Janji di Kehidupan Kedua
Bai Zhen merasa seolah dirinya terperangkap dalam tidur panjang yang gelap dan tak berujung. Tak ada suara, tak ada cahaya, hanya kehampaan yang menusuk jiwa, membekap kesadarannya dalam sunyi yang mengerikan. Namun perlahan-lahan, rasa nyeri mulai menjalar ke seluruh tubuhnya, seperti cambuk tak kasat mata yang mencabik setiap ruas tulangnya, menandakan bahwa ia masih hidup atau setidaknya belum sepenuhnya mati.
Dengan pelan kelopak matanya terbuka, gerakannya kaku seperti baru saja terbangun dari tidur puluhan tahun. Pandangannya kabur, hanya siluet-siluet samar yang terlihat sebelum akhirnya fokus pada langit-langit kayu yang asing di atasnya. Ia mengerjap beberapa kali, matanya terasa berat dan tubuhnya pun terasa begitu sakit, seolah baru saja dihajar habis-habisan oleh sekelompok orang.
"Di mana… aku?" gumamnya pelan, suaranya serak dan nyaris tak terdengar, seperti suara orang yang belum bicara selama berhari-hari.
Ruangan tempatnya berada tampak sederhana, hanya sebuah kamar kecil dengan tempat tidur dari kayu kasar, sebuah lampu minyak menyala redup di sudut ruangan dan aroma samar obat herbal menguar di udara, menusuk hidung dengan kelembutan yang aneh. Tak ada perabot mewah atau hiasan, namun tempat itu cukup bersih dan hangat. Jika ini adalah dunia kematian… maka kematian jauh lebih nyaman daripada yang pernah ia bayangkan.
“Apakah dunia kematian punya kamar pribadi seperti ini? Lumayan.” Ia tertawa hambar, hampir sinis, mencoba berdiri. Namun tubuhnya kembali terhuyung dan jatuh karena nyeri yang menyiksa, membuatnya meringis tajam.
Baru ketika rasa sakit itu kembali datang seperti gelombang pasang yang menghantam keras, Bai Zhen terdiam. Perlahan ekspresi wajahnya berubah menjadi serius, matanya melebar dalam kesadaran yang mengejutkan.
"Tunggu… jika aku sudah mati, seharusnya aku tidak bisa merasakan sakit. Tapi rasa ini… terlalu nyata." bisiknya dalam hati, mulai merasa ada yang tidak beres.
Tiba-tiba, kepalanya seperti dihantam palu besar yang mengguncang isi otaknya. Dalam sekejap gelombang ingatan yang bukan miliknya menyerbu masuk begitu saja, memaksa dirinya melihat gambar-gambar kehidupan seseorang yang asing, namun terasa begitu dekat. Potongan kenangan seorang pemuda dari Klan Bai muncul bertubi-tubi di benaknya. Tawa kakeknya yang hangat, tatapan khawatir dari sepupu-sepupunya, hingga bisik-bisik sinis dari beberapa tetua klan yang tersembunyi di balik senyum.
Bersamaan dengan itu, perasaan getir dan keputusasaan menyerbu masuk, mencekiknya dengan kuat, menghujam dalam seperti duri yang menusuk ke dalam jiwanya. Rasa asing itu terasa begitu nyata, seolah-olah telah lama terpendam dalam dirinya.
"Tubuh ini… bukan milikku. Tapi entah bagaimana, aku berada di dalamnya sekarang," batinnya dalam diam, tatapannya terpaku pada tangan pucat yang kini menjadi miliknya.
Perlahan Bai Zhen menyusun kepingan-kepingan memori asing yang bermunculan dalam pikirannya, mencoba memahami kehidupan pemilik tubuh ini. Ia menemukan dirinya dalam tubuh seorang pemuda bernama Bai Zhen, seorang anggota muda dari Klan Bai. Nama yang sama, nasib yang serupa, namun jiwa yang berbeda. Pemuda itu hidup bersama kakek, paman, bibi dan seorang sepupu. Kedua orang tuanya telah lama tiada, meninggalkan pemuda itu dalam naungan kasih sayang keluarga, meski ia tak pernah benar-benar menjadi pusat perhatian.
Usianya baru 14 tahun, namun ia sudah dijodohkan dengan putri dari Keluarga Qin, salah satu klan terpandang dan kuat di wilayah ini. Harapan untuk mendapatkan istri yang baik dan menaikkan derajat keluarganya sirna begitu saja. Gadis itu dengan kejam menolak lamaran dan memilih melarikan diri bersama seorang pria dari Keluarga Han, meninggalkan Bai Zhen muda dalam kekecewaan yang mendalam.
Jiwa Bai Zhen muda tercabik-cabik oleh rasa malu dan keputusasaan, memilih untuk meninggalkan tubuhnya. Ia melompat ke danau, berharap air dingin itu akan membawanya ke tempat yang lebih tenang. Keluarganya menemukannya tepat waktu, menyelamatkan tubuhnya dari kematian. Namun jiwa pemuda itu telah pergi, meninggalkan tubuh kosong yang tak lagi bernyawa. Seolah-olah takdir telah mencabut nyawanya, meninggalkan tubuhnya untuk dihuni oleh jiwa lain.
Dan kini… tubuh itu menjadi miliknya.
Bai Zhen, mantan Dewa Legendaris yang pernah mengguncang langit dan bumi, kini terlahir kembali dalam tubuh seorang remaja dengan nama dan nasib yang nyaris serupa. Sebuah ironi yang pahit, seolah-olah takdir tengah mempermainkan dirinya dengan memberikan kesempatan kedua dalam bentuk yang tak terduga.
Sudut bibirnya terangkat membentuk seringai tipis. "Bodoh," gumamnya pelan, "Tapi jangan khawatir. Aku akan membalaskan dendammu. Kebetulan, kita punya musuh yang sama, mereka yang bermarga Han."
Tatapannya menajam. Api di matanya yang sempat padam perlahan menyala kembali, membawa bara semangat dan dendam yang tertahan.
Bai Zhen, Dewa Legendaris yang pernah mengguncang langit dan bumi, kini menjelma dalam tubuh seorang remaja. Seolah-olah takdir telah menuntunnya kembali ke dunia ini, menjalani kehidupan baru dengan nama dan nasib yang serupa. Meskipun telah kehilangan kejayaannya, semangatnya tetap membara, mencari jalan untuk kembali ke puncak kejayaan.
Tak lama kemudian, pintu kamar itu terbuka perlahan. Seorang gadis muda berdiri di ambang pintu, menatap ke dalam dengan mata membulat. Saat melihat Bai Zhen yang sudah siuman, rona wajahnya berubah campuran antara keterkejutan, kebahagiaan, dan kekhawatiran yang begitu dalam. Tanpa sempat berpikir panjang, ia segera berbalik dan berteriak dengan suara lantang yang menggema ke seluruh penjuru rumah.
"Tuan Besar! Tuan Kedua! Nyonya Kedua! Tuan Muda sudah sadar!" serunya dengan nada penuh haru dan semangat.
Gadis itu adalah Mei Lin, pelayan pribadi Bai Zhen sejak kecil. Meskipun secara status hanyalah seorang pelayan, keberadaannya di kediaman utama keluarga tidak bisa dianggap remeh. Ia bukan sekadar pelayan biasa. Mei Lin adalah yatim piatu yang dulu ditemukan oleh para penjaga Klan Bai, hampir mati membeku di halaman depan gerbang klan pada malam musim dingin yang brutal. Berkat belas kasih Bai Tianhe, kakek Bai Zhen, gadis kecil itu diselamatkan dan dirawat selayaknya anggota keluarga sendiri.
Usianya hanya terpaut dua tahun dari Bai Zhen. Mereka tumbuh bersama, bermain, belajar dan berbagi hari-hari di bawah atap yang sama. Meski dirinya hanyalah pelayan, perlakuan yang diterimanya tak pernah berbeda jauh dari tuan muda keluarga bangsawan. Ia selalu mengenakan pakaian bersih, makan makanan yang layak, bahkan mendapat pendidikan dasar. Semua orang di Klan Bai memperlakukannya dengan hangat, terlebih karena sifatnya yang setia, tulus dan rajin.
Klan Bai dulu berjaya dan disegani di wilayah itu, kini hanya tinggal kenangan. Kejayaan mereka di masa lalu ditopang oleh tiga pilar utama yaitu Bai Tianhe, kepala klan dan kakek Bai Zhen, yang bijaksana dan berpengaruh; Bai Yufan, paman kedua yang dikenal cerdas dan tangguh dan Bai Zhen, cucu harapan yang diimpikan membawa masa depan cerah bagi klan.
Namun, segalanya mulai berubah sejak kematian ayah Bai Zhen dalam sebuah pertempuran besar beberapa tahun lalu. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa Bai Zhen muda dikenal sebagai anak yang lemah, terlalu dimanjakan dan tidak memiliki bakat menonjol dalam kultivasi, kekuatan serta pengaruh Klan Bai perlahan meredup. Klan yang dulu berjaya itu kini mulai kehilangan pijakan di tengah dunia kultivasi yang keras, penuh intrik dan tidak mengenal belas kasih.
“Jangan berisik,” ucap Bai Zhen pelan, suaranya nyaris hanya sebuah bisikan serak. Ia menekan pelipisnya, merasakan denyutan tajam di kepalanya. Meskipun terdengar lemah, suaranya membawa ketenangan, membuat Mei Lin langsung menutup mulut dengan kedua tangannya. Raut wajahnya berubah menjadi panik dan menyesal, menyadari bahwa teriakannya tadi terlalu keras.
Bai Zhen menarik napas panjang dan perlahan, mencoba menenangkan pikirannya yang masih terasa kacau. Ia tahu, sejak saat ini, ia harus mulai menyesuaikan diri dengan peran Bai Zhen yang asli. Sedikit saja ia bertingkah aneh atau berbeda, maka orang-orang Klan Bai akan curiga dan itu bukan sesuatu yang bisa ia hadapi dalam keadaan seperti ini.
Tak berselang lama, suara langkah kaki terdengar tergesa dari arah luar ruangan. Suara langkah-langkah itu bergema di koridor kayu, disertai dengan desiran pakaian yang terburu-buru. Pintu kamar terbuka dengan cepat dan empat sosok muncul dengan ekspresi penuh kecemasan.
Yang paling depan adalah seorang pria tua dengan janggut putih rapi. Meskipun tubuhnya telah dimakan usia, posturnya tetap tegak dan memancarkan wibawa kuat yang tak terbantahkan. Tatapan matanya tajam, namun menyimpan kehangatan seorang kakek. Ia adalah Bai Tianhe, kepala Klan Bai saat ini kakek Bai Zhen yang dihormati semua orang.
Di belakangnya, menyusul dua sosok dewasa Bai Yufan, paman kedua Bai Zhen yang dikenal cerdas dan tangguh, serta bibi kedua, istri Bai Yufan, sosok lembut yang selama ini merawat Bai Zhen dengan penuh kasih sayang. Keduanya tampak lega melihat Bai Zhen sadar, namun bayangan kekhawatiran masih belum benar-benar sirna dari wajah mereka.
Lalu di barisan paling belakang, berdiri seorang gadis muda. Tubuhnya ramping dan tegap, wajahnya tenang dengan ekspresi yang sulit ditebak. Mata hitam pekat itu menatap Bai Zhen dalam diam tak menunjukkan emosi jelas, tapi juga tidak mengandung permusuhan.
Ia adalah Bai Ziyan, adik sepupu Bai Zhen. Di usianya yang masih belia, gadis ini telah dikenal sebagai jenius bela diri, bahkan oleh para tetua klan luar. Sikapnya kaku, jarang berbicara dan selalu tampak menjaga jarak, namun tidak ada yang meragukan ketulusan serta kesetiaannya terhadap keluarga.
“Syukurlah kamu sudah sadar,” ujar Bai Tianhe, suaranya bergetar meski tetap berusaha terdengar lembut dan tenang. Nada bicaranya sarat akan kekhawatiran yang terpendam dalam-dalam selama beberapa hari terakhir. Ia segera duduk di tepi ranjang, tangannya yang renta namun kokoh menggenggam tangan cucunya erat-erat, seolah memastikan bahwa cucunya benar-benar kembali ke dunia ini, bukan hanya bayangan dari harapan kosong.
“Tolong jangan lakukan hal-hal berbahaya seperti itu lagi,” lanjutnya dengan suara yang nyaris pecah. Matanya memandang cucunya dalam-dalam, seolah tak ingin melewatkan satu detik pun dari kehadiran anak itu. “Kakek akan mencarikan gadis yang jauh lebih cantik dan lebih baik dari wanita tak tahu diri itu.”
Bai Zhen hanya tersenyum kecil mendengar ucapan itu. Tatapannya melembut, lalu ia menggeleng pelan. “Kakek tak perlu khawatir,” jawabnya dengan tenang, suaranya stabil dan dalam, seperti air yang mengalir di danau tanpa riak. “Sebelumnya aku tidak sengaja... aku hanya terpeleset masuk ke danau. Di masa depan, aku akan menganggap bahwa aku dan dia memang tak berjodoh. Tak perlu diungkit lagi.”
Kata-katanya terdengar meyakinkan, bahkan terlalu damai bagi seseorang yang baru saja berada di ambang kematian. Namun bagi Bai Zhen yang baru—jiwa asing yang menghuni tubuh ini—kalimat itu bukan sekadar penenang bagi keluarganya. Itu adalah deklarasi dari tekad baru. Sebuah permulaan dari perjalanan panjang yang tak hanya tentang dendam, tapi juga penebusan dan kekuatan untuk mengubah takdir.
Bai Tianhe menatap cucunya dengan mata yang mulai memerah. “Bagus sekali jika pemikiranmu sudah seterbuka itu. Kau hampir saja membuat Kakek mati ketakutan,” ucapnya, lalu mengangkat tangannya yang satu lagi untuk mengusap sudut matanya. Ada genangan air yang nyaris tumpah, bukti nyata dari cinta dan kekhawatiran yang selama ini dipendam dalam diam. “Kami sudah memanggil begitu banyak tabib, dan semuanya mengatakan kau tak bisa diselamatkan. Lihatlah! Mulut gagak mereka benar-benar menyumpahimu!”
Meski ucapannya mengandung nada kesal, wajah tua itu kini dihiasi senyum lebar. Cahaya harapan yang sempat padam di matanya perlahan menyala kembali, seperti lentera yang kembali mendapatkan minyaknya. Bai Tianhe tampak seperti seseorang yang baru saja melepaskan beban besar dari pundaknya beban kehilangan, ketidakberdayaan dan penyesalan yang tak terucap.
Bai Zhen tertawa kecil mendengar keluhan sang kakek. Tawanya ringan, namun di baliknya tersembunyi banyak rasa-rasa bersalah, rasa syukur dan tekad kuat yang belum sempat ia ungkapkan dengan kata. Ia sadar, dirinya bukanlah Bai Zhen yang asli. Jiwa pemuda itu telah pergi, meninggalkan tubuh ini untuknya. Namun, justru karena itu, ia merasa memiliki kewajiban untuk menggantikan semua yang telah hilang.
Sebagai bentuk terima kasih atas tubuh dan kesempatan kedua ini, Bai Zhen bersumpah dalam hatinya ia akan menjaga Klan Bai, melindungi mereka dari segala bentuk ancaman, dan memulihkan kehormatan keluarga yang mulai pudar. Ia tidak akan membiarkan siapa pun, terutama Keluarga Han, kembali menyakiti keluarga ini.
Tak lagi sebagai dewa, tapi sebagai manusia… yang tahu bagaimana caranya bertarung demi mereka yang berarti.
“Ah-Zhen, kau masih muda, dan perjalananmu masih sangat panjang,” ucap bibi keduanya, istri dari Bai Yufan, dengan suara yang lembut dan penuh kehangatan. Tatapannya jatuh pada wajah pucat keponakannya, mengandung rasa lega sekaligus kasih sayang yang tulus. Di matanya, Bai Zhen bukan hanya keponakan, tapi juga seperti anak sendiri yang tumbuh di bawah naungan sayapnya. “Di masa depan, kau harus memikirkan Klan Bai juga. Kita semua menyayangimu, dan klan ini membutuhkanmu.”
[Penggunaan panggilan “Ah-Zhen” dari bibinya terdengar alami sebuah sapaan akrab yang mencerminkan keintiman dalam hubungan mereka. Dalam budaya Tiongkok, imbuhan "Ah-" pada awal nama memang digunakan untuk menunjukkan kedekatan dan kasih sayang, layaknya pelukan verbal yang hangat dan familiar.]
“Maafkan aku, Bibi,” jawab Bai Zhen dengan nada yang dalam dan tulus, matanya menatap wajah bibinya penuh penghormatan. Ia menunduk sedikit, lalu melanjutkan, “Kelak, aku pasti akan bertindak lebih baik. Aku sungguh menyesal telah membuat semua orang cemas dan khawatir karena keadaanku. Mulai saat ini, aku sadar bahwa kultivasi adalah hal yang sangat penting. Aku akan berlatih ke Gunung Hongshan untuk meningkatkan kemampuanku.”
Kata-katanya meluncur dengan keteguhan yang mengejutkan. Suaranya jernih, nada bicaranya mantap, dan tiap suku katanya terdengar seolah telah melalui pemikiran mendalam. Bukan sekadar ucapan yang terucap dalam semangat sesaat, tetapi seperti janji yang dipahat dari kehendak baja. Ruangan itu sejenak terdiam, dan semua mata tertuju padanya. Di dalam hati masing-masing, mereka mulai menyadari ada sesuatu yang berbeda dari Bai Zhen yang mereka kenal dulu.
Seseorang yang selama ini dikenal lemah dan mudah dipengaruhi… kini bicara dengan ketenangan yang tak biasa. Dengan keyakinan yang tak lagi bisa dianggap remeh.
“Kenapa tidak berlatih saja di dalam Klan? Bukankah akan jauh lebih aman bagimu?” tanya Bai Yufan, sang paman kedua, yang sejak awal hanya mengamati tanpa banyak bicara. Suaranya tenang namun mengandung kekhawatiran yang tersirat perhatian seorang paman kepada keponakan yang dianggap rapuh dan mudah terluka.
Bai Zhen menoleh ke arahnya dan menjawab tanpa ragu, “Seekor harimau yang terus berada dalam kandangnya tidak akan pernah bisa dibandingkan dengan harimau yang bertarung di alam liar.” Ucapannya tegas namun tidak meledak-ledak seperti aliran sungai yang deras namun tetap tenang.
“Lagipula, Gunung Hongshan relatif aman karena dijaga oleh para murid Klan Bai. Seharusnya tidak akan ada pengacau. Bukankah begitu, Kakek?”
Ia menyelipkan satu kalimat terakhir dengan nada netral, seolah hanya menegaskan kenyataan yang umum diketahui. Tapi sebenarnya, ia tengah memainkan sisa-sisa ingatan yang berhasil ia kumpulkan dari jiwa pemilik tubuh ini—berusaha memastikan ucapannya selaras dengan latar belakang Bai Zhen yang asli.
Bai Tianhe mengangguk perlahan, “Hm, benar…” gumamnya sambil memandang cucunya dalam diam penuh pertimbangan. Wajahnya yang awalnya serius perlahan melunak, digantikan senyum bangga yang hangat. “Baguslah kalau begitu. Pergilah. Dulu ayahmu pun seperti ini saat muda. Berani, keras kepala, dan tidak suka bergantung pada kenyamanan.”
Ia menghela napas panjang, namun nada suaranya kini lebih ringan. Tatapannya melekat pada Bai Zhen dengan ekspresi mendalam seolah dalam wajah cucunya yang telah tumbuh, ia bisa melihat kembali bayang-bayang putranya yang telah tiada. Bayangan seorang pria muda yang dulu juga pergi meninggalkan rumah demi menempa diri dan kembali membawa kejayaan untuk klan.
“Aku sangat senang melihat pencerahanmu, Ah-Zhen.”
"Seperti kata pepatah, selalu ada hikmah di balik sebuah bencana. Jika saat ini kita diuji dengan kemalangan, maka di masa depan, kau pasti akan bersinar terang."
Ucapan itu meluncur pelan dari bibir Bai Tianhe, namun mengandung makna mendalam yang menyentuh hati setiap orang di ruangan itu. Suaranya tidak menggema, tapi membekas seperti air yang menetes ke batu, perlahan tapi tak henti mengukir.
Ia menatap Bai Zhen dengan sorot mata yang teduh namun tegas, lalu berhenti sejenak seolah ingin memberi waktu pada cucunya untuk mencerna setiap kata.
Lalu dengan nada yang lebih serius dan tegas, ia melanjutkan, "Setiap murid Klan Bai yang berlatih di luar akan mendapatkan tiga Ginseng Darah berusia dua puluh tahun, satu Pil Regenerasi Qi setiap bulannya, serta tiga puluh keping koin emas. Tapi dengan itu, kau harus meninggalkan semua kenyamanan dan kemewahanmu, hidup sederhana, berjuang dari dasar. Tidak akan ada pelayan yang mengurusmu, tidak akan ada fasilitas seperti di rumah. Semua akan kau hadapi sendiri, seperti leluhur kita dahulu."
Suasana dalam kamar seketika berubah hening, seolah waktu ikut menahan napas menunggu jawaban Bai Zhen. Sinar matahari yang menembus celah jendela memantul di matanya yang kini tampak jauh lebih tajam dari sebelumnya.
"Aku bersedia," jawab Bai Zhen dengan suara lantang dan mantap, tanpa sedikit pun ragu. Suara itu terdengar seperti pukulan palu ke atas batu dengan kuat, jelas, dan tidak goyah.
Tatapan semua orang seketika tertuju padanya. Wajah Bai Tianhe dipenuhi dengan kebanggaan yang tak terbendung, seolah-olah ia menyaksikan keajaiban yang tak pernah terbayangkan.
"Bagus sekali!" seru pria tua itu, berdiri dengan semangat yang tak biasa untuk usianya. Matanya yang penuh kerutan memancarkan cahaya hidup, seperti bara yang kembali menyala setelah lama padam. "Itulah tekad yang seharusnya dimiliki oleh pria dari Klan Bai!"
Suasana menjadi lebih hidup. Bibi kedua menghela napas lega, Bai Yufan mengangguk dengan senyum samar dan bahkan Bai Ziyan yang biasanya dingin menyipitkan mata seolah mulai menilai ulang sosok Bai Zhen di hadapannya.
Mereka semua bisa merasakan bahwa hari itu, di kamar yang sederhana ini… seorang Bai Zhen yang baru telah lahir.
Bersambung...
Hai, terima kasih sudah membaca sampai sini!
Sampai jumpa di bab selanjutnya~
