Sebuah Perjanjian
"Apa aku tak salah dengar?!" tanya Maya sambil sesekali mencubit kulit lengannya berharap ini semua hanya mimpi.
"Kau tak tau kalau adikmu main mata dengan playboy itu?"
"Playboy? Main mata? Memangnya Ibu tau kalau dia..." Maya menutup mulutnya dengan jemari menahan rasa kaget yang dasyat ini.
"Kau harus menerima kenyataan ini, Maya. Ayahmu sudah setuju dan kami tak mungkin mundur lagi," lirih Inayah lalu berdiri lebih dekat dengan putri tirinya itu. "Perjanjian pernikahan ini sudah jadi,"
"Bu! Tapi..."
"Tapi apa lagi," bisik Inayah lalu terkekeh.
"Kenapa kau tertawa seakan semua ini sebuah candaan?"
"Kenapa aku tertawa?" Inayah meraih tangan Maya lalu tersenyum dengan menyipitkan mata begitu menyebalkan. "Kau ternyata anak yang B-O-D-O-H!"
"Ih!"
"Kau tak tahu kalau pria itu main belakang, menghamili adikmu lalu datang pada ayahmu untuk menjadikannya jaminan atas hutang kami!"
"Sungguhkan Mike melakukan itu?"
"Ah! Terlambat! Dasar anak lelet, tak paham juga. Adikmu itu sudah jadi incaran dia selama kau dan Mike pacaran. Kau saja yang bodoh!"
"Ibu!" geram Maya menyadari jika sebenarnya wanita paruh baya ini tau semua kebusukan Mike selama ini.
"Jadi kau juga..."
"Sudah! Sudah! Kita fokus pada recovery ayahmu saja!" potong dokter yang merawat ayah Maya karena tau perdebatan ini tak akan usai. "Kita kembali ke kesehatannya dan menjaganya semoga tak ada hal yang lebih buruk akan terjadi."
"Benar!" ujar Inayah lalu menangguk. "Percuma kita bicara dengan gadis polos pemarah ini, dia cuma tau kalau semua masalah akan selesai sesuai keinginan hatinya saja!"
"Aku!" Maya menunjuk wajahnya sendiri dengan ujung telunjuknya. Dia lalu menunduk dan membiarkan dokter serta ibu tirinya berjalan keluar dari ruangan.
Dia masih terpaku, tubuhnya begitu kaku hingga tak bisa bergerak.
Betapa tidak, kenyataan ini sungguh membuatnya terkejut, dia tak pernah membayangkan jika selama ini pertengkaran demi pertengkarannya dengan Mike sebenarnya isyarat dari sang kekasih jika sebenarnya pria tampan itu tak sungguh-sungguh mencintainya.
Setelah beberapa lama terdiam tanpa kata, Maya kemudian memejamkan matanya menahan butiran air mata yang akan membasahi pipinya tapi percuma, dia tak sanggup menahan derasnya butiran berlian yang akan sesaat kemudian membanjiri wajah cantiknya.
"Kenapa aku bisa percaya pada orang yang malah menikam dari belakang," bisik Maya lalu melangkah keluar dari ruangan dokter dengan kepala tertunduk.
"Nona!" panggil seorang pria berkemeja biru yang tak lain adalah supir baru di rumahnya. "Kami mencarimu!"
"Kenapa?"
"Ayahmu sudah dipindahkan ke ruang perawatan, ruangannya di sana," tunjuk pria muda itu dengan senyuman simpulnya.
"Apa di sana ada Mike dan Miya?"
"Tidak! Aku tak lihat mereka di sana. Memangnya kenapa? Kau ada perlu dengan mereka?"
"Mmm, mereka pasti sudah pergi karena tau aku akan marah besar!"
"Oh! Ini pasti soal kehamilan Nona Miya,"
"Eh!" Maya terbelalak mendengar kata yang keluar dari mulut seorang supir baru itu. "Kau tau apa soal mereka?"
"Aku sudah tau soal rencana ini. Semua orang tau kok, tapi mereka meminta kami merahasiakannya,"
"Jadi kau yang baru kerja saja sudah tau?"
Pria muda itu mengangguk sambil tersenyum kecut. "Maafkan aku, Nona. Kami memang harus merahasiakan ini darimu, aku tau Nona pasti hancur tapi kami tak berani menolak perintah dari Ibu Inayah!"
"Jadi dia?"
Pria muda itu kembali menangguk.
"Sial!" kesal Maya lalu menendang kursi tunggu yang ada di sampingnya. "Aku sudah duga kalau dia tau sesuatu tentang semua ini."
"Tapi kau jangan melawannya secara frontal. Itu tak akan adil bagimu,"
"Hah!" Maya mengerutkan keningnya lalu menghela nafas menyadari jika perkataan pria muda ini benar adanya. "Baiklah, tapi katakan dulu siapa namamu. Maaf kalau aku tak pernah melihatmu sebelumnya,"
"Oh! Aku," Pria muda itu mengulurkan tangannya lalu tersenyum dengan kepala yang tertunduk ramah.
"Namaku Ray, aku adalah anak dari Pak Joko, supir lama kalian yang meninggal beberapa bulan lalu,"
"Ray, terima kasih kau mau mengatakan semuanya, sungguh aku tak tau kalau semua orang tau kenyataan ini sebelum aku,"
Ray melebarkan senyumannya lalu melepaskan genggaman tangan Maya yang begitu erat. "Aku rasa kita harus jaga jarak, ada banyak mata yang mengintai dan aku tak mau kau dapat masalah karena ini,"
"Masalah? Masalah apa?"
Ray kembali tersenyum simpul namun kali ini dengan berani dia mendekatkan wajahnya ke telinga Maya.
"Aku tau Ibu Inayah punya rahasia yang harus kita ungkap, terutama soal harta ayahmu!"
"Hah!" Maya kembali terbelalak kaget.
"Kita biarkan saja dia berbuat sesukanya seakan kita tak tau,"
Maya menangguk perlahan lalu menghela nafas mencoba menerima perjanjian pernikahan adiknya yang ternyata merupakan settingan dari ibu tirinya.
"Jadi sekarang ayo kita ke ruang perawatan ayahmu, Nona!"
"Baik!" jawab Maya lalu menegakkan dadanya seperti biasanya dia berjalan. Dia tak mau lagi terlihat lemah dan terpaksa tersenyum agar terlihat baik-baik saja.
"Benar! Begitu!" puji Ray lalu mengikuti langkah Maya dari belakang.
Mereka kemudian menuju sebuah lorong berisi ruang perawatan kelas VIP dimana orang-orang kaya dirawat.
Deretan kamar dengan cat dinding berwarna putih dan ubin berukuran besar yang menambah kemewahan tempat Maya kini berada.
Sesekali mata Maya melirik sekeliling berharap menemukan salah satu dari orang yang membuatnya kesal setengah mati hari ini namun tak bisa.
Tak ada Miya, Mike apalagi Inayah. Yang ada hanya lorong kosong tanpa penghuni dan Ray yang segera memberitahu dimana ayahnya di rawat.
"Ini!" tunjuk Ray pada pintu bertuliskan VIP 2 yang ada di samping tubuh Maya sebelum wanita cantik itu kembali bertanya padanya.
"Aku akan masuk!" ujar Maya sembari memutar gagang pintu dan mendorongnya. "Ayah," bisik Maya saat dengan jelas dia melihat sang ayah terbaring lemah di atas tempat tidur bersprei putih dengan mata yang masih tertutup dan tangan diinfus.
"Dia sedang tidur," bisik Ray sambil meluruskan telunjuknya di depan bibir. "Kita masuk saja tanpa suara,"
"Iya!" ujar Maya lalu melangkah masuk dan duduk di kursi berbahan beludru berwarna abu-abu yang ada di samping tempat tidur.
"Dia pasti sudah sangat lelah," bisik Ray sambil menatap pria paruh baya yang wajahnya menyiratkan rasa kesal yang dalam.
"Kau tau apa soal kejadian itu," bisik Maya mencoba untuk tetap tenang di depan ayahnya.
"Ini semua karena Inayah. Wanita itu juga yang membuat ayahku dalam masalah,"
"Hah!"
SSST!
Mata Ray tiba-tiba terbelalak dengan jari telunjuk di depan bibir Maya. "Kau jangan bersuara, anggap saja aku tak pernah mengatakan ini padamu,"
"Tapi apa? Katakan dulu padaku,"
"Iya, tapi nanti. Setelah kita keluar," bisik Ray membuat rasa penasaran Maya semakin menjadi.