Pustaka
Bahasa Indonesia

Kebangkitan Bai Zhen

64.0K · Tamat
Ilyra Valea
40
Bab
682
View
9.0
Rating

Ringkasan

Bai Zhen, seorang ahli pedang yang terkenal dengan kehebatan dan ketangguhannya, dikenal oleh semua orang sebagai sosok yang sangat disegani. Namun, di balik keterampilannya yang luar biasa, terdapat wajah yang terluka parah akibat pedang, yang membuat banyak orang merasa ngeri saat memandangnya. Meskipun penampilannya menakutkan, Bai Zhen tetap mengimpikan cinta sejati. Ia akhirnya menemukan gadis impiannya, Qin Lianyi, yang telah lama ia cintai. Namun, pada malam pernikahannya, dunia yang ia kenal berubah selamanya. Qin Lianyi, yang selama ini ia anggap sebagai cinta sejatinya ternyata mengkhianatinya. Demi mendapatkan kekuatan yang dimiliki Bai Zhen, ia membunuhnya tanpa ragu. Dengan penuh penyesalan, Bai Zhen menghembuskan napas terakhirnya hanya untuk menemukan bahwa takdirnya belum berakhir. Dewa yang penuh belas kasih memberinya kesempatan kedua membiarkannya terlahir kembali dalam tubuh seorang anak muda yang tampak tak berguna dan terbuang. Sekarang dengan kesempatan baru yang diberikan kepadanya, Bai Zhen harus menghadapinya dengan kekuatan yang lebih besar. Dihadapkan pada dunia yang sama sekali berbeda, ia harus belajar menguasai diri dan kekuatan dalam tubuh barunya, sambil berusaha untuk membalaskan dendam pada mereka yang telah mengkhianatinya. Akankah ia mampu menemukan jalan untuk membalaskan kematian yang penuh pengkhianatan atau akankah ia terjebak dalam penyesalannya sendiri?

FantasiactionkultivasiwuxiaPengkhianatanBalas Dendam

Pengkhianatan

Seorang pemuda berdiri gagah di pelataran aula pernikahan yang megah, dikelilingi oleh pilar-pilar tinggi berhiaskan ukiran naga dan burung phoenix yang tampak seolah akan terbang ke langit kapan saja. Langit sore merona merah keemasan, seolah ikut merayakan peristiwa agung yang sedang berlangsung. Wangi dupa menyatu dengan harum bunga-bunga spiritual, menyelimuti udara dalam nuansa sakral dan penuh kebesaran.

Jubah pengantinnya berwarna merah tua, warna yang melambangkan keberuntungan, keberanian, dan kemuliaan. Sulaman benang emas membentuk pola naga melingkar dari bahu hingga ke ujung jubah, menambah kemewahan dan keanggunan penampilannya. Jubah itu membalut tubuhnya dengan sempurna, menyempurnakan sosoknya yang tegap dan penuh wibawa. Ia adalah pusat perhatian. Setiap tamu, tetua klan, bahkan para penguasa dari benua lain tak bisa mengalihkan pandangannya darinya.

Namun satu hal menghalangi mereka untuk benar-benar melihat wajahnya ada sebuah topeng elegan dari logam hitam berkilau, dihiasi motif naga terukir halus, menutupi sebagian besar wajahnya. Mulai dari dahi hingga batang hidung, topeng itu menyembunyikan identitasnya, menyisakan hanya bibirnya yang melengkung membentuk senyum tenang, dan sepasang mata tajam nan bersinar yang menatap lurus ke depan. Mata itu… seperti bintang jatuh yang menyimpan bara dalam diam.

Dia adalah Bai Zhen.

Nama yang tak asing di telinga setiap makhluk di Sembilan Benua. Kultivator paling cemerlang yang pernah ada, sosok yang dalam satu dekade terakhir telah mengguncang dunia dengan langkahnya, membuat namanya dikenal luas dan disegani. Dengan satu pedang di tangan, ia telah menaklukkan lembah-lembah iblis, memporak-porandakan faksi-faksi sesat, dan menghancurkan raja-raja tirani dari puncak langit. Ia tidak hanya memperkuat nama Klan Bai, tapi juga mengangkat Benua Astralis ke puncak kejayaan sebagai pusat kekuatan spiritual terbesar. Bahkan di antara para naga suci dan jenderal dewa, Bai Zhen dijuluki sebagai “Naga di Antara Naga”

Dan hari ini… adalah hari paling gemilang dalam hidupnya.

Hari pernikahannya.

Ia akan menikahi wanita yang dicintainya sepenuh hati, Qin Lianyi, putri mahkota Klan Qin, dan gadis tercantik yang pernah dilahirkan Benua Astralis. Keanggunan dan kecantikan Qin Lianyi telah menjadi legenda yang diceritakan dari lembah ke lembah, dari gunung ke gunung. Parasnya dianggap setara dengan Dewi Musim Semi, dan hatinya lebih hangat dari matahari pagi. Banyak pria dari klan-klan besar, bahkan dari dunia roh dan langit, yang memohon untuk meminangnya, namun hatinya hanya tertambat pada satu nama, Bai Zhen.

Semua orang menyebut Bai Zhen sebagai pria paling beruntung di dunia. Di mata mereka, ia memiliki segalanya mulai dari kekuatan, kejayaan, dan kini, cinta dari wanita yang sempurna. Tapi di balik topeng yang ia kenakan, di balik tatapan tajam yang tampak tak tergoyahkan, tersembunyi kegelisahan yang tak pernah benar-benar padam.

Jauh di dalam hatinya, Bai Zhen masih belum sepenuhnya percaya bahwa hari ini benar-benar terjadi. Bahwa ia yang pernah terpuruk dan diremehkan, kini berdiri di puncak dunia.

Topeng yang ia kenakan bukan sekadar hiasan upacara. Ia memakainya bukan untuk menyembunyikan wajah dari dunia, melainkan untuk menyembunyikan luka lama bekas dari pertarungan berdarah di masa lalu, luka yang nyaris merenggut nyawanya di usia 14 tahun. Luka itu tak pernah benar-benar sembuh. Kulit dan daging memang telah tertutup, namun bekasnya tetap ada… dalam bentuk rasa sakit, dalam mimpi buruk yang membayangi tidur, dalam bisikan masa lalu yang selalu datang ketika malam tiba.

***

Kini semua mata tertuju padanya penuh kekaguman, decak iri dan rasa hormat yang nyaris berubah menjadi pemujaan. Bai Zhen bukan hanya pengantin dalam sebuah pernikahan mewah. Hari ini ia adalah lambang dari kejayaan, simbol hidup dari seseorang yang mampu menaklukkan dunia dan berdiri di puncak takdir. Di balik setiap tatapan itu, ada bisikan tak terucap: Inilah tokoh utama dari zaman keemasan kita.

Aroma dupa langka memenuhi udara, wangi rempah spiritual yang hanya digunakan dalam upacara tertinggi. Musik meriah mengalun dari alat-alat musik langit yang dimainkan oleh para musisi kultivator. Nada-nadanya memikat jiwa, menggetarkan hati siapa pun yang mendengarnya, seperti menandai hadirnya sebuah legenda baru dalam sejarah Sembilan Benua.

Di tengah segalanya, Bai Zhen melangkah dengan mantap menuju pelaminan. Di sampingnya, seorang wanita berjalan anggun. Gaun merah berhiaskan benang perak membalut tubuhnya, dan kerudung merah tipis menutupi wajahnya namun tak mampu menyembunyikan aura anggun dan tenang yang terpancar dari dirinya. Dia adalah Qin Lianyi, bunga Benua Astralis, gadis yang tak hanya cantik, tapi juga cerdas, berani dan memesona.

Prosesi pernikahan berjalan dengan khidmat dan penuh kemegahan. Sumpah diucapkan, cawan arak dinikmati bersama, dan suara tepuk tangan menggelegar saat keduanya bersujud di hadapan langit, leluhur, dan satu sama lain. Momen itu seolah ditulis ulang langsung oleh dewa-dewa.

Setelah upacara berakhir, Qin Lianyi dibawa ke kamar pengantin untuk menunggu malam pertamanya. Bai Zhen, sebagai tuan rumah sekaligus tokoh utama dalam pesta ini, tetap tinggal di aula besar untuk menyambut tamu-tamu penting dari berbagai penjuru Sembilan Benua—tetua sekte, jenderal kerajaan, hingga pemimpin faksi spiritual.

“Selamat atas pernikahanmu, Bai Zhen. Aku pasti akan menyusul jejakmu,” suara tegas namun bersahabat terdengar dari sisi kirinya.

Bai Zhen menoleh dan tersenyum. Sosok yang mendekat adalah Han Shiyu, sahabat sekaligus saudara seperjuangannya. Mereka telah bertarung bersama dalam perang berdarah di wilayah utara, membela perbatasan dunia manusia dari serangan binatang buas spiritual dan kekuatan gelap. Persaudaraan mereka bukan sekadar ucapan, tapi lahir dari tumpah darah dan nyawa yang saling dititipkan di medan perang.

“Ayo bersulang,” ucap Han Shiyu sambil mengangkat botol arak tua dan menuangkan cairan merah pekat ke dalam cawan giok berukir naga. Gerakannya tenang, tapi sarat makna.

Tanpa ragu, Bai Zhen menerima cawan itu. Tatapannya penuh percaya. Mereka bersulang dan dalam satu tegukan, Bai Zhen meneguk habis isinya.

Pesta berlanjut hingga malam menggantung tinggi di langit. Bintang-bintang terlihat lebih terang, seolah ikut menjadi saksi atas penyatuan dua tokoh hebat. Bai Zhen terus menyambut para tamu hingga satu per satu mulai pamit. Kepalanya mulai terasa berat, pikirannya mengambang perlahan. Ia menyadari bahwa ia telah meminum terlalu banyak arak malam ini. Tapi suasana bahagia membungkusnya dengan kehangatan yang memabukkan, menutupi rasa tak nyaman yang mulai merayap dari dalam tubuhnya.

Dengan langkah yang sedikit goyah namun tetap menjunjung martabatnya sebagai tuan rumah, Bai Zhen berjalan menuju kamar pengantin. Setiap langkahnya membuat detak jantungnya kian cepat bukan karena rasa gugup seperti pria biasa di malam pertamanya, tapi karena perasaan hangat yang sulit dijelaskan… rasa bahwa akhirnya, segalanya telah sampai pada tempatnya.

Di balik pintu kayu berukir naga dan phoenix itu, cinta sejatinya menunggu masa depan yang telah ia perjuangkan mati-matian.

Dengan hati-hati, ia membuka pintu. Aroma dupa lembut menyeruak, cahaya lentera tembaga menyinari ruangan dengan cahaya keemasan yang lembut. Di dalam ruangan, ia melihat siluet seorang wanita yang duduk anggun di tepi ranjang. Gaun merahnya menjuntai dan kerudung masih menutupi wajahnya. Ia tampak tenang, nyaris tak bergerak, seperti lukisan hidup dari seorang pengantin suci.

Bai Zhen melangkah pelan, nyaris tak bersuara. Meski kepalanya terasa berat, senyuman tetap menggantung di bibirnya. Ia berhenti di hadapan wanita itu, lalu mengangkat tangannya dengan perlahan dan penuh hormat.

Dengan jemari yang berhati-hati, ia mengangkat kerudung itu…

Dua mata indah itu menatapnya, namun tidak mencerminkan cinta atau haru. Tidak ada kebahagiaan, tidak ada rasa syukur akan pernikahan yang baru saja berlangsung. Tatapan itu dingin, datar, seolah-olah semua yang baru saja mereka lalui, sumpah setia, prosesi sakral, arak pengantin, tawa para tamu, hanya sebuah mimpi yang tak bermakna.

Bai Zhen terdiam. Dadanya yang semula hangat oleh kebahagiaan perlahan terasa hampa, seperti ruang kosong yang ditinggalkan cahaya. Ada sesuatu yang tak bisa ia pahami, namun jelas ada yang salah. Sangat salah.

"...Apakah ada yang salah, istriku?" tanyanya akhirnya, dengan suara pelan. Nada suaranya tetap hangat, penuh perhatian dan tulus. Tapi tak ada jawaban. Qin Lianyi tetap diam, matanya tak berkedip, seolah memandang orang asing yang tak diinginkan.

Senyum tipis masih bertahan di wajah Bai Zhen, namun ketegangan mulai merayap dari ujung jari hingga tengkuknya. Ia menanti jawaban, bahkan sekadar gerakan kecil, namun yang datang justru sesuatu yang tak terbayangkan.

Tanpa satu kata pun, Qin Lianyi berdiri dari tepi ranjang. Gaun merahnya berdesir, menciptakan bayangan samar di bawah cahaya lentera. Dan kemudian, cahaya dingin berkelebat. Bai Zhen hanya sempat melihat kilatan perak, sebilah pedang panjang, entah dari mana munculnya, kini telah berada di tangan wanita yang baru saja ia nikahi.

Sebelum ia bisa bereaksi, pedang itu menembus jantungnya. Craaak! Suara tajam logam menghantam daging dan tulang. Dunia seakan berhenti.

Bai Zhen terdiam. Tubuhnya membeku, mata membelalak. Rasa sakit tak langsung datang. Yang datang pertama adalah keterkejutan, disusul oleh kehampaan, lalu perlahan… rasa panas di dadanya.

“Q-Qin… Lianyi…?” bisiknya, nyaris tak terdengar. Darah mengalir dari sudut bibirnya, menodai jubah merah pengantin. Ia menunduk, dan apa yang dilihatnya membuat napasnya tercekat: mata pedang itu benar-benar menancap di tengah dadanya, menembus jubah yang kini robek dan basah oleh darah segar. Rasa sakit menusuk, menghancurkan setiap harapan yang pernah ia miliki.

Ia menatap wajah wanita di hadapannya, mencari penjelasan. Tapi yang ia temukan hanyalah tatapan kosong… bukan kosong karena duka, melainkan karena kebencian. Tatapan yang tak menyisakan secuil pun kasih sayang. Tatapan jijik.

Tangannya yang berusaha menjangkau gagang pedang gemetar. Tapi bahkan usaha itu pun dihentikan.

Satu tebasan cepat, tajam, dan presisi, memisahkan lengannya dari tubuh. Darah menyembur keluar, menodai lantai seperti cat merah yang mengerikan. Lengan itu tergeletak di lantai, seolah-olah hanya sebuah mainan yang rusak.

“Ah—!” Suara tertahan lolos dari tenggorokannya, dan tubuh Bai Zhen akhirnya roboh. Ia jatuh menghantam lantai batu dengan dentuman berat, darah menyembur liar dari dadanya. Dunia di sekelilingnya mulai berputar.

"Kenapa... kau... melakukan ini...?" tanyanya dengan napas terputus-putus. Suaranya hanya bisikan, tapi di dalamnya tersimpan ribuan luka dari pengkhianatan, dari cinta yang berubah menjadi racun, dari mimpi yang dihancurkan dalam sekejap.

Qin Lianyi masih berdiri di sana, pedangnya kini berlumuran darah. Dan sebelum ia sempat membuka mulut, suara lain terdengar dari balik pintu kamar yang setengah terbuka. Langkah ringan masuk, disertai suara penuh ejekan.

“Akhirnya, drama ini selesai juga,” ujar seseorang dengan nada santai namun menusuk. “Jujur saja, Saudara Bai, aku mulai bosan berpura-pura terlalu lama.”

Bayangan tinggi masuk ke dalam cahaya lentera dan sosok itu membuat mata Bai Zhen melebar untuk kedua kalinya malam ini.

Bai Zhen mengenali suara itu seketika. Napasnya tercekat, matanya membelalak lebar seolah enggan mempercayai pendengarannya. “...Han Shiyu...?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar di antara detak jantung yang semakin melemah.

Langkah kaki mendekat dengan tenang. Dari balik pintu yang masih terbuka, muncullah Han Shiyu sahabat yang selama ini ia percayai sepenuh hati, seseorang yang dianggapnya sebagai saudara. Wajah pria itu dihiasi senyum tipis yang tampak terlalu biasa… terlalu santai untuk situasi seperti ini. Sorot matanya tak menyiratkan penyesalan atau rasa bersalah sedikit pun. Sebaliknya, yang terlihat adalah keangkuhan… dan kebosanan.

“Kenapa... kau... juga...?” Bai Zhen berusaha mengangkat kepala, meski pandangannya mulai kabur. Suaranya terdengar pecah, dipenuhi luka yang jauh lebih dalam dari luka fisik mana pun. “Aku... percaya padamu... seperti saudara sendiri...”

Han Shiyu tersenyum miring, lalu menunduk sedikit, suaranya terdengar pelan tapi tajam, seperti belati yang menembus langsung ke jantung. “Dan itulah masalahnya, Bai Zhen. Kau terlalu mudah percaya. Dan sekarang... kau membayar harga yang paling mahal untuk itu.”

Pandangan Bai Zhen semakin buram. Dunia di sekelilingnya bergoyang, cahaya lentera berpendar seperti kabut yang menari. Tapi rasa nyeri di dadanya yang ditimbulkan oleh pedang Qin Lianyi masih terasa begitu nyata. Namun, lebih menyakitkan dari luka itu adalah kenyataan bahwa dua orang terdekatnya telah mengkhianatinya tanpa ampun.

“Kau kuat, Bai Zhen...” ucap Han Shiyu dengan nada lirih, tapi sarat dengan ejekan. “Tapi kau terlalu polos. Terlalu... naif.”

Tubuh Bai Zhen tergeletak di lantai, berlumuran darah. Ia menggertakkan giginya, mencoba menahan erangan. Salah satu lengannya telah terputus, dan seluruh tubuhnya gemetar hebat. Meski begitu, ia memaksakan diri untuk tetap membuka mata, menatap sosok yang kini berjalan perlahan ke arahnya dengan langkah santai dan penuh kemenangan.

“Kau selalu mengandalkan kekuatan,” lanjut Han Shiyu, suaranya semakin tajam. “Tapi dunia ini bukan milik mereka yang hanya tahu menggunakan otot. Tanpa akal, kekuatanmu tak lebih dari pedang tumpul.”

Batuk keras mengguncang tubuh Bai Zhen. Darah segar mengalir dari sudut bibirnya, menodai lantai kayu di bawahnya. Ia berusaha mengangkat tubuhnya dengan satu tangan yang tersisa, namun usahanya sia-sia. Tubuhnya tak lagi mampu menuruti kehendaknya.

“Jadi… kau yang... meracuni araknya…” gumamnya dengan napas terputus-putus. Tatapannya menusuk Han Shiyu dengan penuh kebencian tatapan yang sarat dengan luka, kekecewaan, dan rasa dikhianati yang begitu dalam.

Han Shiyu hanya tertawa ringan, suaranya bergema sinis dalam keheningan kamar pengantin yang kini berlumuran darah. Tanpa rasa bersalah sedikit pun, ia melingkarkan tangannya ke pinggang Qin Lianyi, lalu dengan santai mengecup dahi wanita itu. Gerakan mesra itu dilakukan begitu alami, seolah apa yang terjadi sebelumnya hanyalah permainan kecil yang tak berarti.

Bai Zhen menatap keduanya dengan pandangan kosong. Hatinya serasa dicabik tanpa ampun. Luka di tubuhnya memang dalam dan mematikan, tapi luka di jiwanya yang diukir oleh pengkhianatan dan cinta palsu jauh lebih menyakitkan. Ia bisa merasakan darahnya mendidih, bukan hanya karena racun yang mengalir di nadinya, tapi karena amarah dan pengkhianatan yang membuatnya hampir gila.

Dengan sisa tenaganya, ia menggertakkan gigi, berusaha berdiri meski tubuhnya bergetar hebat. Tapi racun itu bekerja terlalu cepat. Sekujur tubuhnya melemas, tulangnya seolah meleleh. Tiba-tiba ia tersedak keras, darah segar kembali menyembur dari mulutnya dan mengotori lantai di bawahnya.

“Hahaha! Lihat dirimu sekarang,” Han Shiyu mendengus puas, seolah menyaksikan pertunjukan yang sangat menghibur. “Itu racun Penusuk Jiwa. Setelah masuk ke dalam tubuh, racun itu akan membakar organ dari dalam secara perlahan. Dalam delapan jam, kau akan mati… perlahan dan menyakitkan. Rasanya seperti neraka, bukan?”

Ia berjongkok di depan Bai Zhen, lalu dengan santai mengangkat dagu pria itu menggunakan dua jarinya, seakan mempermainkan seekor binatang yang sedang sekarat. Tatapan mereka bertemu. Bai Zhen hanya bisa menatap balik dengan napas yang tersengal dan tubuh yang bergetar hebat. Ia merasakan seluruh tubuhnya seolah terbakar dari dalam daging, otot, bahkan tulangnya terasa meleleh oleh panas yang tak kasatmata. Namun lebih dari itu, yang paling menyakitkan adalah nyala luka di hatinya, api yang dipicu oleh kepercayaan yang dikhianati.

“Aku tahu kau mencintai Qin Lianyi,” ujar Han Shiyu, suaranya tenang, hampir terdengar simpatik namun justru itulah yang membuatnya terasa semakin menyakitkan. “Tapi dia adalah milikku. Kekasihku. Sayangnya, ayahnya lebih terkesan padamu. Dia ingin menjadikanmu menantunya.”

Han Shiyu menghela napas pura-pura kecewa, lalu menggeleng pelan. “Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Jadi aku dan Lianyi menyusun rencana ini sejak lama. Kami menjebakmu. Dan kini kami membunuhmu… tepat di hari pernikahanmu.”

Tawa rendah kembali terdengar dari bibirnya. Kali ini ia mengeluarkan sebuah benda kecil dari balik jubahnya sebuah labu berwarna hitam keunguan dengan simbol kuno yang berdenyut lembut. Bai Zhen mengenali benda itu seketika.

Labu Sembilan Kehidupan.

“Setelah kau mati,” kata Han Shiyu dengan penuh kemenangan sambil mengangkat labu itu tinggi-tinggi, “aku akan menyerap seluruh Qi-mu dan menggunakannya untuk memperkuat kultivasiku. Qi legendarismu… Pedang Zhenhun milikmu… semuanya akan menjadi milikku. Dan saat itu tiba, tak ada satu pun yang bisa menghentikanku untuk menguasai seluruh Alam Jiuyang.”

Tatapan Bai Zhen berubah. Rasa sakit, kecewa, dan keterkejutan telah berganti menjadi sesuatu yang lebih kelam. Amarah. Bukan amarah biasa, melainkan kemarahan yang dipicu oleh penghinaan terhadap kepercayaan, cinta dan harga dirinya. Ia ingin balas. Ia ingin mengangkat pedangnya dan menebas kedua pengkhianat itu di tempat. Ia ingin meneriakkan sumpah dendamnya kepada langit.

Namun, tubuhnya tak merespons. Ia hanya bisa terbaring di sana terikat oleh racun, luka, dan pengkhianatan yang membunuhnya perlahan.

Qin Lianyi yang sejak tadi hanya diam membisu akhirnya membuka suara. Nadanya dingin, tajam seperti bilah es yang menembus tulang. “Aku sudah lama muak melihat wajahmu,” ucapnya, bibirnya melengkung dalam senyum tipis yang penuh jijik. “Kau jelek, penuh luka, dan menyedihkan. Andai saja kau tidak melamarku… semua ini tak perlu terjadi.”

Perkataan itu menghantam Bai Zhen lebih keras daripada pedang mana pun. Ia menatap wajah wanita yang dicintainya, mencoba mencari sisa-sisa kasih sayang yang pernah ia percayai ada. Tapi yang ia lihat hanyalah tatapan datar, kosong, seolah dirinya tak lebih dari sampah yang mengotori pandangannya.

“Jadi… semua ini… hanya karena aku mencintaimu…?” bisik Bai Zhen lirih, nyaris tak terdengar.

Qin Lianyi tidak menjawab. Ia hanya menatapnya tanpa ekspresi, seakan pertanyaannya tak pantas dijawab.

Bai Zhen terdiam. Bukan karena ia tak ingin membalas, tapi karena ia sudah tak sanggup lagi. Racun Penusuk Jiwa telah menjalar begitu dalam ke seluruh tubuhnya. Setiap helaan napas terasa seperti menelan bara. Setiap detak jantung seperti dipukul palu. Organ dalamnya terbakar seolah-olah ada nyala api yang menyiksa dari dalam, tapi menyiksa hingga ke tulang.

Di hadapannya, Han Shiyu berdiri tenang, seolah menikmati penderitaan yang ia ciptakan. Tatapan puas terpahat di wajahnya saat ia meraih tangan Qin Lianyi dengan santai. Tanpa rasa bersalah sedikit pun, ia menggenggamnya, lalu mengecup dahi wanita itu dengan lembut.

“Ini masih malam pernikahan,” ujar Han Shiyu tanpa malu, nada suaranya ringan namun sarat penghinaan. “Hanya saja… bukan untukmu dan dia. Tapi untukku dan Lianyi.”

Dengan tawa rendah yang menghina, Han Shiyu menuntun Qin Lianyi ke ranjang pengantin, ranjang yang seharusnya menjadi tempat suci Bai Zhen dan wanita yang ia impikan sepanjang hidupnya. Tapi kini, ranjang itu berubah menjadi panggung pengkhianatan paling keji yang pernah ia saksikan.

Bai Zhen hanya bisa menatap. Tubuhnya sudah tak mampu bergerak. Satu lengannya hilang, tubuhnya lemas, jubahnya basah oleh darah, dan racun menjalar begitu cepat. Namun di dalam dirinya di dasar jiwa yang paling dalam amarah membara. Bukan sekadar sakit fisik, tapi luka batin yang menganga, dikhianati oleh sahabat dan wanita yang paling ia percayai.

Tangannya yang tersisa mengepal. Giginya terkatup rapat. Napasnya tersengal, namun tatapannya tak lagi kosong. Ia menutup matanya sejenak, menarik napas dalam meski perihnya membuat tubuhnya bergetar.

Dan dalam keheningan yang mencekam, kekuatan spiritual dalam dirinya tiba-tiba bergolak. Dengan paksa, ia mengarahkan sisa Qi-nya untuk menekan racun itu, memusatkan segalanya ke satu titik di inti jiwanya. Tubuhnya bergetar hebat… dan kemudian—BOOM!

Ledakan Qi merah menyala meletus dari tubuhnya, menggetarkan udara dan mengguncang ruangan. Aura panas dan tajam menyapu setiap sudut, membuat Qin Lianyi dan Han Shiyu spontan menghentikan gerakan mereka. Mata mereka membelalak, tubuh mereka tertahan oleh tekanan energi yang mendadak muncul.

Dari udara yang bergetar, cahaya merah pekat menyala dan berkumpul di satu titik. Seberkas cahaya membentuk sosok sebuah pedang. Gagangnya merah dengan garis-garis hitam, memancarkan aura kematian yang dingin namun agung. Pedang itu melayang perlahan dari udara, turun bagaikan simbol murka dari langit.

Itulah Zhenhun—Pedang Peneguh Jiwa. Pedang legendaris milik Bai Zhen, yang hanya muncul saat tuannya berada di ambang hidup dan mati.

Wajah Han Shiyu seketika berubah pucat. “Itu... tidak mungkin! Bagaimana kau bisa...?!”

Bai Zhen mengangkat kepalanya perlahan. Meski tubuhnya penuh luka dan darah, matanya masih menyala dipenuhi amarah dan dendam yang tak padam.

“Tak ada yang bisa menyentuh Zhenhun...” desisnya parau. “Bahkan kau pun tidak.”

Tatapannya menusuk tajam ke arah Han Shiyu. “Kau ingin mengambil kekuatanku? Teruslah bermimpi. Karena kau... tak pantas.”

Aura Bai Zhen meledak. Zhenhun bergetar di udara, lalu bersinar terang, menyatu dengan tuannya. Dalam sekejap, tubuh dan jiwanya mulai memudar, berubah menjadi cahaya.

Ia tak lagi menjadi bagian dari dunia ini. Tidak akan reinkarnasi. Tidak akan dilahirkan kembali seperti biasa.

Namun di detik terakhir, sebelum semuanya menghilang, satu sumpah tertinggal.

"Jika aku diberi kehidupan kedua... aku akan membalas semuanya."

Dan entah bagaimana, semesta mendengarnya.

Bersambung...