Hewan Spiritual
Bai Zhen mulai mengarahkan seluruh aliran Qi yang telah ia kumpulkan menuju satu titik di tubuhnya. Titik itu terletak sekitar tiga jari di bawah pusarnya, tempat yang kelak akan menjadi pusat kekuatan spiritualnya, tempat dantian terbentuk.
Begitu Qi mulai menumpuk di sana, rasa sakit luar biasa langsung menghantam. Tubuhnya seperti direnggut dari dalam, seolah ada sesuatu yang berusaha mengoyak bagian terdalam dirinya. Namun Bai Zhen tak bergeming. Ia menggigit bibirnya dalam-dalam, menahan jeritan yang hampir keluar, menolak untuk terlihat lemah bahkan di hadapan alam.
"Aku tidak percaya... kalau aku bahkan tidak sanggup membentuk dantian," bisiknya penuh tekad.
Tak lama aura kuat menyembur dari tubuhnya. Getarannya memukul daun-daun kering di sekelilingnya hingga beterbangan, membentuk pusaran kecil di tanah. Nafas Bai Zhen terengah, tubuhnya jatuh bersandar ke batang pohon di belakangnya. Ia mencoba mengatur pernafasannya, menahan nyeri yang masih membakar dari dalam.
Memang agak ironis. Dulu ia adalah seorang kultivator yang berdiri di puncak dunia, namun kini, hanya untuk membentuk dantian saja, ia harus berjuang setengah mati.
Tapi ada satu hal yang membuatnya terdiam. Tubuh ini... tidak seperti tubuh manusia biasa. Rasanya begitu sulit membentuk dantian, seolah memang tubuh ini tidak diciptakan untuk berjalan di jalan kultivasi.
Bai Zhen memejamkan matanya perlahan, mencoba menyelami bagian terdalam dari tubuh barunya. Nafasnya tertahan saat pandangannya menembus ruang spiritual itu. Tepat di sana, bersemayam dantian yang baru saja terbentuk dan pemandangan yang ia lihat membuat tubuhnya membeku.
"Apa yang sebenarnya terjadi... Dantian seperti ini... Anak ini... bukan manusia biasa," gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan yang tidak ditujukan untuk siapa-siapa.
Biasanya dantian hanya memiliki dua elemen. Itu adalah hal yang sangat umum di kalangan para kultivator. Dantian dua elemen berarti ruang spiritual kecil, namun efisien, dan bisa menghasilkan pertumbuhan awal yang cepat. Namun semakin tinggi tingkatan kultivasi yang ditempuh, perkembangan akan melambat secara signifikan.
Sementara dantian tiga elemen sudah sedikit lebih langka, tapi tidak cukup luar biasa untuk disebut anugerah langit. Dantian empat elemen baru bisa dianggap sebagai tanda dari seorang jenius sejati, seseorang yang akan menjadi bintang di zamannya.
Dan jika seseorang terlahir dengan lima elemen dalam dantiannya... maka dia berada di ranah legenda. Orang seperti itu hanya muncul satu dalam beberapa generasi. Sosok yang membawa perubahan pada dunia.
Itulah jenis dantian yang pernah dimilikinya di kehidupan sebelumnya. Itulah alasan mengapa ia mampu mencapai tingkat yang hanya bisa diimpikan oleh sebagian besar kultivator. Dan kini, saat ia menatap dantian dalam tubuh barunya, ada sesuatu yang tak bisa ia pahami sepenuhnya. Dantian ini bahkan terasa lebih... aneh. Lebih kuat. Lebih misterius.
Sejenak Bai Zhen terdiam. Tatapan matanya tak berkedip, terjebak dalam ruang spiritual miliknya yang kini menyimpan sebuah keajaiban yang belum ia mengerti sepenuhnya.
Siapa yang bisa membayangkan, di kehidupan barunya ini, Bai Zhen justru berhasil membentuk tubuh dengan dantian Tujuh Elemen.
Tujuh Elemen? Kata-kata itu terus berputar dalam benaknya, seperti gema yang tak kunjung reda. Kepalanya sedikit pening, sulit mempercayai apa yang baru saja ia lihat. Bahkan dirinya sendiri merasa bahwa ini adalah awal dari kejutan besar yang suatu hari akan mengguncang dunia.
Tujuh elemen ini bukan elemen sembarangan. Mereka adalah seluruh elemen primer yang dikenal di dunia—api, es, air, tanah, angin, cahaya, dan kegelapan. Dan yang lebih mengejutkan lagi dua di antaranya, tanah dan angin adalah elemen yang bahkan tidak ia miliki di kehidupan sebelumnya.
Jika dulu dirinya sudah dianggap sebagai monster kultivasi dengan lima elemen, maka sekarang... apa sebutan yang pantas untuk seseorang dengan tujuh elemen?
Namun, meski menyadari betapa besarnya potensi yang ia miliki, Bai Zhen tahu bahwa jalan di depannya tidak akan mudah. Dantian hebat bukan berarti kekuatan akan datang begitu saja. Semua harus ia capai dengan kerja keras dari titik terendah, dan sekarang dia hanyalah seorang kultivator di Tahap Kondensasi Qi tingkat pertama.
Tubuhnya terasa lelah dan perutnya keroncongan. Ia mengambil sepotong roti kering dari bungkusan sederhana miliknya, lalu menggigitnya perlahan. Teksturnya keras, seperti menggigit batu, tapi ia tidak mengeluh sedikit pun. Inilah kehidupan di alam bebas, dan ia sudah siap menghadapinya.
Setelah beristirahat sejenak, Bai Zhen berdiri dan mengepak kembali barang-barangnya. Matanya menatap ke arah atas, ke puncak gunung yang masih jauh di depan. Dengan langkah yang tenang dan tekad yang semakin kuat, ia melanjutkan perjalanan. Jalan panjangnya baru saja dimulai.
***
Setelah berhasil membuka jalannya sebagai seorang kultivator, kekuatan fisik Bai Zhen pun meningkat dengan pesat. Ia bisa merasakan perubahan itu di setiap helaan napas dan langkah kakinya. Untuk memperkuat tubuh barunya, ia memutuskan untuk melatih diri dengan berlari mengelilingi kaki gunung, membiarkan tubuhnya terbiasa dengan tekanan dan beban baru.
Langit mulai memerah ketika akhirnya ia mencapai puncak gunung. Matahari hampir tenggelam sepenuhnya di balik pegunungan. Dalam cahaya senja yang redup, ia melihat sebuah gua kecil tersembunyi di balik semak belukar. Tak butuh waktu lama baginya untuk memutuskan tinggal sementara di sana. Setidaknya tempat itu bisa melindunginya dari angin malam yang dingin.
Ia menurunkan barang bawaannya, meletakkannya di sudut gua yang kering, lalu keluar untuk mencari kayu bakar. Dengan pedang perak di tangan, ia menebang beberapa cabang kering dari pohon di sekitar. Suara dentingan logam dan patahan kayu memecah keheningan hutan yang mulai diselimuti kabut malam.
Udara kian menggigit. Ia kembali ke dalam gua, memisahkan kayu yang ia bawa menjadi beberapa tumpukan. Ia mengadu dua batu dengan sabar, percikan kecil muncul hingga akhirnya api mulai menjilat kayu, perlahan namun pasti. Sinar oranye itu menari di dinding gua, dan rasa hangat pun menjalar ke seluruh tubuhnya.
Kepalanya bersandar ke dinding gua, napasnya melambat, dan tanpa disadari, ia terlelap dalam keheningan malam. Tidurnya nyenyak, tenang, seolah untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa sedikit damai.
***
Fajar belum menyingsing ketika matanya terbuka. Langit di luar masih gelap, hanya sedikit semburat cahaya samar di ujung cakrawala. Tapi Bai Zhen tidak menunggu matahari untuk memulai harinya. Bagi dirinya yang baru, waktu adalah senjata dan ia tidak berniat menyia-nyiakannya.
"Darimana sebaiknya aku memulai? Seni bela diri atau kekuatan fisik?" gumam Bai Zhen sambil memandangi kedua tangannya.
Setelah berpikir sejenak, ia mengangguk kecil dan menjawab untuk dirinya sendiri. "Kekuatan fisik lebih dulu."
Ia telah menyusun gambaran kasar mengenai medan Gunung Hongshan. Dengan pengetahuan itu, ia mulai merancang latihan fisiknya. Ia memilih dua batu besar, masing-masing seukuran dua kepalan tangan orang dewasa. Batu-batu itu ia genggam erat, satu di tiap tangan, dan ia mulai menuruni gunung dengan langkah yang mantap. Di pundaknya, tergantung sebuah botol kulit yang biasa digunakan untuk membawa air.
Di kaki gunung, tersembunyi sebuah mata air jernih. Tempat itu menjadi sumber kehidupan di tengah hutan yang liar. Bai Zhen mengincarnya, bukan hanya sebagai tempat untuk mengisi persediaan air, tetapi juga sebagai titik perhentian dalam latihannya.
Angin pagi menerpa wajahnya saat ia berlari turun. Nafasnya mulai memburu, tapi ia tetap menjaga irama langkahnya agar tetap stabil. Peluh menetes di pelipisnya, tapi tubuhnya terus melaju.
Begitu sampai di mata air, ia berhenti sejenak. Ia menunduk, mengambil air dengan telapak tangannya dan meminumnya perlahan. Setelah itu, ia mengisi penuh botol kulit yang ia bawa. Sambil berdiri di tepi aliran jernih itu, ia menatap bayangannya sendiri yang bergoyang di permukaan air, lalu menarik napas dalam-dalam.
Latihan ini baru permulaan, pikirnya dalam hati. Tapi ia tahu, jika ia ingin mengejar masa lalunya yang telah hilang, maka setiap tetes keringat harus menjadi pijakan untuk melangkah lebih tinggi.
Bai Zhen mulai merasakan beban yang semakin berat pada tubuhnya. Langkah-langkahnya semakin berat saat ia berlari naik kembali ke atas gunung. Keringat menetes deras, napasnya tersengal, dan lututnya terasa gemetar. Berkali-kali ia terjatuh, tapi setiap kali tubuhnya menyentuh tanah, ia selalu bangkit kembali tanpa keluhan.
Tiga kali ia berlari turun dan naik gunung. Setelah menyelesaikan putaran ketiganya, ia memutuskan untuk menghentikan latihannya hari itu. Dahi dan pelipisnya basah oleh keringat yang mengalir deras, bahkan lebih besar dari biji jagung, menandakan betapa keras usahanya.
Ia melangkah pelan ke luar hutan dan melihat seekor ayam hutan tengah berjalan lengah di kejauhan. Dengan gerakan cepat, ia mencabut pedang peraknya dan melemparkannya ke arah mangsa. Lemparannya tepat mengenai sasaran, dan ayam hutan itu jatuh tanpa sempat menghindar.
“Lumayan,” gumam Bai Zhen sambil memungut pedangnya dan mengangkat ayam buruannya. Matanya menyiratkan kepuasan kecil atas perkembangan kekuatannya.
Hari-hari yang dilaluinya di gunung penuh dengan kesulitan dan kerja keras. Ia terus mendorong batas tubuhnya, mengangkat beban yang semakin berat dari hari ke hari. Awalnya hanya batu seukuran dua kepalan tangan. Lalu ia mulai menggunakan batu sebesar kepala anak-anak, hingga akhirnya mampu membawa batu sebesar kepala orang dewasa, bahkan lebih.
Waktu berjalan tanpa terasa. Ketika hari ketujuh datang, Bai Zhen berdiri di tepi gua sambil menatap langit pagi yang masih berwarna keemasan. Ini adalah hari terakhirnya berfokus pada pelatihan fisik sebelum beralih ke tahap berikutnya.
Tubuhnya telah berubah. Tidak hanya lebih kuat, tapi juga tampak lebih tinggi. Ia merasa tubuh ini telah tumbuh hampir sepuluh sentimeter dalam waktu singkat. Rupanya, selama ini tubuh anak ini tidak mendapatkan cukup udara segar dan sinar matahari. Sekarang, setelah menjalani kehidupan di alam terbuka, tubuhnya mulai berkembang dengan cepat, seperti tanaman yang kembali hidup setelah musim kering berlalu.
Setelah tujuh hari penuh pelatihan fisik yang intens, Bai Zhen merasa tubuhnya telah cukup kuat. Kini saatnya beralih ke tahap berikutnya—latihan kultivasi dan seni bela diri. Kekuatan fisik bukan lagi menjadi kendala baginya. Ia bahkan mampu berlari naik turun Gunung Hongshan sebanyak sepuluh kali sambil membawa batu besar di punggungnya tanpa merasa kelelahan yang membuatnya nyaris pingsan seperti sebelumnya.
***
Pagi itu, ia menyiapkan batu-batu untuk pelatihan terakhir sebelum benar-benar fokus pada kultivasi. Empat batu besar ia susun dan ikat menjadi satu. Salah satunya bahkan memiliki berat lebih dari tiga puluh kilogram. Dengan tenang, ia mengangkat dan mengikat batu-batu tersebut ke punggungnya menggunakan tali kuat yang telah ia siapkan sejak semalam.
Namun belum sempat ia memulai latihannya, telinganya menangkap sebuah suara aneh. Suara auman ringan, teredam oleh semak-semak namun cukup jelas terdengar. Auman itu tidak keras, tapi ada tekanan yang membuat bulu kuduknya sedikit berdiri.
Refleks Bai Zhen mencabut pedangnya dan memotong tali yang mengikat batu-batu tersebut. Tatapannya berubah waspada. Ia tahu benar bahwa suara seperti itu bukan berasal dari hewan biasa. Kemungkinan besar, ada makhluk buas di dekatnya.
Dengan langkah hati-hati, ia menelusuri arah datangnya suara tersebut. Rerumputan bergoyang pelan, angin membawa aroma tanah basah, dan hawa tekanan samar mulai terasa di udara.
Tidak lama kemudian, matanya menangkap sosok kecil di balik rimbun dedaunan ada seekor harimau muda, tidak besar, tapi jelas bukan makhluk biasa. Di kepalanya terdapat surai perak yang tampak berkilau terkena cahaya matahari pagi. Bagian ekornya pun memancarkan kilau logam yang serupa.
Bai Zhen mengernyit pelan, pandangannya serius.
“Harimau itu…,” gumamnya lirih. Ia dapat merasakan keanehan dari sosok harimau tersebut. Bukan seperti hewan buas biasa. Ini adalah... hewan spiritual!
Bersambung...
