating

Ringkasan

Masao mengasingkan istrinya yang buta di bukit. dia merasa perlu dilakukan untuk istrinya yang buta, tapi berbagai masalah muncul dengan kemunculan Harumi gadis remaja yang cantik

RomansaDewasaCinta Pada Pandangan PertamaMemanjakanSalah Paham

Kenangan beberapa tahun silam

Masao duduk di kereta. Dia ingin tidur tapi suara-suara kereta dan cahaya matahari di barat mengganggunya. Dia tidak terlalu mengantuk dan hanya bosan. Perjalanannya dari kota menuju desa benar-benar jauh dan melelahkan. Di usianya yang senja, rasanya benar-benar ingin menikmati hidup di rumah saja tanpa melakukan apa pun.

Di depannya hanya ada satu wanita memakai gaun putih sedang duduk membaca buku dengan headset bluetooth di telinganya. Dia memiliki dunianya sendiri. Di samping Masao ada seorang kakek-kakek tua yang bersandar di ujung jendela dengan tangannya terlipat. Dia tidak terganggu dengan getaran-getaran kereta atau cahaya matahari yang sedang masuk lewat jendela. Masao merasa kakek itu benar-benar hebat melakukannya. Tidak ada yang tahu bagaimana dia melakukannya. Mungkinkah sejak muda setelah pulang kerja dia selalu melakukannya, sehingga kepalanya menjadi keras dan tidak merasakan getaran? Dia memakai jaket tebal dan bibirnya sedikit terbuka. Suaranya ngoroknya tidak terdengar.

Sebenarnya kereta tidak terlalu bergetar, hanya saja Masao tidak merasa nyaman. Mungkin saja dia sedang memikirkan istrinya di rumah tanpa penjaga. Dia takut istrinya yang buta jatuh atau terluka, juga tersetrum ketika salah mengambil sesuatu. Masao melihat jam tangannya. Tidak, istrinya sedang sibuk mendengarkan puisi Haiku di ponselnya. Dia pasti sedang duduk di taman kecil menikmati aroma bunga persik yang banyak dengan ponselnya. Masao yang mengajarkan bagaimana cara membuka ponsel dan mendengarkan puisi Haiku. Istrinya yang buta butuh beberapa hari untuk melakukannya.

Masao sudah mengatakan kepada chiyo, wanita tua tetangganya untuk menjaganya. Wanita itu ramah dan selalu mengucapkan selamat pagi ketika Masao mengantar Aiko berjemur. Dia sering membagi lauk atau sesuatu yang lain kepadanya. Dan karena itu, Aiko sering berkata kepada suaminya untuk membeli lebih banyak Soup Miso di kota, beberapa untuk Chiyo. Masao ikut saja dan dia juga ingin membahagiakan istrinya itu.

Dia bisa membuat soup Miso, tapi tidak sesuai dengan selera istrinya, jadi dia terpaksa pergi jauh dan selalu saja mengkhawatirkannya di rumah. Tapi selalu saja Aiko baik-baik saja. Masao ingin melawan perasan buruk ini setiap saat pergi, tapi dia benar-benar tidak bisa melakukannya dan menyerah. Apa ini karena masa lalunya?

Aiko pernah mengkhianati cinta mereka, sebenarnya bukan cinta tapi Masao menganggapnya begitu. Karena mereka dekat akhirnya menikah. Masao bertemu dengannya di kota ketika festival Gion Matsuri. Waktu itu Masao jalan-jalan di kota ingin melihat jalan yang di penuhi orang-orang. Dia terlalu asik menatap ke depan dan tanpa sadar menabrak seseorang. Dia Aiko yang sedang Jalan-jalan.

“Kau juga ingin melihatnya?” Aiko berkata setelah mengamatinya.

Masao mengangguk.

“Namaku Aiko, kita bisa melihat bersama-sama.”

Aiko gadis yang ramah dan pemberani. Dia menarik tangan Masao dan ingin membawanya ke dalam, paling dekat dengan jalan, tapi karena banyak orang, mereka tidak bisa masuk.

“Kita masih kecil, orang-orang di depan kita terlalu tinggi. Kita hanya bisa menonton orang-orang dari sini.”

Masao tidak terlalu ingin menontonnya. Dia sudah melihatnya satu tahun yang lalu.

“Jika kau ingin melihat, aku bisa menggendongmu.”

“Apa kau kuat?”

“Tentu saja.”

Masao berjongkok. Dia tidak ada maksud lain selain membantunya.

Aiko melompat dan menginjak kedua tangan Masao. Sementara kedua tangannya melingkar di leher Masao. Gadis itu bisa melihat festival dengan sempurna. Gadis itu ramping dengan kimono merah muda, Masao dapat mengangkatnya dengan mudah.

“Ini momen yang tidak akan aku lupakan! Seumur hidup.”

*****

Tiba-tiba pria tua di ujung bangun, membuyarkan ingatan masa lalu Masao. Pria itu mengubah posisinya dan kembali tertidur. Sekarang dia terlentang di kursi dengan jaket sebagai bantalnya. Masao tidak mempermasalahkannya, lagi pula kereta sepi dan dia tidak membutuhkan banyak tempat. Sementara wanita di seberang tidak melihatnya. Masao lalu menatap jendela kereta. Ada pemandangan bukit-bukit tinggi yang di dipenuhi pohon kemudian cahaya matahari menjadi belang-belang karena pohon-pohon besar tumbuh di samping jalan. Masao Kemudian melihat beberapa petani sedang bekerja di ladang lalu kereta memasuki hutan.

Masao lagi-lagi mengingat istrinya, dia benar-benar mencintainya, tapi ketika Aiko membawa laki-laki bersamanya dan tinggal bersama mereka, dia menjadi sangat jengkel dan marah. Laki-laki itu teman Aiko selama penelitiannya.

“Maafkan aku...” Aiko bersimpuh di lantai yang dingin. Kaki-kaki yang lembut terasa sakit. Dia menundukkan kepalanya dan Wajahnya di penuhi rasa bersalah. Aiko sangat mencintai Laki-laki bernama Osamu, laki-laki yang baru di kenalnya beberapa bulan yang lalu. “Aku tidak bisa hidup tanpanya dan juga kau.”

Karena besar rasa cinta Masao kepada gadis itu, dia membiarkannya. Mereka tidur bertiga dan Aiko sering memeluk Osamu dan bermesraan tanpa memperhatikan Masao di sampingnya. Dia suami sahnya dan berhak menentang semua ini, tapi Aiko mengancam akan pergi jika tidak di izinkan seperti ini.

Masao menderita satu tahun. Tapi dia senang melihat Aiko senang dan sering tertawa. Dia menjadi lebih bersemangat dan produktif. Bagi Masao asalkan Aiko bahagia dia juga ikut bahagia, tapi ketika insiden cairan yang membutakan mata Aiko selamanya, laki-laki itu pergi di bawah hujan. Aiko mengejarnya dan akhirnya demam. Masao merawatnya. Masao jadi tahu cinta laki-laki itu bersifat sementara.

“Dia tidak bersamaku lagi,” kata Aiko sedih. “Tapi setidaknya kau masih bersamaku.” Dia memejamkan matanya dan tertidur. Masao ingin pergi tapi Aiko mengambil tangannya. “Jangan pergi. Kau harus tetap bersamaku.”

Masao merasa di hargai dan diam di sana. Dia tidur di sana dan Aiko memeluknya semalaman tanpa melupakannya.

Aiko takut kehilangan Masao setelah matanya buta. Dia tidak punya orang lain lagi dalam hidupnya. Aiko pergi dari keluarganya dan mengubah namanya. Dia membenci keluarga yang penuh pengaturan yang aneh dan tidak nyaman.

Setiap harinya hari, Aiko selalu menanyakan ke mana perginya Masao dan selalu menggenggam tangannya erat-erat. Dia selalu takut jika Masao pergi meninggalkannya.

Semua itu hanya perasaannya saja. Masao tidak akan meninggalkannya. Dia selalu sibuk mengajar dan bangga ketika para murid-murid memanggilnya Sense. Dia bahagia menjadi guru. Itu keinginan pada masa kecil dan akhirnya terwujud.

Dalam beberapa bulan kemudian perut Aiko membesar. Aiko tidak sadar jika dia mengandung. Dia menyakinkan Masao jika anak yang ada di dalam kandungannya anaknya, tapi Masao tidak bisa mempercayainya. Dia memang pernah bercinta dengan Aiko, tapi itu belum bisa mempercayainya.

“Kita bisa melihatnya nanti,” Kata Masao.

“Anak ini benar-benar anakmu!”

Kereta berhenti di stasiun. Wanita di depan melepas handset dan berjalan keluar. Sekarang hanya ada Masao di sana bersama laki-laki kepala super itu. Kereta kembali berjalan. Masao memandang jam tangannya. Sebentar lagi dia akan sampai. Dia lalu berdiri dan duduk di tempat seberang di mana wanita tadi duduk. Tempatnya masih hangat dan aromanya masih tersisa. Masao menikmatinya dan dia teringat dengan Aiko muda yang masih cantik. Ketika pagi menjelang, dia sudah berada di tempat pemberhentian bus. Kala itu memakai Kimono merah darah yang bagian bawahnya di hiasi lukisan-lukisan Mawar putih yang banyak, melingkari seluruh Kimononya. Dia memakai Obi hitam polos. Haineri-nya berwarna putih. Rambut sudah di sanggul dan dia akan pergi tapi Masao belum datang.

Kenapa dia belum datang?

Aiko gelisah sementara bus sudah datang.

“Pak, Sebentar lagi teman saya akan datang.”

Supir menunggu, tapi Aiko khawatir dengan Masao. Dia tidak pernah terlambat seperti ini. Dia tidak tahu harus mencarinya atau menunggunya lebih lama. Tapi, kemudian tiba-tiba Masao muncul dan berlari mendekatinya. Aiko senang.

“Kau terlambat! Cepat, kita sudah terlambat.” Dia menarik Masao ke dalam dan bus akhirnya berjalan.