Daichi
Harumi menatap hamparan kebun teh yang selalu bersamanya, hingga dia tumbuh dewasa. Masa kecilnya di habiskan dalam lebatnya daun teh dan aromanya. Dia sering berpikir jika dia sudah menjadi seperti teh itu sendiri, di petik sebelum matahari terbit. Jika di pikir-pikir, dia memang seperti itu, di paksa dewasa sebelum waktunya, memahami dunia yang penuh penderitaan dan kekecewaan. Dia belajar dari ibunya betapa berbahayanya menaruh cinta dan kepercayaan pada orang yang salah. Dia juga belajar bagaimana cara mendapatkan kebahagiaan dan keindahan dunia tanpa mengalami pahitnya dunia.
Sejak kekerasan ayahnya di mulai, dia memahami semakin banyak ketidak pedulian, semakin bahagia seseorang. Dunia harus di nikmati seusai keinginannya, keinginan orang lain nomor dua. Semua orang pasti akan melakukannya tapi beberapa orang tidak bisa melakukannya, mereka menaruh hidup mereka pada orang lain.
Kebun teh itu di sinari matahari sore dan setelah hujan reda, Harumi mendapati buih-buih air mengantung di daun-daun yang hijau muda. Kebun teh setelah hujan akan jauh lebih baik. Harumi sering berjalan-jalan di antara teh, menghirup aromanya dan melihat beberapa ulat-ulat hijau di sana. Semua itu baginya benar-benar indah dan itulah menurutnya keindahan kebun teh yang selalu bersamanya.
Dari kecil, ayahnya bekerja dengan upah yang sedikit. Sebab itu, Chiyo harus bekerja demi menambah penghasilan. Harumi akan di bawanya dan di gendong di depan atau kadang-kadang di kerajang anyaman bambu. Harumi akan senang seperti itu dan menurutnya itu menyenangkan.
Ketika Harumi tidur, Chiyo akan menaruhnya di bawah pohon mahoni besar yang hanya ada satu-satunya di kebun teh itu. Betapa pun jeleknya pohon itu, orang-orang menyebut hanya indah dan sering kali daun-daun yang lebat menyelamatkan banyak orang dari kepanasan.
Pada masa pohon mahoni itu menggugurkan daun-daunnya, maka tidak ada lagi tempat untuk para petani berteduh, tapi sering kali pohon itu berbuah dan membuka kelopak-kelopaknya. Harumi yang penasaran sering kali mengambilnya dan berusaha membukanya. Kulit buahnya keras dan harumi sering memukulnya di batu. Meskipun tidak ada apa-apa seperti yang di dengarnya di dongeng-dongeng–semacam buah yang berbiji emas atau uang–Harumi tetap menyukainya. Masa kecilnya adalah masa yang penuh keinginan tahuan dan dunia belum mengenalinya.
Untuk para petani, pohon mahoni sering menyajikan ranting-ranting yang kurus tidak terlalu kurus seperti nenek-nenek berumur satu abad itu. Para petani sering kali menikmati pemandangan pohon gundul itu dan jika mereka beruntung dapat melihat pohon itu menggugurkan kelopak-kelopak buah mereka. Hanya beberapa orang yang beruntung dapat melihatnya dan sebagainya hanya menyadari ada kelopak yang jatuh setelah suaranya terdengar. Orang yang beruntung itu akan berkata, dia beruntung bisa melihatnya. Dengan suara dan logat yang di buat-buat, sudah cukup menjadi hiburan semua orang.
Meskipun Harumi tidak menyukainya, dia tanpa sadar mendengarkannya dengan baik dari awal hingga akhir.
Kebun teh itu dan pohon mahoni menjadi kenangan berharga untuknya.
Kabarnya, pohon mahoni besar itu akan di tebang untuk di jadikan bangunan. Harumi tentu saja menentangnya tapi apalah dia bagi pemilik kebun teh itu?
Harumi berjalan menurun dengan hati-hati. Dia takut jatuh dan jalannya sedikit curam. Tidak ada lumut dan itu membuatnya lebih lega.
Sekarang tidak ada orang di kebun teh. Harumi datang terlalu sore. Dia juga tidak mengharap seseorang.
Memandang langit biru sebentar, dia berpikir mungkin ada sedikit waktu dengan cepat berjalan mengikuti rel kereta api. Melewati rumahnya, perkebunan dan melangkah menanjak ke arah bukit kecil.
Di sana ada satu rumah. Seorang pemuda sedang duduk sembari menghaluskan kayu.
“Seperti biasa, kau sangat rajin.”
Pemuda itu memandangnya. Dia terlalu fokus dengan pekerjaannya itu sehingga tidak menyadari seseorang datang. Memicingkan sedikit matanya yang besar lalu kembali menghaluskan kayu di tangannya.
Harumi sering datang ke sini dan Daichi yang memiliki kesan tidak peduli selalu membuatnya rindu. Ketidak pedulian yang disembunyikan dari kepedulian di dalam tubuhnya tersembunyi dengan baik. Harumi menyukai sikap seperti itu, yang bagaikan bunga busuk yang memancarkan aroma wangi.
Dia berjalan dan melihat-lihat sekitar. Ada beberapa pohon bonsai di halaman rumah. Ketika harumi berkunjung sebelumnya, Daichi sibuk dengan pohon-pohon itu, tapi dia selalu menyisir rambutnya ketika dia berkunjung. Daichi seorang pengrajin, dia sering membuat tusuk rambut kayu dan ketika Harumi mengunjunginya, selalu saja dia menyelipkan tusuk rambut pada rambut Harumi, namun selalu saja gadis itu tidak pernah memakainya. Dia suka tapi malas memakainya.
Harumi tidak tahu jenis pohon apa itu sehingga dia hanya diam. Menurutnya tidak ada yang indah sehingga dia mengambil kursi lalu duduk kemudian menarik gelang rambutnya.
“Daichi, Selalu saja aku menyukai caramu menggulung rambut.” Harumi tidak menoleh dan dia selalu percaya Daichi akan menghampirinya meski dia tidak menjawab.
Tidak lama Daichi datang dengan kursi lalu duduk di belakangnya seperti yang di duganya.
Ibunya sering melihatnya seperti ini dan kadang-kadang dia berpikir Daichi menyukai Harumi atau mereka memiliki hubungan yang istimewa. Di antara mereka hanya sebatas teman. Daichi tidak memiliki perasaan kepadanya dan begitu pula Harumi.
Daichi dengan pelan mengambil rambutnya. Seperti yang bayangkan, rambutnya lembut dan berwarna hitam peka. Daichi pernah bilang jika ada iklan sampo, Harumi cocok menjadi artisnya. Harumi hanya tertawa, tidak percaya dengan apa yang di dengarnya.
Kemudian dia memasukkan dengan lembut sisir ke dalamnya dan menariknya ke bawah. Harumi gadis yang bersih, setiap hari dia menyisir rambutnya, sehingga sisir itu begitu lembut terjatuh.
“Rambut yang indah.”
“Selalu saja kau memujinya.”
“Mau bagaimana lagi?”
Harumi terdiam.
Daichi fokus menyisir. Setelah beberapa saat dia menyatukan rabut itu menjadi satu kemudian mendekatkannya ke pipi.
“Daichi, kau selalu melakukannya,” pekik Harumi. Suaranya sedikit di tekan, tapi dia tidak menoleh atau mengelak; Dia membiarkan tingkah laku Daichi seperti anak kecil.
Rambut Harumi lebih lembut dari kuas, Daichi menyukai belaiannya dan sering memejamkan matanya. Kemudian dia mengambil tusuk rambut, menggulungnya lalu menusuknya.
Tusuk rambut itu sudah di haluskannya dengan ukiran bunga berkelok kecil-kecil. Daichi menambahkan beberapa gantungan mutiara di ujungnya. Dia ingin pergi tapi Harumi berkata,
“Beberapa hari yang lalu, tuan Masao menciumku.”
“Lalu?”
Tentu saja Daichi tahu tuan Masao itu, seorang pensiunan guru yang menetap di desa. Dia adalah orang kaya yang sedang mengasingkan diri. Harumi sering berkata dia ingin menjadi istrinya dan tidak hidup susah lagi meski pun dia harus di peristri orang yang berumur jauh darinya.
“Harumi, dia menyukaimu?”
“Bagaimana mungkin?” Harumi tidak menoleh. Daichi hanya dapat menikmati leher gadis itu yang ramping dan bersih. Harumi memiliki leher putih yang ramping.
“Bagaimana mungkin?” dia mengulanginya lagi dengan nada rendah. “Dia lebih menyukai istrinya yang buta dan menjadi beban itu.”
“Aku rasa dia cinta sejatinya. Kau tahu, wanita itu hanya ada satu di Dunia ini.”
“Meski begitu, aku akan berusaha.”