Akako
Bunga Ume di dekat rel kereta api akhirnya bermekaran. Sudah lama sekali Aiko tidak mengunjunginya. Di bawah pohon yang tinggi dan ranting yang penuh bunga itu, dia sering mengingat Akako muda dengan Yukata merah muda sedang memutar-mutar tubuhnya.
Pohon itu tumbuh rindang dan bunga-bunga yang putih berjatuhan setiap beberapa menit sekali. Sejak muda Aiko lebih suka daun-daun mahoni yang berjatuhan. Daun-daun itu akan serempak terjatuh, menaburkan tubuhnya dengan daun-daun kuningnya. Dia seperti dimandikan daun-daunnya.
Di sampingnya Masao memegang tangannya yang lembut sembari menatap ranting-ranting pohon.
“Bagaimana kabar Sayuri?”
“Maksudmu Akako?”
Aiko mengangguk.
“Tentu saja dia bahagia dengan keluarga barunya. Dia berjanji akan bertemu dengan kita setelah semuanya selesai.”
“Akako....” Aiko mengingatnya sebagai anak gadis yang polos dan penurut. Dia tidak menyangka anak gadis yang di didik dengan baik meninggalkannya secara tidak terduga. Itu membuatnya sangat membenci gadis bernama Akako dan mengasingkan diri di desa.
Ketika dia mengetahui Akako mengirim surat perpisahan kepadanya, diremas surat itu.
“Bajingan kecil! Kau benar-benar berani meninggalkanku!!”
Aiko menjadi sangat marah dengan surat itu. Dia bahkan tidak membacanya ketika Masao datang membawanya.
“Kau tidak ingin tahu apa isinya?”
“Sudah jelas dia pergi dengan pilihannya sendiri! Masao, berjanji kepadaku untuk tidak meninggalkanku.”
“Aku berjanji.”
Luka kehilangan tidak sembuh beberapa hari dari Aiko. Dia sering menangis di kamarnya dan kadang-kadang terjatuh karena kemarahannya. Masao sering membantunya dan bersabar dengan sikapnya. Itu jelas karena penderitaannya yang buta dan kehilangan anak satu-satunya.
Setiap hari Aiko selalu di urus hingga pada akhirnya dia berkata, “Masao, aku tidak tahan berada di kota. Kita harus pindah ke desa secepat mungkin!!”
Masao tidak punya pilihan. Dengan tabungannya, dia membeli beberapa tanah dan pensiun secepat mungkin.
Hidup Aiko menjadi lebih baik dan tenang di desa. Dia sering duduk mendengarkan kereta lewat atau mencium aroma-aroma bunga, dan karena itulah Masao membuat taman yang besar di depan rumahnya.
Setelah beberapa tahun tinggal ada surat yang datang. Masao mengambilnya dan membacanya. Itu surat dari Sayuri, alias Akako yang mengganti identitasnya.
Di dalam surat itu ada beberapa ungkapan hati Akako dan mengapa dia meninggalkan rumah. Dia ingin menjadi seperti burung yang terbang bebas di langit. Dia tidak ingin di tekan oleh ibunya dan harus memenuhi syarat ibunya yang aneh dan terlalu baik. Masao kemudian berjalan ke halaman belakang. Di sana Aiko duduk memakai Yukata putih dengan lukisan bunga peonny besar-besar. Kedua tangannya diletakkan di pangkuannya. Dia menatap bunga-bunga sumire yang bergoyang-goyang karena hujan.
Masao khawatir kakinya akan sangat dingin karena percikan-percikan air, sehingga dia masuk dan kembali membawa selimut hangat. Dengan lembut menyelimuti kaki Aiko hingga seluruh kakinya tertutupi.
“Terima kasih.”
“Ada surat dari Sayuri.”
“Siapa Sayuri?”
Aiko tidak mengerakkan wajahnya. Dia masih menatap bunga-bunga Sumire. Aiko tidak tertarik dengan gadis bernama Sayuri. Menurutnya nama itu umum bagi semua orang.
“Akako.”
Ekspresi Aiko sedikit berkerut. Dia sudah menduga putrinya menggunakan identitas baru sehingga tidak dapat di temukan. Dia membencinya, tapi dia juga melakukannya ketika muda.
“Apa yang dia katakan?”
Masao duduk di kursinya. “Dia mengatakan ingin bebas.”
“Karena itu dia pergi?”
“Iya.”
“Jika aku bisa melihat, seharusnya aku bisa memahami wajahnya.”
“Itu bukan salahmu. Akako memang ingin pergi dari kita.”
“Dia sudah menikah?”
“Aku tidak tahu, tapi sepertinya dia sudah menikah. Ada coretan-coretan di suratnya, itu pasti anak kecil yang membuatnya.”
“Semoga saja dia sudah menikah. Kau tahu, keuntungan menikah itu banyak, meski banyak juga bebannya.”
“Aku tahu.”
Kereta lewat membawa angin segar dan menerbangkan beberapa helai rambut Aiko. Aiko tidak bergeming dan setelah kereta lewat dia sedikit menggerakkan wajahnya. Dan pada saat itulah Masao dan Aiko saling bertatapan. Mata masao yang cerah dan intens bertemu dengan mata kosong yang tidak ada kehidupan setelah bertahun-tahun. Masao memperhatikan kulitnya yang putih. Aiko benar-benar masih cantik. Dia lalu memperhatikan bibirnya yang kecil. Masao tidak tahan, maka di cium bibirnya itu. Aiko tidak bergeming dan kembali memandang ranting-ranting bunga ume yang tidak pernah dilihatnya.
“Bagaimana rasanya mencium Harumi?”
“Biasa-biasa saja.”
“Bagaimana denganku?”
“Kau membuatku suka dengan bibirmu.”
“Mulai sekarang aku tidak akan cemburu lagi. Aku akan berusaha mematikan perasaanku. Sudah seharusnya aku tidak menekan perasaanmu. Semua orang pasti akan pergi dariku. Aku akan membiarkanmu bersama Harumi. Dengan begitu aku bisa melepaskan tekanan yang kubuat untuk diriku sendiri.”
“Aku tidak menyukai gadis itu. Harumi hanya bunga yang mekar singkat.”
“Dia cantik bukan?”
“Dari mana kau tahu?”
“Cara dia berbicara dan aroma tubuhnya. Dia sangat memperhatikan tubuhnya.”
“Bukankah semua wanita sama?”
“Tidak. Wanita tidak sama.”
Mereka kemudian kembali dan ketika itu Chiyo sudah ada di sana menunggu mereka.