Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Memulai Kembali

Sudah tiga hari berlalu sejak Bai Zhen sadar di dunia asing ini. Semakin lama ia membuka mata, semakin jelas bahwa tempat ini bukanlah Benua Astralis yang dulu ia tinggali. Suasananya terlalu tenang, terlalu terpencil, seakan terputus dari hiruk-pikuk dunia kultivasi yang pernah ia kenal.

Di sini, mayoritas orang bahkan belum melampaui dasar kultivasi. Bai Zhen menduga, sangat kecil kemungkinan ada satu pun orang yang mampu mencapai Tahap Dewa di tempat seperti ini. Energi spiritual di udara pun begitu tipis, nyaris tidak terasa. Tempat ini… benar-benar terbelakang.

Tubuh yang ia tempati sekarang juga tak bisa dibilang membanggakan. Lemah, kurus, dan terlihat rapuh. Kulitnya putih dan lembut, seperti belum pernah disentuh latihan fisik seumur hidup. Seperti anak manja yang hanya tahu hidup nyaman. Bai Zhen sempat mencibir dalam hati, membayangkan betapa mudahnya tubuh ini hancur jika dibawa bertarung. Bahkan untuk mengikat seekor ayam pun mungkin tidak sanggup.

Ia menghela napas dan menggeleng pelan. Tidak ada gunanya mengeluh. Ini tubuhnya sekarang, dan hanya dengan ini ia bisa kembali membangun kekuatannya.

Dunia kultivasi yang ia tahu terbagi dalam tiga jalur besar. Jalur Fana, Jalur Semi Abadi, dan Jalur Abadi. Masing-masing memiliki sembilan tahap yang harus dilalui. Namun saat ini, tak ada gunanya memikirkan dua jalur terakhir. Bai Zhen bahkan belum memulai jalur yang paling dasar sekalipun.

Yang terpenting sekarang adalah membentuk dantian. Tanpa itu, ia bukan kultivator. Ia hanyalah manusia biasa yang tak lebih dari debu di tengah angin. Dantian adalah pusat kekuatan seorang kultivator. Tanpanya, tidak ada teknik, tidak ada Qi, dan tidak ada harapan.

Bai Zhen mengalihkan pikirannya kembali pada Jalur Fana, satu-satunya jalur yang bisa ia tapaki sekarang. Tahapan di jalur ini sebenarnya telah lama ia lupakan, karena di masa lalu, semuanya terasa terlalu mudah. Namun kali ini, keadaannya berbeda. Tempat ini tidak seperti Benua Astralis. Energi spiritual begitu tipis, dan jalur ini… tak lagi semudah dulu.

Tahapan kultivasi pada Jalur Fana dimulai dengan Kondensasi Qi, lalu dilanjutkan dengan Regenerasi Qi, Penempaan Fondasi, Penempaan Tulang, Penempaan Qi, Penyempurnaan Qi, Penyulingan Qi, Penempaan Suci, dan yang terakhir adalah Kristalisasi Qi. Setiap tahap terdiri dari sembilan tingkat kecil yang harus dilalui satu per satu.

Sayangnya, tubuh yang kini ia tempati bahkan belum menyentuh tahap pertama. Sebuah awal yang menyedihkan, apalagi bila dibandingkan dengan pencapaiannya dahulu.

Bai Zhen menatap langit kosong di atas atap rumah sederhana tempat ia beristirahat. Mungkin butuh waktu lama. Mungkin akan sangat berat. Tapi tidak apa-apa. Yang terpenting… ia masih hidup.

"Aku akan mulai lagi dari sini," gumamnya pelan, mencoba menyemangati dirinya sendiri.

Tok tok tok.

"Masuk," ucap Bai Zhen sambil buru-buru memperbaiki posisi duduknya, berusaha terlihat lebih tegak dan segar.

Pintu terbuka pelan, dan muncullah Mei Lin dengan langkah ringan. Gadis kecil itu menatapnya penuh kekhawatiran.

"Tuan muda... aku dengar kau akan pergi hari ini. Apa tidak sebaiknya menunggu sampai benar-benar pulih?" tanyanya pelan, dengan sorot mata sedih yang tak bisa disembunyikan.

Bai Zhen tersenyum tipis lalu mengelus kepala Mei Lin lembut. "Tak apa, aku sudah jauh lebih baik sekarang. Lagi pula, ini hanya perjalanan singkat. Gunung Hongshan masih termasuk wilayah kekuasaan Klan Bai. Tidak akan ada yang berani menyentuhku."

Mei Lin, yang baru berusia dua belas tahun, masih tampak polos dan kekanak-kanakan. Ia mudah percaya, apalagi pada Bai Zhen yang selama ini ia kagumi. Maka, tanpa banyak tanya lagi, ia pun segera membantunya berkemas.

Tak banyak barang yang dibawa Bai Zhen. Hanya beberapa stel pakaian sederhana dan beberapa potong roti kering untuk bekal selama di perjalanan. Ia tak membutuhkan banyak hal. Tujuan perjalanannya bukan untuk bersenang-senang, melainkan untuk memulai kembali dari nol.

***

Bai Zhen benar-benar pergi dengan cara yang sangat sederhana. Tidak ada kereta mewah yang mengantar, tidak ada pelayan yang mengikuti di belakang, dan tidak ada barang berharga yang dibawa. Ia hanya mengenakan jubah abu-abu bersih yang tampak terlalu polos untuk seorang putra bangsawan. Di punggungnya tergantung sebuah kantong kulit kecil berisi tiga set pakaian ganti dan beberapa potong roti kering.

Langkah kakinya mantap, namun dalam diam ia tahu betul bahwa ini bukanlah perjalanan biasa. Ini adalah titik awal dari perjalanannya yang baru. Tidak lagi sebagai Bai Zhen yang dikenal sebagai cucu kesayangan Ketua Klan Bai, melainkan sebagai seorang pemuda biasa yang mencoba membangun kembali kekuatan yang telah hancur.

Di halaman utama kediaman keluarga, Bai Tianhe berdiri dengan tangan di belakang punggung. Wajahnya tenang namun sorot matanya tajam. Ia menyerahkan sebuah pedang panjang bersarung kulit perak kepada Bai Zhen.

"Jaga dirimu baik-baik," ucap Bai Tianhe, suaranya rendah namun mengandung kekuatan. "Sebagai murid dari Klan Bai, kau akan membawa pedang perak ini. Gunakan itu untuk melatih dirimu."

Bai Zhen menerima pedang itu dengan kedua tangan. Meski terlihat sederhana, pedang ini terasa kokoh dan mantap. Namun, tidak semua orang setuju.

"Ini terlalu lemah," ujar Bai Yufan, adik kedua ayahnya, yang berdiri tak jauh dari mereka. Nada suaranya jelas menunjukkan kekhawatiran. "Bagaimana jika ia bertemu dengan binatang buas atau bandit di perjalanan? Setidaknya berikan senjata yang lebih kuat."

Bai Tianhe tidak segera menjawab. Ia menatap langit sebentar sebelum akhirnya berkata dengan mantap, "Segala sesuatu di dunia ini bisa menjadi senjata, tergantung pada siapa yang menggunakannya. Bahkan daun sekalipun bisa membunuh jika jatuh ke tangan orang yang tepat. Jika Zhen tidak bisa bertahan dengan pedang ini, maka tidak ada gunanya ia pergi ke Gunung Hongshan."

Ucapan itu terdengar keras dan tak berperasaan bagi sebagian orang, namun bagi Bai Zhen, kalimat itu justru membakar semangat di dalam dadanya. Ia tahu betul bahwa kakeknya bukan bermaksud menjatuhkan, melainkan mempersiapkannya menghadapi dunia yang kejam dan tak memihak.

Dulu, ia bisa menundukkan musuh hanya dengan tekanan auranya. Ia bahkan tidak perlu menyentuh senjata untuk membuat orang berlutut di hadapannya. Tapi semua itu sudah berlalu. Kini ia bukan siapa-siapa. Dan pedang perak sederhana ini akan menjadi satu-satunya temannya dalam perjalanan.

Bukan kekuatan pedang yang ia butuhkan, tapi kesempatan untuk kembali membentuk dirinya. Dan dari titik inilah, ia akan memulai lagi segalanya dengan tangan yang kosong, tapi tekad yang tak tergoyahkan.

Bagi seorang kultivator, memiliki banyak guru bukanlah sesuatu yang luar biasa. Namun bagi Bai Zhen, satu guru di kehidupan sebelumnya sudah lebih dari cukup. Ia adalah sosok yang tak tertandingi, dan Bai Zhen tidak pernah berpikir untuk menerima guru lain setelahnya.

Dengan penuh hormat, ia menundukkan kepala lalu menerima pedang perak dari tangan kakeknya. Kedua tangannya menggenggam gagang pedang itu dengan mantap, seolah mengukuhkan tekadnya sendiri.

"Terima kasih atas perhatian Kakek dan Paman Kedua. Dua bulan dari sekarang, aku akan kembali... sebagai pribadi yang berbeda." Suaranya mantap, nada bicaranya penuh keyakinan.

Bai Tianhe mengangguk pelan. "Kakek akan menunggumu di sini," ujarnya, sorot matanya penuh harapan. "Enam bulan dari sekarang akan ada kompetisi di Kota Yunhe. Jika kau cukup beruntung dan kuat, kau bisa ikut berpartisipasi."

Setelah ucapan itu, Bai Tianhe perlahan berjalan meninggalkan halaman. Di tangannya tadi, pedang perak itu terasa ringan. Tapi begitu digenggam oleh Bai Zhen, bebannya mulai terasa. Berat pedang itu sekitar tujuh kilogram, tidak sebanding dengan pedang berkualitas tinggi yang bisa mencapai dua puluh kilogram atau lebih.

Namun, itulah alasan Bai Tianhe tidak memberikannya senjata yang lebih baik. Bukan hanya karena pedang berkualitas bisa mengundang bahaya, tetapi juga karena tubuh Bai Zhen yang belum pulih sepenuhnya tidak akan mampu mengendalikan senjata semacam itu. Sekuat apa pun sebuah senjata, jika tak mampu digunakan, maka tetaplah tidak berguna.

***

Keesokan harinya, sebelum fajar menyingsing, Bai Zhen sudah meninggalkan kediaman Klan Bai. Ia berjalan kaki menuju Gunung Hongshan, berharap bisa mencapai puncak sebelum matahari tenggelam.

Namun, baru beberapa kilometer dari kaki gunung, langkahnya mulai goyah. Nafasnya tersengal, tubuhnya lelah, dan keringat mengucur deras membasahi punggungnya.

"Sial..." gumamnya sambil menahan nyeri di kakinya. "Tubuh ini lebih payah dari anak sepuluh tahun."

Ia tertawa miris, tapi tidak berhenti berjalan. Karena ia tahu, ini baru permulaan dari segalanya.

Ia mengeluarkan kantong air dari dalam ranselnya lalu meneguknya perlahan. Setiap tetes air terasa begitu berharga di tengah perjalanan yang melelahkan. Setelah itu ia duduk di bawah naungan pohon besar di tepi jalan setapak membiarkan tubuhnya beristirahat sejenak.

Dengan kecepatan seperti ini kemungkinan besar ia baru akan mencapai puncak keesokan pagi. Gunung Hongshan memiliki keunikannya sendiri. Tempat ini tidak terasa terlalu panas maupun terlalu dingin. Justru sejuk dan menenangkan. Suasana yang sangat cocok untuk bermeditasi atau memulai latihan.

Lebih dari itu aliran energi spiritual di tempat ini terasa lebih murni dan padat dibandingkan dengan yang ada di kediaman Klan Bai. Bai Zhen bisa merasakannya perlahan mengalir di udara seperti kabut tipis yang menyelimuti tubuhnya dengan lembut.

Ia tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Setelah meletakkan barang bawaannya Bai Zhen duduk bersila. Punggungnya tegak napasnya mulai diatur dan pikirannya dibersihkan dari gangguan.

Jika malam ini ia berhasil membentuk dantian maka itu akan menjadi langkah awal untuk kembali menjadi seorang kultivator sejati.

Dengan tenang ia mulai menarik Qi dari udara sekitar membiarkannya masuk perlahan ke dalam tubuh yang masih lemah ini. Dalam diam ia berharap bisa membangkitkan kembali kekuatan yang pernah ia miliki di kehidupan sebelumnya.

Qi dari udara sekitar mengalir deras memasuki tubuh Bai Zhen. Energi itu terasa hangat dan penuh kehidupan, meresap ke dalam pori-porinya, melintasi meridian yang sebelumnya nyaris tak berfungsi. Saat jumlahnya sudah cukup untuk mulai membentuk dantian, Bai Zhen justru menahan prosesnya.

Ia tahu benar betapa pentingnya pondasi dalam kultivasi. Jika dantian dibentuk secara tergesa atau asal asalan, maka seluruh jalur kultivasinya di masa depan akan rapuh. Ia tidak menginginkan kekuatan yang hanya bersifat sementara. Ia menginginkan kekuatan sejati, kekuatan yang bisa menantang langit.

Karena itu, Bai Zhen terus menarik Qi ke dalam tubuhnya. Lapisan demi lapisan energi spiritual memenuhi rongga dalamnya hingga terasa nyaris meledak. Setiap helaan napas menjadi berat, setiap gerakan menjadi seperti membawa beban tak kasat mata. Tubuhnya bergetar pelan menahan tekanan yang terus meningkat.

Delapan belas jam berlalu tanpa jeda. Keringat sebesar biji jagung mulai bermunculan di dahinya dan menetes perlahan ke tanah. Napasnya tersengal, tetapi matanya tetap terpejam dengan fokus penuh.

Akhirnya ia menghela napas panjang. Suaranya lirih namun mantap.

"Sudah cukup," gumamnya sambil membuka matanya perlahan.

Bersambung...

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel