Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Serangan Jantung

Mobil yang dikendarai Mike melaju kencang menyusuri Jalan Ijen lalu berbelok ke Jalan Kawi.

Untungnya saat itu jalanan sedang lengang hingga mereka berdua bisa segera tiba di Rumah Sakit RKZ dengan cepat.

"Itu Miya!" tunjuk Maya pada saudara kembarnya yang berdiri di depan pintu bertuliskan ICU dengan wajah tertunduk.

"Aku parkir dulu, kau turun saja!" pinta Mike sambil tersenyum begitu manis.

"Duh apa jadinya aku tanpamu, Sayang," bisik Maya dengan wajah penuh kebanggaan.

"Iya, udah. Turun sana!" Mike kembali bertutur ketus membuat kedua alisnya kembali menyatu.

"Kadang lembut, kadang kasar. Kadang ngeselin tapi rayuannya bikin klepek-klepek. Duh, nih orang. Kalau bukan karena dia anak teman ayahku, pasti sudah ku rebus dia sejak lama!" geram Maya yang segera berlari mendekati adik kembarnya yang terlihat menunggu seorang diri.

Miya terus tertunduk dan sesekali meraba perutnya, dia begitu kaget ketika Maya tiba-tiba terlihat berjalan mendekatinya.

"Kakak!"

"Dek! Mana Ayah?" tanya Maya kemudian mengulurkan tanganya.

"Ayah sakit. Dia serangan jantung," Miya kembali terisak dan bahu Maya segera menjadi tempat bersandar adiknya yang begitu sedih akan kejadian ini.

"Tak apa! Toh ini bukan pertama kalinya ayah kita serangan jantung, kan?! Ayah pasti sembuh!"

"Bukan itu," bisik Miya yang terus terisak lalu kakinya jadi lemas dan memilih mundur beberapa langkah ke sebuah kursi tunggu ruang ICU. "Ada yang salah,"

"Apa?" tanya Maya mencoba menggali kesedihan adiknya. "Cerita, Dek! Jangan ada dusta diantara kita,"

"Tidak, kok! Ini salahku! Bukan dusta, tapi..."

"Miya!" panggil Mike yang justru terlihat lebih khawatir pada adik kembar Maya ketimbang kekasihnya. "Kau tak apa-apa, kan?"

"Kau tanya apa?" tanya Maya heran. "Yang sakit kan Ayah,"

"Bukan!" Mike melempar pandanganya pada Maya yang tak terima dengan pertanyaan yang keluar dari bibirnya. "Maksudku dia kan antar ayahmu ke rumah sakit. Jadi aku takut kalau dia ada apa-apa juga,"

"Kau bicara apa, sih?" Maya kembali mengerutkan kening. "Kalian ada apa-apa, kan?! Ayo ngaku!"

Begitu pertanyaan Maya terlontar, seketika air mata Miya kembali mengalir meski wajah gadis manis itu tetap datar.

"Aku...," Miya kembali meraba perutnya lalu melempar pandanganya pada Mike.

"Iya, kenapa?"

"Enggak apa-apa!" putus Mike lalu terkekeh. "Dia sehat-sehat saja, kok!"

"Aku gak nanya sama kamu, Mike! Aku tanya adikku. Kenapa sih kalian selalu terlihat aneh begini!"

"Anda Nona Maya?" tanya seorang perawat yang menepuk bahu Maya yang membelakangi pintu ICU.

"Iya, saya!" jawab Maya dengan wajahnya yang masih marah.

"Kami ingin bicara padamu, mohon ikuti saya!"

"Ada apa?" tanya Maya dengan bingung.

"Ini soal ayah anda!"

Maya mengangguk lalu meninggalkan Mike dan Miya yang masih saling pandang di depan pintu ICU mengikuti langkah perawat yang membawanya ke sebuah ruangan dokter yang berjarak beberapa meter dari tempatnya berbincang bersama kekasih dan kembarannya.

Perbincangan tadi sebenarnya sudah membuat anak sulung keluar Winata itu tau jika diantara Mike dan Miya ada sesuatu yang sedang ditutupi, tapi karena kondisi ini, dia harus sedikit bersabar untuk mengungkapnya.

"Dokter, ini Nona Maya," tutur perawat saat tiba di dalam ruangan dokter dimana seorang pria bertubuh tegap menunggu Maya dengan wajah cemasnya.

"Dok, ada apa?" tanya Maya yang memang sudah beberapa kali berkonsultasi dengan dokter paruh baya ini.

"Ayahmu mengalami serangan yang dahsyat. Pasti ada hal buruk,"

"Hal buruk?" Maya duduk di depan dokter lalu meraih tangan pria yang mengenakan jas dokter itu dengan tangan bergetar. "Apa?"

"Aku tak tahu! Ayahmu bahkan sampai tak bisa mengeluarkan suara karena serangan kali ini!"

"Astaga, separah itu?!"

Dokter menangguk perlahan lalu meraih tangan Maya yang mencengkram lengannya. "Kalau kau mau ayahmu bertahan, tolong jangan buat berita gempar lagi,"

"Apa? Aku tak mengerti!"

"Tak tau! Aku juga masih menunggu kabar dari pelayan di rumahmu yang jadi saksi atas serangan jantung ayahmu kali ini!"

"Uh! Hari ini penuh misteri. Aku harus tau apa yang terjadi sebenarnya!!" ujar Maya sembari meninju meja dokter dengan tangan kanannya yang tadi bergetar.

"Kau tau sesuatu?" tanya dokter lirih.

"Tidak!" tegas Maya lalu menghela nafas. "Tadi Miya, kemudian Mike, sekarang Ayah. Mereka pasti ada apa-apa!"

"Tapi apa?"

Maya menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Nanti saja aku tanya sama orang rumah. Mereka pasti tau apa yang salah dengan mereka bertiga!"

"Iya, kamu tenang dulu. Bapak cuma gak mau serangan jantung ini menular ke kamu! Pokoknya tenang dulu!"

"Dok!" Seorang wanita memasuki ruangan dokter tanpa mengetuk pintu lalu duduk di samping Maya dengan senyumannya yang lembut.

"Ibu," Maya menghampiri wanita paruh baya yang merupakan tirinya itu lalu memeluknya dengan lembut.

"Ibu ada di rumah saat ayahku serangan jantung, kan?"

"Iya!"

"Bagus!" Maya tersenyum senang. "Apa yang Ibu tau soal kejadian ini?"

"Ayahmu tau kalau kita tak bisa membayar hutang pada keluarga Araya,"

"Keluarga Araya?! Itukan keluarga Mike? Apa mungkin mereka mempermasalahkan keterlambatan pembayaran hutang-hutang keluarga kita padahal hubunganku baik-baik saja!" cesar Maya sambil terisak.

"Iya! Mereka minta hutang-hutang itu segera dibayar, Maya. Tapi karena ayahmu sakit-sakitan belakangan ini jadinya banyak bisnis yang harus kita tunda hingga kita tak bisa membayar bahkan 10% dari total hutang kita!"

"Hah!" Maya terbelalak, dia tak menyangka jika kondisi perusahaan yang sudah dirintis sang ayah sejak puluhan tahun lalu itu kini sedang dalam keadaan yang tak baik. "Kenapa aku tak tau soal ini?"

"Kami sengaja merahasiakannya, kau masih muda dan masih harus sekolah untuk bisa jadi tangan kanan ayahmu!" tegas Inayah, Ibu tiri Maya.

"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?"

"Mereka minta pembayaran hutangnya dipercepat!"

Mobil yang dikendarai Rob melaju kencang menyusuri Jalan Ijen lalu berbelok ke Jalan Kawi.

Untungnya saat itu jalanan sedang lengang hingga mereka berdua bisa segera tiba di Rumah Sakit RKZ dengan cepat.

"Itu Tasyi!" tunjuk Tasya pada saudara kembarnya yang berdiri di depan pintu bertuliskan ICU dengan wajah tertunduk.

"Aku parkir dulu, kau turun saja!" pinta Rob sambil tersenyum begitu manis.

"Duh apa jadinya aku tanpamu, Sayang," bisik Tasya dengan wajah penuh kebanggaan.

"Iya, udah. Turun sana!" Rob kembali bertutur ketus membuat kedua alisnya kembali menyatu.

"Kadang lembut, kadang kasar. Kadang ngeselin tapi rayuannya bikin klepek-klepek. Duh, nih orang. Kalau bukan karena dia anak teman ayahku, pasti sudah ku rebus dia sejak lama!" geram Tasya yang segera berlari mendekati adik kembarnya yang terlihat menunggu seorang diri.

Tasyi terus tertunduk dan sesekali meraba perutnya, dia begitu kaget ketika Tasya tiba-tiba terlihat berjalan mendekatinya.

"Kakak!"

"Dek! Mana Ayah?" tanya Tasya kemudian mengulurkan tanganya.

"Ayah sakit. Dia serangan jantung," Tasyi kembali terisak dan bahu Tasya segera menjadi tempat bersandar adiknya yang begitu sedih akan kejadian ini.

"Tak apa! Toh ini bukan pertama kalinya ayah kita serangan jantung, kan?! Ayah pasti sembuh!"

"Bukan itu," bisik Tasyi yang terus terisak lalu kakinya jadi lemas dan memilih mundur beberapa langkah ke sebuah kursi tunggu ruang ICU. "Ada yang salah,"

"Apa?" tanya Tasya mencoba menggali kesedihan adiknya. "Cerita, Dek! Jangan ada dusta diantara kita,"

"Tidak, kok! Ini salahku! Bukan dusta, tapi..."

"Tasyi!" panggil Rob yang justru terlihat lebih khawatir pada adik kembar Tasya ketimbang kekasihnya. "Kau tak apa-apa, kan?"

"Kau tanya apa?" tanya Tasya heran. "Yang sakit kan Ayah,"

"Bukan!" Rob melempar pandanganya pada Tasya yang tak terima dengan pertanyaan yang keluar dari bibirnya. "Maksudku dia kan antar ayahmu ke rumah sakit. Jadi aku takut kalau dia ada apa-apa juga,"

"Kau bicara apa, sih?" Tasya kembali mengerutkan kening. "Kalian ada apa-apa, kan?! Ayo ngaku!"

Begitu pertanyaan Tasya terlontar, seketika air mata Tasyi kembali mengalir meski wajah gadis manis itu tetap datar.

"Aku...," Tasyi kembali meraba perutnya lalu melempar pandanganya pada Rob.

"Iya, kenapa?"

"Enggak apa-apa!" putus Rob lalu terkekeh. "Dia sehat-sehat saja, kok!"

"Aku gak nanya sama kamu, Rob! Aku tanya adikku. Kenapa sih kalian selalu terlihat aneh begini!"

"Anda Nona Tasya?" tanya seorang perawat yang menepuk bahu Tasya yang membelakangi pintu ICU.

"Iya, saya!" jawab Tasya dengan wajahnya yang masih marah.

"Kami ingin bicara padamu, mohon ikuti saya!"

"Ada apa?" tanya Tasya dengan bingung.

"Ini soal ayah anda!"

Tasya mengangguk lalu meninggalkan Rob dan Tasyi yang masih saling pandang di depan pintu ICU mengikuti langkah perawat yang membawanya ke sebuah ruangan dokter yang berjarak beberapa meter dari tempatnya berbincang bersama kekasih dan kembarannya.

Perbincangan tadi sebenarnya sudah membuat anak sulung keluar Winata itu tau jika diantara Rob dan Tasyi ada sesuatu yang sedang ditutupi, tapi karena kondisi ini, dia harus sedikit bersabar untuk mengungkapnya.

"Dokter, ini Nona Tasya," tutur perawat saat tiba di dalam ruangan dokter dimana seorang pria bertubuh tegap menunggu Tasya dengan wajah cemasnya.

"Dok, ada apa?" tanya Tasya yang memang sudah beberapa kali berkonsultasi dengan dokter paruh baya ini.

"Ayahmu mengalami serangan yang dahsyat. Pasti ada hal buruk,"

"Hal buruk?" Tasya duduk di depan dokter lalu meraih tangan pria yang mengenakan jas dokter itu dengan tangan bergetar. "Apa?"

"Aku tak tahu! Ayahmu bahkan sampai tak bisa mengeluarkan suara karena serangan kali ini!"

"Astaga, separah itu?!"

Dokter menangguk perlahan lalu meraih tangan Tasya yang mencengkram lengannya. "Kalau kau mau ayahmu bertahan, tolong jangan buat berita gempar lagi,"

"Apa? Aku tak mengerti!"

"Tak tau! Aku juga masih menunggu kabar dari pelayan di rumahmu yang jadi saksi atas serangan jantung ayahmu kali ini!"

"Uh! Hari ini penuh misteri. Aku harus tau apa yang terjadi sebenarnya!!" ujar Tasya sembari meninju meja dokter dengan tangan kanannya yang tadi bergetar.

"Kau tau sesuatu?" tanya dokter lirih.

"Tidak!" tegas Tasya lalu menghela nafas. "Tadi Tasyi, kemudian Rob, sekarang Ayah. Mereka pasti ada apa-apa!"

"Tapi apa?"

Tasya menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Nanti saja aku tanya sama orang rumah. Mereka pasti tau apa yang salah dengan mereka bertiga!"

"Iya, kamu tenang dulu. Bapak cuma gak mau serangan jantung ini menular ke kamu! Pokoknya tenang dulu!"

"Dok!" Seorang wanita memasuki ruangan dokter tanpa mengetuk pintu lalu duduk di samping Tasya dengan senyumannya yang lembut.

"Ibu," Tasya menghampiri wanita paruh baya yang merupakan tirinya itu lalu memeluknya dengan lembut.

"Ibu ada di rumah saat ayahku serangan jantung, kan?"

"Iya!"

"Bagus!" Tasya tersenyum senang. "Apa yang Ibu tau soal kejadian ini?"

"Ayahmu tau kalau kita tak bisa membayar hutang pada keluarga Araya,"

"Keluarga Araya?! Itukan keluarga Rob? Apa mungkin mereka mempermasalahkan keterlambatan pembayaran hutang-hutang keluarga kita padahal hubunganku baik-baik saja!" cesar Tasya sambil terisak.

"Iya! Mereka minta hutang-hutang itu segera dibayar, Tasya. Tapi karena ayahmu sakit-sakitan belakangan ini jadinya banyak bisnis yang harus kita tunda hingga kita tak bisa membayar bahkan 10% dari total hutang kita!"

"Hah!" Tasya terbelalak, dia tak menyangka jika kondisi perusahaan yang sudah dirintis sang ayah sejak puluhan tahun lalu itu kini sedang dalam keadaan yang tak baik. "Kenapa aku tak tau soal ini?"

"Kami sengaja merahasiakannya, kau masih muda dan masih harus sekolah untuk bisa jadi tangan kanan ayahmu!" tegas Inayah, Ibu tiri Tasya.

"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?"

"Mereka minta pembayaran hutangnya dipercepat!"

"Gimana bisa bayar? Kau bilang perusahaan ayahku sedang tak baik-baik saja?!"

"Iya, mereka akan menganggap semua ini lunas kalau kita sepakat dengan pernikahan Tasyi dan Rob!" Inayah tersenyum sesaat lalu kembali memasang wajah cemas.

Meski senyuman itu hanya sesaat tapi Tasya sempat melihatnya dan dia segera tau jika ada yang salah dengan rencana pembayaran hutang ini. "Kau pasti bercanda!"

"Tidak!" tegas Inaya sekali lagi. "Setelah kita menikahkan Tasyi dan Rob, maka kita akan lepas dari jeratan hutang keluarga Araya yang terus menambahkan bunga pada pinjaman perusahaan ayahmu!"

"Tapi kenapa Tasyi? Rob kan," Tasya terduduk lemas sambil terus menatap Inaya dan dokter yang merawat ayahnya dengan tatapan nanar. Dia berharap apa yang baru saja diucapkan ibu tirinya hanya lelucon karena memang beberapa hari yang lalu dia dan Tasyi baru saja melangsungkan acara ulang tahun mereka.

"Aku harap kau mau menerima kenyataan ini, Tasya. Kau harus kuat dan mari kita rawat ayahmu hingga dia kembali pulih,"

Tasya tak menjawab perkataan Inaya, dia hanya terus menghela nafas mencoba menerima kenyataan pahit akan kisah cintanya dengan Rob yang sudah setahun terakhir dia jalankan.

"Bagaimana kalau aku tidak mau?"

"Kalau kau tidak mau, maka Tasyi akan malu," bisik Inaya sekali lagi.

"Kenapa?" kesal Tasya.

"Tasyi sudah hamil anak Rob. Jadi kalau kau tak setuju itu berarti anak itu tak akan punya ayah!"

"APAA??! Tasyi sedang hamil anak Rob?!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel